Kamis, 24 Maret 2011

idealisme vs ideologi bangsa

BAB I
PENDAHULUAN

Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun 11 No.7 bersama-sama dengan bantang tubuh UUD 1945.
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah merupakan suatu keharusan moral untuk secara konsisten merealisasikannya dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB II
PEMBAHASAN
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

Ideologi berasal dari kata Yunani, Idein yang berarti melihat atau Idea yang berarti raut muka, perawakan, gagasan, buah pikiran dan Logia yang berarti ajaran.
Dengan demikian Ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran (science des ideas).
Sedangkan pengertian ideologi secara umum adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan seperti:
a. Bidang politik, hukum, hankam
b. Bidang sosial
c. Bidang kebudayaan
d. Bidang keagamaan
Sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau sekelompok orang. Ideologi ini tumbuh dan berkembang dalam pandang hidup masyarakat dan bangsa Indonesia. Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai religius yang terdapat pada pandangan hidup masyarakat indonesia.
Kekuatan Ideologi
Menurut Alfian, seorang pakar ilmu politik, mengemukakan bahwa kekuatan suatu ideologi itu tergantung pada kualitas dan dimensi yang ada pada ideologi itu sendiri. (Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik, Jakarta: BP-Y Pusat, h. 192).
1. Dimensi Realita
Nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi tersebut secara riil berakar dalam /hidup masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
2. Dimensi Idealisme
Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam praktik kehidupan bersama dengan berbagai dimensinya.
3. Dimensi Fleksibilitas/Dimensi Pengembangan
Ideologi tersebut memiliki kekuasaan yang memungkinkan dan merangsang perkembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.

A. Kedudukan dan Fungsi Pancasila
Setiap kedudukan dan fungsi Pancasila pada hakikatnya memiliki makna serta dimensi masing-masing yang konsekuensinya aktualisasinya pun memiliki aspek yang berbeda-beda, walaupun hakikat dan sebenarnya sama. Dilihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yakni sebagai cita-cita dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Dilihat dari fungsinya, Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
1. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Pandangan hidup yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di dalam segala bidang, ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila.

2. Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma, serta kaidah, baik moral maupun hukum negara dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau Undang-Undang Dasar maupun yang tidak tertulis atau Conversi. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Rumusan dasar Negara Republik Indonesia yang sah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat. Fungsi dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia adalah sebagai sumber dari segala hukum (sumber tertib hukum). Sumber tertib hukum ada 2, yaitu:
a. Sumber Formal
Tempat atau sumber hukum dari mana suatu peraturan mempunyai kekuatan hukum
b. Sumber Material
Tempat dari mana materi hukum itu sendiri.
3. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain.
Selain itu, Pancasila juga bukan hanya merupakan ide-ide atau perenungan dari seseorang saja yang hanya memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa, sehingga pancasila pada hakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bansa secara komprehensif.

B. Perbandingan Ideologi
Dalam bagan yang dirumuskan oleh Yadi Ruyadi, dkk (2009 :9) Perbandingan Ideologi Pancasila dan ideologi lain adalah sebagai berikut:

Aspek Ideologi
Liberalisme Komunisme Sosialisme Pancasila
POLITIK HUKUM - Demokrasi liberal.
- Hukum untuk melindungi individu
- Dalam politik melindungi individu - Demokrasi rakyat
- Berkuasa mutlak satu parpol
- Hukum untuk melanggengkan komunis. - Demokrasi untuk kolektivitas
- Diutamakan kebersamaan
- Masyarakat sama dengan negara. - Demokrasi Pancasila
- Hukum untuk menjunjung tinggi keadilan dan keberadaan individu dan masyarakat.
EKONOMi - Peran negara kecil
- Swasta mendominasi
- Kapitalisme
- Monopolisme
- Persaingan bebas - Peran negara dominan
- Demi kolektivitas artinya adalah demi negara.
- Monopoli negara - Peran negara ada untuk pemerataan
- Keadilan distributif yang diutamakan. - Peran negara ada untuk tidak terjadi monopoli dll, yang merugikan rakyat.
AGAMA - Agama urusan pribadi
- Bebas beragama atau tidak - Agama candu masyarakat
- Agama harus dijauhkan dari masyarakat
- Atheis. - Agama harus mendorong berkembangnya kebersamaan. - Bebas memilih salah satu agama.

Pandangan Terhadap Individu dan Masyarakat - Individu lebih penting dari pada masyarakat
- Masyarakat diabdikan bagi individu - Individu tidak penting
- Masyarakat tidak penting
- Kolektivitas yang dibentuk negara lebih penting. - Masyarakat lebih penting daripada individu - Individu diakui keberadaannya.
- Masyarakat diakui keberadaan-nya.
- Hubungan individu dan masyarakat dilandasi selaras, serasi, seimbang.
- Masyarakat ada karena individu ada.
- Individu akan punya arti apabila hidup ditengah masyarakat.
CIRI KHAS - Penghargaan atas hukum
- Demokrasi
- Negara hukum
- Menolak dogmatis
- Reaksi atas absolutisme - Atheisme
- Dogmatisme
- Otoriter
- Ingkar HAM
- Reaksi terhadap liberalisme dan kapitalisme - Kebersamaan
- Akomodasi
- Jalan tengah - Keselarasan, keserasian, keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Di lihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yakni sebagai cita-cita dan pandangan hidup Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Dilihat dari fungsinya, Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Dilihat dari segi materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup Bangsa Indonesia, yang merupakan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain.

DAFTAR PUSTAKA

Al Marsudi, Subandi. 2001. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Darmodiharjdo, Darji, 1979. Pancasila Suatu Orientasi Singkat, Malang, Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya.

Kaelan. 2004, Pendidikan Pancasila SK DIRJEN DIKTI No. 38/DIKTI/KEP/2004. Yogyakarta, Paradigma.

Setiadi, M. Elly. 2005, Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Ilmu.

Soejadi. 1999, Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Yogyakarta, Lukman Offset.

Kamis, 17 Maret 2011

filpan: idealisme merupakan ideologi bangsa

1. Korelasi pandangan hidup dengan ideologi

KETIKA Negara-bangsa tersusun, maka sebenarnya telah ada berbarengan dengan eksistensi negara itu suatu perjanjian bersama atau \”Kontrak sosial\”, sebagai kebulatan pikiran atau cita-cita dalam mendirikan Negara-bangsa tersebut. Perjanjian ini sebagai pengejawantahan dari kemauan bersama ( J.J. Rousseu : Volonte General ) untuk menyusun hidup bersama dalam wadah sebuah Negara-bangsa. Selanjutnya bagunan Negara-bangsa yang didirikan itu tegak diatas sebuah \”Keyakinan kokoh bersama suatu Komunitas politik\”, yang kemudian biasa disebut sebagai kepercayaan politik (Political belief) milik bersama seluruh warga Negara-bangsa, yang kemudian menjadi sebuah \”Ideologi\”. Selanjutnya oleh perjalanan sejarah bangsa akan dijadikan landasan tidak bergerak yang tangguh sepanjang keberadaan Negara-bangsa tersebut dan sekaligus menjadi cita-cita yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata masa kini dan masa selanjutnya. Itulah sebabnya maka keyakinan politik itu akhirnya menjadi gagasan abadi untuk diaktualisasikan dalam kehidupan perpolitikan komunitas sebuah Negara-bangsa.

Kepercayaan politik adalah angan-angan atau lebih tegasnya merupakan \”buah pikiran nasional\” seluruh warga bangsa, hasil konsensual dari sebuah kontrak sosial dalam sejarah pendirian Negara-bangsa sejak awal, tentang jalan politik dunianya secara umum. Oleh karena itu kepercayaan politik, selain berisi nilai-nilai luhur yang diyakini bersifat abadi, juga merupakan realitas milik tertinggi idealisme bangsa menghadapi kenyataan hidup yang mengelilinginya. Kepercayaan tersebut setelah terbentuk akan terus operasional sepanjang masa.

Apabila kepercayaan politik lahir dari kultur politik rakyat sejak awal berdirinya Negara-bangsa, maka ideologi lahir dan kemudian berkembang dari kepercayaan politik yang terbentuk dari \”Kemauan umum\” perjanjian masyarakat sebagai keyakinan politik, yang selanjutnya akan menjadi dasar bagi terwujudnya mekanisme suatu sistem nilai dan norma dasar politik Negara-bangsa seterusnya, selaras dengan perkembangan zaman.

Konsep budaya politik merupakan keseluruhan perwujudan kegiatan kesadaran keyakinan atau kepercayaan politik yang terus berkembang oleh pengaruh dan dominasi ideologi dengan nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya, yang secara dinamis terus berkembang selaras perkembangan waktu dan lingkungan yang mengelilinginya dan bisa saling mempengaruhi. Karena ideologi tidak hanya terhenti pada \”Kumpulan Ideas\” abstrak yang sangat berharga, tetapi akan terus mengembangkan diri selaras adaptasi lingkungan dan zaman, sehingga melahirkan \”Sikap-sikap\” masyarakat yang terus mengembangkan diri selaras adaptasi lingkungan dan zaman, sehingga melahirkan opini-opini yang lebih maju, tetapi juga mampu membangkitkan sikap dan watak yang dilandasi pandangan hidup secara ideologis, hal ini sejalan dengan bimbingan ideologi yang penuh dengan nilai luhur tersebut.

Disinilah letak relevansi dan korelasi \”Pandangan hidup dengan Ideologi\”. Selanjutnya pandangan hidup ini harus dikaitkan dengan kata-kata \”Negara maupun Bangsa\”, sebab manusia sebagai individu akan memiliki pandangan hidup yang bervariasi dengan spesifikasinya masing-masing, sesuai dengan latar belakang individunya, baik manyangkut famili, suku, ras, agama, kepentingan, budaya, tradisi, keturunan dan lain-lainya, yang bisa menjadi faktor pengaruh kuat terhadap pandangan hidup individual atau kelompok. Namun ketika mereka menjadi anggota tetap sebuah Negara-bangsa, individu yang telah diikat oleh \”Volonte General\” itu harus tunduk pada kristalisasi pandangan hidup yang telah terbentuk ideologi Negara-bangsa tersebut.

Dalam kehidupan bernegara-bangsa telah menjadi pengertian dan pengakuan secara universal, bahwa individu secara rasional maupun emosional akan tunduk kepada suara bersama yang sebenarnya telah mereka peroleh dan bangun secara demokratis. Demokrasi adalah realitas pluralistik, sedang setiap masyarakat pluralistik lazim akan mewajibkan setiap anggotanya untuk memiliki pedoman yang sama bagi pengaturan hidup bersama mereka yang disepakati, tanpa merugikan \”apa yang menjadi latar belakang yang dimiliki masing-masing individu\”, misalnya ketika sebuah prinsip \”Berketuhanan\” telah diterima dalam sebuah kontrak sosial, maka setiap individu anggota masyarakat atau warganegara-bangsa yang berasal dari agama apapun atau suku manapun akan menerima dengan lapang dada. Mereka dengan penuh kesadaran loyal kepada prinsip kebersamaan, sedang spesifikasi atau aturan khusus keagamaannya sendiri atau kepercayaannya tidak akan terusik sedikit pun sebagai akibat penerimaannya sendiri atau kepercayaannya tidak akan terusik sedikit pun sebagai akibat penerimaannya tersebut, bahkan mereka akan merasa lebih terlindungi kebebasan praktik khusus keagamaannya maupun yang menjadi kepercayaannya. Maka pengakuan adanya Tuhan dan pengagungan akan eksistensi-Nya akhirnya bisa menjadi \”Pandangan hidup bangsa\”, dan pandangan hidup ini dapat dipertanggung-jawabkan kepada siapa pun. Pandangan hidup ini tegak tidak dapat ditawar-tawar lagi sekaligus memberikan kepuasan pada pluralisme masyarakat.

2. Pandangan hidup merupakan manifestasi identitas dan kepribadian:

Berbicara tentang ideologi yang menjadi rujukan pandangan hidup Negara-bangsa, Prof. Dr. William T. Bluhm PhD, guru besar dalam Political Science pada Chicago University, dalam bukunya Modern Political \”Idologies and Attitudes\” (Culture ), melihat ada 4 (empat) teori mengenai Ideologi :
(1). TEORI KEPENTINGAN : Bahwa ideologi itu bersifat kejiwaan yang bisa diselidiki dan dijelaskan. Ideas yang terbentuk sebagai akibat realitas sekitar manusia. Manusia yang berakal bisa menggunakan reason untuk menciptakan hidupnya dengan memanipulasi realitas dunia yang ada d sekitarnya. Maka ideologi harus dipandang sebagai rasionalisaasi \”Kepentingan\” yang mungkin juga bersifat irrasional. Alatnya ialah politik
(2). TEORI KEBENARAN : Dr. Blim dalam hal ini mengikuti pandangan filosuf wanita Hanna Arendt tentang aktivitas manusia di dunia yang merefleksikan ideologi, yakni untuk menjalankan proses kehidupan. Ideologi kemudian muncul secara rasional dan bebas, yang ingin mewujudkan hakekat \”Kebenaran\”. Sehingga apabila hakekat kebenaran yang lahir dari ideologi ini direalisasikan, maka hasilnya adalah \”Perubahan sosial politik maupun ekonomi yang diinginkan\”, artinya kebenaran dapat diwujudkan oleh usaha politik.
(3). TEORI KESULITAN SOSIAL : Ideologi lahir dari hal-hal yang tidak disadari, sebagai pola jawaban terhadap kesulitan-kesulitan yang timbul dari masyarakat. Kesulitan tersebut sebagai pathologi yang memerlukan obat dan penyembuhan, maka fungsi ideologi adalah remedial atau kuratif.
(4). TEORI KESULITAN KULTURAL : Ideologi timbul karena hal-hal yang menyangkut hubungan perasaan dan arti hidup (Sentiment and Meaning). Kedudukan ideologi sama seperti ilmu pengetahuan teknologi, agama dan filsafat. Akibat selalu ada dislokasi sosial dan kultural dalam kehidupan manusia, maka manusia memerlukan arti hidup yang baru dan segar. Ideologi mencoba menjawab dengan pikiran-pikiran yang segar yang membumi, berisi kebijakan dan prinsip dasar, otoritas tertentu maupun teologi yang jelas. Dari sana disusunlah program-program maupun platforms yang praktis, bisa pula disusun blueprint membangun autonomous politoics, akhirnya membekali otoritas politik dengan konsep-konsep politik yang tepat.

Dari empat teori terbentuknya ideologi Bluhm tersebut (Kepentingan, Kebenaran, Kesulitan sosial dan Kesulitan kultural ), maka pandangan hidup sebagai follow-up ideologi akhirnya juga harus mampu menghadapi 4 (empat) masalah besar kemanusiaan itu, yakni : (1) Mampu mengatasi kepentingan kehidupannya, (2) Menciptakan pandangan hidup yang berisi kebenaran yang diaktulasasikan (3) Menghilangkan semua kesulitan sosial, dan (4) Menghapuskan semuan keruwetan kultural melalui otoritas politik yang kuat.

Upaya aktualisasi ideologi melalui kegiatan pandangan hidup itu akhirnya akan mampu menciptakan \”Jati diri Bangsa\” yang berupa identitas dan kepribadian, sebagai manifestasi ideologi yang telah berakar kuat menjadi \”Pandangan hidup\”. Pandangan hidup yang dalam istilah Jerman adalah \”Weltanschauung\” atau pandangan manusia tentang dunia yang mengelilinginya, yang dalam berbangsa dan bernegara merupakan perlengkapan diri atau senjata ampuh bermata dua, yakni (1) Senjata tajam untuk bisa memenuhi seluruh kepentingan manusia hidup di dunia yang serba langka, dan sekaligus juga (2) Sebagai alat canggih untuk mencapai ekspresi kebenaran dalam menghadapi realitas khidupan duniawi. Oleh karenanya ideologi bangsa menjelma menjadi pandangan hidup tadi akan selalu mengalami \”transformasi\” kearah yang lebih ideal dan mengarah kepada kesempurnaan. Sebagai pandangan hidup maka idealismenya akan selalu memberikan \”pengetahuan obyektif\” tentang otoritas politik atau pandangan otonom mengatasi berbagai masalah, bagaimanapun ruwet dan komplikasinya.

Dalam hubungan ini pemikir terkenal Alfred North Whitehead dalam essaynya yang berjudul \”Adventures of Ideas\” (New York, Mc Millon, 1933 ) mengemukakan adanya teori \”distorsi\” dalam manulis sejarah bangsa-bangsa, akan selalu ada penyimpangan atau bentuk yang tidak normal, karena sipenulis akan terpengaruh oleh pandangan hidupnya sendiri yang diyakini kebenaranya, kemudian diwujudkan dalam bentuk kritisisme dan penilaian fakta tertentu. Demikian juga \”Pemikiran atau Ideas\” yang dilahirkan oleh sebuah ideologi, yang selalu lahir dari sejarah sebuah bangsa, adalah akan tetap terperangkap oleh \”Intellectual stand point\” atau titik pandang/pendidian intellektual bangsa ketika ideologi maupun pandangan hidup akan tetap terdistorsi oleh pandangan-pandangan yang hidup dari komunitas politik terutama para elitenya, walaupun distorsi disini tidak harus \”berarti negatif\”, tetapi justru lebih banyak arah \”positif dan korrelatifbta\” menuju perfeksi.

Hampir senada dengan itu, Prof. Robert Dahl, sebagai yang dikutip William E, Connolly dalam \”Political Science and Ideology\” (New York 1967), berpendapat, bahwa nilai yang lahir dari sebuah idea yang ditulis para ahli dalam \”Kerangka konsensual\” sering harus dibungkus oleh sebuah \”Rhetorika\” atau \”balaghoh\” ( yakni seni penyusunan kalimat yang memiliki tujuan terntentu yang mulia ). Rhetorika tersebut oleh Prof. Dahl lebih ditegaskan sebagai \”Consensual Rhetoric\”, sebagai representasi asli tentang sesuatu masalah, ialah sebuah produk masyarakat \”secara kollektif\”, dan akhirnya bisa menyelimuti seluruh proses sistem politik selanjutnya.

Baik teori distorsinya Whitehead maupun rhetrorikanya Dahl beranggapan tentang arti pentingnya ideas yang dimissikan oleh ideologi sebagai hasil kollektif konsensual yang bernilai luhur. Ketika kumpulan pemikiran itu bergerak aktif dalam sikap dan tingkah laku komunitas politik, yakni bangsa dalam perjalanan sejarah panjangnya, maka \”Consensual rhetoric\” akan terus hidup dinamis dan terbuka luas untuk masukan atau penafsiran baru, mengisi sejarah negara-bangsa untuk selamanya.

Untuk lebih memperjelas obyektivitas produk politik dari sebuah ideologi yang berkembang, bapak sosiologi Karl Mannheim menyimpulkan bahwa semua \”Political thinking\” termasuk di dalamnya apa yang disebut ideologi atau pendangan politik suatu bangsa akan selalu \”Relational\” artinya terkait erat antara \”kepentingan dan situasi lingkungan para pemikir, ketika ideologi tersebut terbentuk. ideologi karenanya sebagai gambaran mungkin tidak sempurna tentang realitas itu. Hanya yang menjadi opposant yang bisa memberikan gambaran distorsi yang ada pada pandangan ideologis. Oleh karena itu dalam masyarakat liberal berkembang adanya kelompok cendikiawan yang \”free floating\” (freischweben), yang merasa tidak terikat lagi pada kelompok terntentu atau tatanan tertentu yang sudah established. Para floaters ini kemudian menghindar dari konflik politik yang sering muncul dalam kehidupan demokrasi. Namun apabila secara obyektif kultur politik suatu bangsa dimonitor secara teliti, maka tidak jarang ditemukan bahwa ideologi bisa mempunyai arti aslinya yang ilmiah dan tidak sedikitpun terdistorsi oleh kepentingan atau otoritas politik tertentu. ( Karl Mannheim, Ideology and Utopian, An Introduction to Ideology of Knowledge, New York, 1936, translation L. Wirth and E. Shil. )***