Selasa, 21 Juni 2011

HUKUM PERBANKAN

Pengertian bank:
Banyak definisi tentang Bank antara lain:
O.P. Simorangkir memberi definisi, Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa apapun. Pemberian kredit itu dilakukan baik denganmodal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.
Berdasarkan pasal 1 butir 2 UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998
Bank adalah badan usaha yang menghimpun ana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
Bankbadan hukumnya PT
Koperasibadan hukumnya koperasi (UU Koperasi)
LPDbadan hukumnya berdasarkan SK (lembaga adat bukan perusahaan daerah). Tak bisa dimasukkan ke lembaga pembiayaan karena pertanggungjawabannya berbeda.
Fungsi Bank
Berdasarkan pengertian di atas fungsi bank maka ada 2, fungsi utama bank:
1. Menghimpun dana dari masyarakat, melakukan dalam bentuk simpanan giro, deposito, tabungan dll
2. Memberikan kredit, ini adalah bentuk kegiatan bank dalam rangka menyalurkan kredit (pinjaman) kepada masyarakat.
Dasar hukum kegiatan usaha bank
Berbicara mengenai dasar hukum kegiatna bank maka yang dibahas adalah legislasi kegiatan usaha bank yang dasarnya adalah peraturan-peraturan hukum. Dasar utama kegiatan usaha perbankan adalah UU No.7 Tahun 1992 yang kemudian dirubah dengan UU No.10 Tahun 1998. Selanjutnya kedua UU tersebut dikenal dengan UU Perbankan.
UU No.14 Tahun 1967UU No.7 Tahun 1992UU No.10 Tahun 1998.
Dasar pertimbangan perubahan UU No.7 Tahun 1992 adalah
a. Bahwa pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undnag Dasar 1945;
b. Bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yna gsemakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan;
c. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sector perbankan;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, dipandang perlu mengubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dengan undang-undang.
Bentuk hukum bank mengacu pada jenis bank itu sendiri, maksudnya bentuk hukum jenis bank umum bisa sama, bisa pula berbeda dengan bentuk hukum jenis bank perkreditan rakyat (BPR). Dari bentuk hukum tersebut maka dapat dilihat status kepemilikan, segi permodalan termasuk pula segi tanggungjawab hukum dari bank tersebut.
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU PErbankan membedakan bentuk hukum bank sbb:
1. bentuk hukum bank umum
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi, atau
c. Perusahaan Daerah
2. bentuk hukum BPR
 Perusahaan daerah (UU No.13 Tahun 1962)
 Koperasi (UU Perkoperasian Tahun 1992)
 Perseroan Terbatas (UU No.1 Tahun 1995)
 Bentuk lain yang ditetapkan dalam PP
Jenis-jenis Bank
Menurut Muhhamad Jumhana secara teoritis jenis bank itu dapat dibedakna berdasarkan dari segi fungsinya, kepemilikannya, penciptaan uang giral.
Dari fungsinya dapat dibedakan:
1. Bank central adalah bank yang bertindak sebagai bankers bank berfungsi sebagai penguasa moneter, melakukan pembinaan, pengawasan terhadap sistim perbankan nasional.
2. Bank umum, baik milik Negara maupun swasta pengumpulan dananya lewat deposito, tabungan dan giro dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek. Mendapatkan keuntungan dari selisih bunga yang diterima dari peminjam dengan yang dibayarkan oleh Bank kepada depositor (spread).
3. Bank tabungan, dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan sedangkan usahanya terutama memperbungakan dananya dalam kertas berharga, dalam jangka menengah dan panjang sedangkan usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan.
Gubernur BI sederajat dengan menteri-menteri, langsung bertanggungjawab pada presiden. Presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan.
Dari segi kepemilikan dikenal ada 4 jenis Bank:
1. Bank milik Negara
2. Bank milik pemerintah daerah
3. Bank milik swasta, baik nasional maupun asing
4. Bank koperasi
Dari segi penciptaan uang giral dikenal ada dua jenis Bank:
1. Bank Primer, Bank yang dapat menciptakan uang melalui simpanan masyarakat yang ada padanya, simpanan liquid dalam bentuk giro, yang dapat bertindak sebagai bank primer adalah bank umum.
2. Bank sekunder, bank yang tidak bisa menciptakan uang melalui simpanan masyarakat yang ada padanya. Bank ini hanya bertugas sebagai perantara dalam menyalurkan kredit yang termasuk di dalamnya, bank tabungan, bank pembangunan, bank hipotik, yang ada di Indonesia adalah B.P.R.
Jaminan kredit bank
Menurut UU No.10 Tahun 1998 pasal 8 adalah keyakinan atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pinjaman sesuai dengan yang diperjanjikan.
(bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, angunan dan prospek usaha debitur).
- Collateral
- Characteristic
- Condition of economy
- Capacity
- Capital
Keyakinan bank didukung oleh the five C’s of kredit yaitu collateral atau angunan. Pasal 8 UU 10’98 mempertegas lagi bahwa kredit mengandung resiko, oleh karena itu dalam pelaksanaan bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Maka, jaminan merupakan factor yang penting untuk mendukung keyakinan bank dan harus diperhatikan dengan baik.
Keyakinan bank didukung dengan penilaian seksama terhadap watak, kemampuan, modal, angunan dan prospek usaha debitur.
Fungsi jaminan
Baru tampak berfungsi ketika ada sesuatu pada kredit yang memunculkan hak dan kewajiban pada kreditur dan debitur.
Hak tanggungan mengikat benda tidak bergerak. Fidusia mengikat benda bergerak seperti mobil.
UU No.4 Tahun 1996, dikeluarkan hipotik sudah dianggap tidak berlaku.
Hipotik UU No.5 Tahun 1960.
Pada intinya, bahwa jaminan bisa berfungsi ketika terjadi sesuatu pada kredit yang diberi jaminan. Ketika kredit macet, bank akan mengetahui kredit itu, kemudian dilakukan pelelangan.
Jaminan berfungsi sebagai:
- Sebagai nilai proteksi/kepercayaan kepada Bank
- Memperkecil resiko
- Menjamin pelunasan utang.
Keberadaan jaminan itu sendiri/eksistensi jaminan:
Jaminan harus dibuatkan perjanjian yang mengikat secara yurisdial dan dibuatkan perjanjian jaminan, untukmenanggung hutang-hutang debitur.
- Agar tidak terjadi wanprestasi maka perjanjian itu harus mempunyai kekuatan hukum
- Jaminan harus mempunyai suatu nilai jual yang bagus/baik.
Jenis-jenis jaminan
Dari segi sifat
1. Jaminan yang lahir karena UU, tidak usah diperjanjikan lagi (pasal 1131 dan pasal 1132)
Pasal 1131: segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang aka nada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk perikatan perseorangan.
Pasal 1132: kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya terkecuali ada hal yang khusus.
2. Jaminan aka nada, jika diperjanjikan.
Apakah tanah itu boleh dibangun ketika masih dalam proses pencairan jaminan? Ketika tanah itu dipakai jaminan apakah obyek itu dikuasai bank atau tidak? TIDAK. Yagn dikuasai adalah alas hak/tanda bukti kepemilikan yang disebut dengan sertifikat. Artinya kreditur/bank boleh membangun selama tanah tersebut masih dijadikan jaminan. MotorBPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) pengikatannya dnegan cara fidusia.
3. Jaminan adalah kebendaan milik debitur yang bisa dijadikan jaminan khusus.
Transaksi jual beli:
- Penyerahan timbale balik
- Pengalihan hak
Hibah  tidak ada penyerahan dari si penerima hibah
Pengalihan waris tidak ada penyerahan dari ahli waris.
1. pembentukan jaminan
2. jaminan kebendaan
Bergerakfidusia
Tidak bergerak hak tanggungan (UU No4’96)
Obyek hak tanggungan adalah hak kebendaan atas benda yang tidak bergerak. Disamping itu ada hak atas tanah, hak guna usaha, hak pakai, hak guna bangunan senilai dengan harga rumah itu.
Hak pakai boleh dijadikan uang,
hak sewa boleh dialihkan.
Hak kepemilikantakkan pernah beralih.
Pengikatan jaminan
Untuk kepentingan Bank dalam hal pengembalian kredit yang diberikan maka jaminan atau angunan si debitur harus dibuatkan pengikatan atau pembebanan yang dibuat dalam perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok (perjanjian kredit), jadi perjanjian pengikatan jaminan bersifat aksesoir.
Selain perjanjian pokok di bank, apakah ada perjanjian baku lainnya? Ada yaitu membuat ATM misalnya.
Jaminan tunduk kepada UU No.4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan.
Eksistensinya tergantung pada perjanjian pokok maka perjanjian pokok harus dibuat terlebih dahulu baru disertai dengan perjnajian pengikatan jaminan maka perjanjian aksesoir empunyai akibat hukum sbb:
- Eksistensinya tergantung perjanjian pokok
- Hapusnya tergantung perjanjian pokok
- Batalnya tergantung perjanjian pokok
- Beralihnya tergantung perjanjian pokok
Benda yang dapat dijadikan jaminan kredit
Benda bergerak maupun tidak bergerak. Menurut SE-BI No.4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972 untuk benda bergerak pengikatannya adalah fidusia dan gadai. Untuk benda tidak bergerak, memakai lembaga jaminan hipotikd an creditverband.
Untuk benda tidak bergerak berupa tanah pengikatannya dengan lembaga jaminan hak tanggungan berdasarkan UU hak tanggungan No.4 Tahun 1996.
Bentuk pengikatan jaminan
Bentuk-bentuk pengikatan jaminan dikelompokkan:
 Jaminan perorangan (Borghtocht), dalam praktek pemberian kredit oleh Bank diisyaratkan adanya jamiann perorangan, merupakan jaminan tambahan selain jamiann pokoknya yaitu jaminan kebendaan/pengikatan jaminan, perseorangan dilakukan dengan akte perjanjian (penanggungan) ini diatur dalam pasal 1820-1850 KUHPerdata.
Perjanjian jaminanbersifat aksesoir
Perjanjian kreditbersifat pokok
 Jaminan kebendaannya sbb:
a. Hak tanggungan diatur dalam UU hak tanggungan, UU No.4 Tahun 1996 yang elemen-elemennya terdiri dari:
- Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang
- Utang yang dijamin jumlahnya tertentu
- Obyeknya adalah hak atas tanah, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai
- Hak tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut dengan benda yang berkaitan dengan tanah atau tanahnya saja
- Hak tanggungan memberikan hak preferent atau hak diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain
- Hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah adanya karena diperjanjikan oleh kreditur dan debitur, jaminan yang lahir karena perjanjian ini akan menimbulkan jaminan khusus, berupa jaminan kebendaan yaitu hak tanggungan (lihat jaminan yang timbul karena perjanjian dan UU).
Camatpembuat akte tanah selain notaries PPAT (akte autentik). Tapi sertifikat yang dikeluarkan adalah BPN. Jadi pembuat akte tanah melalui camat lebih rumit.
 Pengikatan tanah sebagai jaminan utang dengan menggunakan hak tanggungan harus melalui tahapan-tahapan sbb:
- Tahap pertama, pembuatan perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok, selanjutnya baru disusul dengan eprjanjian jaminan dengan hak tanggungan yang sifatnya accessoir.
- Tahap kedua, pembuatan akta pemberian hak tanggungan (APHT), yang dibuat oleh PPAT, ditandatangani kreditur sebagai penerima hak tanggungan atas tanah yang dijaminkan. Bentuk APHT, adalah akte otentik yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.
 Hipotik menurut pasal 1162 KUHPerdata adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya sebagai pelunasan suatu perikatan. Dengan diberlakukannya UU hak tanggungan maka kelembagaan hipotik diberlakukan untuk obyek kapal.


TUGAS TUGAS
Pembahasan Tugas 1:
Pengertian uang giral
- Uang yang tidak bisa dimiliki oleh masyarakat umum, tetapi mampu mempermudah transaksi pembayaran yang melibatkan uang.
- Sebagai surat berharga yang dapat diuangkan oleh Bank Umum seperti Bilyet dan Giro
- Alat pembayaran yang berupa surat berharga giro, cek, travel cek, credit card. Bilyet giro harus dipindahbukukan baru bisa diuangkan. Sedangkan wesel tidak bisa dipindahbukukan.
Pembahasan Tugas 2:
Istilah hukum suatu wilayah yang tidak bertuan adalah terra nullius yang juga merupakan wilayah yang tidak menjadi bagian dari Negara manapun. Terra nullius mungkin didiami oleh sekelompok penduduk, akan tetapi penduduk tersebut tidak memiliki organisasi sosial dan politik. Terra nullius adalah doktrin dalam tradisi hukum eropa, diwarisi dari bangsa romawi, yang intinya menyatakan tanah yang bukan milik siapa-siapa menjadi milik seseorang yan gmenemukannya. Ini lawannya dari terra communis (milik semua orang).
Secara lebih sempit, tanah tak bertuan ini disebut dengan tanah oloran. Dalam rancangan undang-undang hak milik atas tanah (RUUHMAT) tanah ini disebut dengan tanah timbul.pengertian tanah timbul menurut RUUHMAT ini adalah tanah yang semula tertutup air, yang karena suatu peristiwa/proses alam kemudian muncul ke permukaan. Tanah oloran ini merupakan tanah yang ada di dekat pantai menjadi molor atau panjang sehingga jauh dari permukaan air laut, yang mana tanah tersebut belum jelas kepemilikannya.
Pembahasan Tugas 2:
Benda adalah obyek hukum.
Sesuai pasal 499 KUHPerdata, benda merupakan segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.
Jenis benda dibedakan menjadi;
1. Benda berwujud dan benda tak berwujud (Pasal 503 KUHPer);
2. Benda bergerak dan benda tak bergerak (Pasal 504 KUHPer);
3. Benda yang dipakai habis dan tidak dapat dipakai habis (Pasal 505KUHPer);
4. Benda yang sudah ada dan benda yang masih akan ada ( Pasal 1334KUHPer);
1. Benda bergerak dan benda tidak bergerak
Arti penting pembedaan ini terletak pada penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluarsa (verjaring), pembebanan (berzwaring).
 Mengenai penguasaan (bezit), pada benda bergerak berlangsung asas dalam pasal 1977 KUHPerdata yaitu orang yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Pada benda tidak bergerak asas tersebut tidak berlaku.
 Mengenai penyerahan (levering), pada benda bergerak dapat dilakukan penyerahan nyata. Sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama.
 Mengenai daluarsa (verjaring), pada benda bergerak tidak dikenai daluarsa, sebab yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Sedangkan pada benda tidak bergerak dikenal daluarsa. (a) dalam hal ada alas hak, daluarsanya 20 tahun, (b) dalam hal tidak ada alas hak, daluarsanya 30 tahun. (pasal 1963 KUHPerdata).
 Mengenai pembebanan (bezwaring), pada benda bergerak dilakukan dengan pand (gadai), sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan hipotik.
Benda bergerak, dibedakan menjadi;
Benda bergerak (pasal 509, 510 dan 511 BW) yang dibedakan:
1). Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat berpindah atau dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya, misalnya meja, computer, buku, sepatu dan lainnya.
2). Benda bergerak menurut penetapan undang-undang, ialah segala hak-hak atas benda - benda bergerak seperti hak memetik hasil dan hak memakai, saham-saham dari perseroan dagang.
Benda tak bergerak, dibedakan menjadi;
Benda tidak bergerak (pasal 506,507,508 BW), ada 3 golongan benda tidak bergerak yaitu :
1).Menurut sifatnya dibedakan lagi :
- Tanah;
- Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh , berakar tertanam dan menjadi satu dengan tanah;
- Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas tanah yaitu karena tertanam atau terpaku.
2).Menurut tujuan / pemakaiannya supaya bersatu dengan benda tidak bergerak :
- Pada pabrik, segala mesin - mesin, ketel-kete dan alat-alat lain yang dimaksudkan supaya terus menerus berada di situ untuk digunakan dalam menjalankan pabrik ;
- Pada perkebunan, segala sesuatu yang digunakan sebagai pupuk bagi tanah, ikan dalam kolam dan sebagainya ;
- Pada rumah, segala kaca, tulisan serta alat untuk menggantungkan barang sebagai bagian dari dinding;
- Barang - barang runtuhan dari bangunan apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan bangunan lagi.
3). Penetapan undang-undang sebagai benda tidak bergerak :
-Hak-hak atau penagihan mengenai benda yang tidak bergerak,
- Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas.
-hak memakai benda tak bergerak
-hipotik.


2. Jenis benda dari pesawat udara, kapal laut dan kereta api dari segi hukum
Secara umum, memang pesawat udara, kapal laut dan kereta api merupakan benda bergerak. Namun sesuai penjelasan di atas maka dari segi hukum, pesawat udara, kapal laut dan kereta api digolongkan ke dalam benda tidak bergerak karena dari segi penyerahan (levering) harus dilakukan dengan balik nama dan tidak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata. Hak kebendaan atas benda tidak bergerak diumumkan dan didaftarkan dalam register umum, misalnya hak milik dan hak guna usaha, sedangkan hak kebendaan atas benda bergerak tidak perlu diumumkan dan tidak perlu didaftarkan. Pesawat udara, kapal laut dan kereta api dapat digolongkan sebagai benda terdaftar karena pembuktian pemilikannya dibuktikan dengan tanda pendaftaran atau sertifikat atas nama pemiliknya misalnya PT yang merupakan badan hukum, sehingga mudah dikontrol oleh pemiliknya, pengaruhnya terhadap ketertiban umum, kewajiban pemiliknya untuk membayar pajak, serta kewajiban masyarakat untuk menghormati hak milik orang lain. Contohnya, kendaraan bermotor, tanah, bangunan, kapal, perusahaan, hak cipta, hak paten, telepon, televise, pemancar radio, dll.
3. Cara pengikatan benda tidak bergerak beserta dasar hukumnya.
Semua perjanjian pengikatan jaminan bersifat accessoir, artinya perjanjian pengikatan jaminan eksistensinya atau keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit. Bentuk pengikatan jaminan kredit sesuai dengan jenis bendanya. Seperti diketahui terdapat bermacam-macam benda yang dapat dijadikan jaminan kredit, yaitu benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Mengenai pengikatan jaminan atau lembaga jaminan ini, oleh Bank Indonesia dalam Surat Edarannya (SE-BI) No. 4/248/UPPK/PK Tanggal 16 Maret 1972, disebutkan bahwa untuk benda-benda bergerak, pengikatannya memakai lembaga jaminan fidusia dan gadai, dan untuk benda-benda tidak bergerak memakai lembaga jaminan hipotik dan Creditverband. (H. Budi Untung, 2000, 64). Untuk benda tidak bergerak , yaitu tanah memakai lembaga jaminan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang No. Tahun 1996.
Maka dari itu cara pengikatan benda tidak bergerak seperti Kapal Laut, KEreta Api dan Pesawat Udara adalah melalui hipotik. Istilah hipotik (Hypotheek) berasal dari hukum Romawi yaitu Hypoteca artinya adalah penjaminan atau pembebanan. Hipotik adalah: “Suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk menagmbil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan”.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, disahkan pada tanggal 9 April 1996; maka kelembagaan hipotik diberlakukan untuk obyek kapal. Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata, KUHDagang, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Stb. 1934-78 dan PP No. 23 Tahun 1985, tata cara pembebanan hipotik atas kapal sebagai berikut:
a. Diadakannya perjanjian kredit atau pengakuan hutang (sebagai perjanjian pokok).
b. Diadakan pembebanan hipotik atas kapal (jaminan kredit) dengan ketentuan:
1) Kapal yang akan dibebani hipotik berukuran 20 meter kubik atau lebih.
2) Kapal tersebut adalah kapal Indonesia (pemilik: warga Negara Indonesia).
3) Kapal tersebut telah didaftar di Kantor Syahbandar setempat. Pendaftaran mana selain berfungsi sebagai tanda nasionalitas Indonesia, juga berfungsi untuk merubah sifat alamiah kapal secara formal (dari benda bergerak menjadi benda tidak bergerak). Sehingga apabila kapal tersebut belum didaftar, maka masih dalam sifat aslinya sebagai benda bergerak, yang oleh Pasal 1167 KUHPerdata, menegaskan bahwa benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotik.
Dengan pembebanan ini dibuatkanlah akta hipotik kapal yang dilakukan di hadapan pejabat balik nama kapal (overschrijving ambtenaar) di syahbandar, yang kemudian langsung diadakan pendaftaran hipotiknya oleh pejabat syahbandar setempat.
c. Pembebanan hipotik tersebut dibuat harus dengan hadirnya debitur atau pemilik kapal dengan kreditur atau bank, dilakukan di Kantor Syahbandar tempat mana kapal tersebut telah terdaftar. (Hasanuddin Rahman, 1995: h. 209).
Hipotik diatur dalam 1162 s.d. Pasal 1232 Bab XXI KUHPerdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20 meter kubik dan sudah terdaftar di Syahbandar, serta pesawat terbang.
“Terhadap kapal-kapal demikian yang terdaftar di Syahbandar, oleh Pasal 314 KUHD selanjutnya diperlakukan sebagai kebendaan yang tidak bergerak dan oleh sebab itu pula penjaminan yang dapat diletakkan di atasnya pun hanya dalam bentuk hipotik. Adapun bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar dianggap sebagai kebendaan yang bergerak, yang terhadapnya berlakulah ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata yang berlaku bagi banda-benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada pembawa. Dengan demikian, berarti terhadap kapal laut dengan ukuran kurang dari 20 meter kubik isi kotor, yang tidak didaftarkan dapat digadaikan. Berbeda dengan kapal laut, hingga saat ini di Negara kita belum mengatur mengenai sifat kebendaan dari pesawat terbang. Dalam prakteknya, karena pesawat terbang harus didaftarkan, dan karenanya memiliki sifat nasionalitas sebagaimana kapal laut yang terdaftar, maka terhadap pesawat terbang inipun seberapa jauh dipergunakan ketentuan mengenai hipotik. Hal ini sejalan dengan Konvensi Geneva 1948 tentang the International Recognition of Rights in Aircrafts, yang mengakui secara tegas jaminan dalam bentuk hipotik (mortgages) atau pesawat terbang.
Untuk jaminan pesawat udara diterbitkan Surat Edaran Menhub No.01/ED/1971 yang memberikan penjelasan pasal 11 Keputusan Menhub No.13/S/1971. Keputusan Menhub No.13/S/1971 tidak berlaku dengan adanya Keputusan Menhub No. KM 65/2000, kemudian dicabut dengan Keputusan Menhub No. KM 82/2004, pada penjelasan pasal 7 yang menyatakan bahwa, “Dalam hal pesawat terbang dan helicopter dibebani hak kebendaan (hipotik dan mortgage) pihak yang akan mengalihkan wajib mencatatkan pada ditjen perhubungan udara dengan menyampaikan bukti pengikatan hak kebendaan tersebut”.
JAMINAN KREDIT BANK
1. pengertian dan fungsi jaminan kredit
Dalam UU No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh debitur/kreditur, seperti yagn diatur dalam UU perbankan sebelumnya. Selengkapnya dapat dibandingkan bunyi pasal dalam UU perbankan yagn mengatur masalah jaminan tersebut, yaitu: pasal 24 ayat 1 UU No 14 tahun 1967: “Bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun”.
Pasal UU No.7 Tahun 1992:
“Dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dalam UU perbankan sebellumnya (UU No.14 tahun 1967), secara tegas tersirat adanya keharusan adanya jaminan atas pemberian kredit kepada siapapun. Dalam praktek, bank dalam menyalurkan kredit umumnya meminta adanya jaminan. Adapun yang dimaksud jaminan menurut penjelasan pasal 8 UU No 10 tahun 1998, diartikan sebagai keyakinan atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk mellunasi hutangnya atau mengemablikan pinjaman dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yagn seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.
Keyakinan atas kesanggupan dan kemampuan debitur…”sebagaimana disampaikan di atas mencerminkan apa yagn disebut “The Five C’s of Credit, yang salah satunya yagn Collateral (agunan) yang harus disediakan oleh debitur. Dalam konteks the five (5) C’s agunan ini merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal pemberian kredit oleh perbankan. hal ini sesuai dengan pengertian agunan yang termuat dalam pasal 1 angka 23 UU no. 10 tahun 1998, yang menyebutkan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Lebih lanjut tentang jaminan ini dapat dilihat pada penjelasan pasal 8 UU No 10 tahun 1998 yang menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yagn sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut maka jaminan kredit, dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, merupakan factor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melalukan penilaian yagn seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur. Dalam pemberian kredit oleh bank, pada prakteknya agunan lebih diutamakan dan dipentingkan daripada factor-faktor yagn lainnya. Meskipun misalnya watak calon debitur baik dan prospek usaha yang dijalankan cukup bagus, namun bila tidak mempunyai agunan, maka sulit bagi bank untuk mengabulkan permohonan debitur untuk emmperoleh kredit.
Dari pemaparan di atas, maka dapat kiranya diberikan suatu kesimpulan bahwa jaminan kredit demikian berguna bagi bank, dimana jaminan itu berfungsi:
a. untuk menjamin pelunasan utang debitur. Apabila debitur wanprestasi maka jaminan kebendaan (agunan) milik debitur akan dieksekusi oleh bank guna dipakai melunasi utang-utang debitur.
b. untuk mengantisipasi dan memperkecil resiko kerugian bank terkait dengan kredit yagn disalurkan. Kredit yang disalurkan oleh bank mempunyai resiko besar tidak akan bisa dikembalikan oleh debitur, apabila penyalurannya tidak disertai jaminan yang memadai.
Masalah keberadaan jaminan (collateral) bisa menjadi masalah sangat pelik apabila tidak disikapi secara seksama. Lebih dari itu jaminan kredit oelh calon debitur diharapkan dapat membantu memperlancar proses analisis pemberian kredit dari bank. Untuk itulah maka jaminan kredit (collateral) dimaksud harulah:
a. secured, artinya jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatannya secara yuridis formal sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yagn berlaku. Dengan demikian apabila di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, bank telah mempunyai kekuatan hukum dan alat bukti yagn sempurna serta lengkap untuk melakukan tindakan hukum.
b. marketable, artinya apabila jaminan itu harus, perlu, dan dapat dieksekusi; jaminan tersebut dapat dengan mudah untuk dijual atau diuangkan untuk melunasi utang debitur.
2. Jenis-jenis jaminan
Dilihat dari segi sifatnya, maka jaminan itu dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:
a. jaminan yang lahir karena UU
jaminan yang lahir karena UU adalan jaminan yagn adanya ditentukan oleh UU, dan tidak perlu ada perjanjian antara kreditur dan debitur. Perwujudan dari jaminan yagn lahir dari UU adalah apa yang diatur dalam pasal 1131 dan pasal 1132 KUHPerdata. Selengkapnya ketetnuan pasal-pasal dimaksud adalah sebagai berikut:
pasal 1131 KUHPerdata
“segala kebendaan orang yang berutang, baik yagn bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yagn sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya pribadi.”
Pasal 1132 KUHPerdata
“kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara orang-orang yagn berpiutang itu ada alasan-alasan yagn sah untuk didahulukan.”
Apa yagn diatur dalam 2 pasal KUHPerdata di atas menunjukkan bahwa semua harta benda milik debitur, baik yang sudah ada maupun yagn baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan atas seluruh utangnya. Artinya apabila debitur berutang kepada kreditur, maka seluruh harta kekayaan miliknya menjadi jaminan atas utangnya, meskipun kreditur tidak meminta kepada denitur untuk menyediakan jaminan harta debitur.
Diantara para kreditur mempunyai hak yagn sama atas harta kekayaan debitur. Jika terjadi eksekusi terhadap seluruh harta kekayaan debitur, maka hasil penjualan dari harta itu akan dibagi sama rata diantara para kreditur sesuai dengan besar kecilnya piutang masing-masing. Jaminan yagn lahir dari undang-undang ini menimbulkan jaminan umum artinya semua harta debitur menjadi jaminan seluruh utang debitur dan itu berlaku bagi semua kreditur.
Disini UU (KUHPerdata) memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam kedudukan yagn sama atau berlaku asas “Paritas Creditorium”, dimana pembayaran atau pelunasan utang debitur kepada kreditur dilakukan secara seimbang (pond-ppond gewijs). Dengan demikian para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur “konkuren” yagn bersaing dalam pemenuhan piutangnya, kecuali apabila ada yagn memberikan kedudukan “preferen” kepada para kreditur tersebut. Hak untuk didahulukan (preferen) bagi seorang kreditur terhadap kreditur lainnya timbul dari hak istimewa, gadai, hipotik, fidusia dan hak tanggungan.
b. jaminan yagn lahir karena perjanjian
jaminan yang lahir karena perjanjian ialah jaminan ada karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur. Contohnya, bank memberikan kredit kepada debitur dengan jaminan berupa tanah berikut rumahnya di lokasi tertentu. tanah berikut rumah yang ditunjuk khusus menjadi jaminan tersebut ada karena diperjanjiakn terlebih dahulu antara kreditur dan debitur. Jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia tergolong jaminan karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur.
Dalam jaminan yagn lahir dari perjanjian ini, disamping obyeknya hak kebendaan milik debitur yagn dijadikan jaminan secara khusus, juga orang perorangan atau badan usaha yagn mengikatkan diri sebagai penjamin utang debitur. Jamiann dimaksud dikenal dengan jaminan perorangan (Borgtock).
3. pengikatan jaminan
Untuk kepentingan bank, dalam hal menjamin penegmbalian kredit yang diberikan, maka terhadap jaminan atau agunan yang diserahkan oleh debitur haruslah dibuatkan pengikatan atau pembebanan. Pengikatan benda jaminan ini dibuat dalam perjanjian terpisah dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit.
Semua perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir, artinya perjanjian pengikatan jaminan eksistensinya atau keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit. Perjanjian pengikatan jaminan bukan merupakan perjanjian yagn berdiri sendiri tetapi tergantung pada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Sehingga karenanya perjanjian kredit harus dibuat terlebih dahulu, baru kemudian perjanjian pengikatan jaminan. Dengan demikian kedudukan perjanjian jaminan yagn dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir mempunyai akibat hukum, yaitu:
1. eksistensinya tergantung perjanjian pokok
2. hapusnya tergantung pada perjanjian pokok
3. jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian jaminan ikut batal
4. jika perjanjian pokok beralih, maka perjanjian jaminan ikut juga beralih.
Bentuk pengikatan jaminan kredit sesuai dnegan jenis bendanya. Seperti diketahui terdapat bermacam-macam benda yang dapat dijadikan jaminan kredit, yaitu baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Mengenai pengikatan jaminan atau lembaga jaminan ini, oleh BI dalam surat edarannya (SE-BI) no. 4/248/UPPK/PK tanggal 16 maret 1972, disebutkan bahwa untuk benda-benda bergerak, pengikatannya memakai lembaga jaminan fidusia dan gadai dan untuk benda-benda tidak bergerak memakai lembaga jaminan hipotik dan creditverband. Untuk benda tidak bergerak yaitu tanah memakai lembaga jaminan hak tanggungan berdasarkan UU No tahun 1996.
4. bentuk-bentuk perikatan jaminan
Bentuk-bentuk pengikatan jaminan dikelompokkan dalam jaminan perorangan, jaminan kebendaan untuk benda tetap, benda bergerak dan piutang.
a. jaminan perorangan (Borgtocht)
selain jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijk) seperti hak tanggungan, hipotik, fidusia dan gadai, ada juga jaminan yagn bersifat perorangan (personalijke). Dalam prakte pemberian kredit oleh Bank biasanya dipersyaratkan adanya jaminan perorangan (Borgtocht). Borgtocht ini pada umumnya merupakan jaminan tambahan selain jaminan pokoknya yagn berupa jaminan kebendaan. Dalam praktek biasanya yagn menjadi Borg atau menjamin bisa orang perorangan atau suatu perusahaan (badan hukum maupun tidak badan hukum).
Dalam jaminan perorangan pengikatan jaminan dilakukan dengan akta penjaminan (penanggungan). Pemberian jaminan yang dilakukan oleh orang perorangan dinamakan “personal Guaranty”. Sedangkan yang dilakukan oleh perusahaan atau badan hukum dinamakan “company guaranty”. Ketentuan tentang jaminan perorangan (borgtocht) ini diatur dalam buku ketiga tentang perikatan, Bab XVII tentang penanggungan, pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata.
Borgtocht adalah perjanjian antara kreditur (berpiutang) dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur (si berpiutang). Perjanjian antara kreditur dengan pihak ketiga (penjamin) dapat dilakukan dengan sepengetahuan si debitur (si berutang) atau bahkan tanpa sepengetahuan debitur.
Contoh: A berutang sejumlah uang kepada Bank BTN. Dalam hal ini bank BTN dapat mengadakan perjanjian dnegan B, agar B menjamin pembayaran utang A tersebut kepada bank BTN. Perjanjian antara bank BTN dengan B dapat dilakukan dengan sepengetahuan A atau boleh juga tanpa sepengetahuan A.
Dalam jaminan borgtocht ini berarti seorang penjamin secara hukum menyediakan seluruh atau sebagian tertentu harta kekayaan yagn dimiliki sekarang maupun yagn akan datang, baik barang tetap maupun barang bergerak untuk menjamin utang debitur, manakala debitur tidak mampu melunasi utangnya. Sifat perjanjian borgtocht ini adalah bersifat accesoir, tetapi dari sudut pemenuhan kewajiban bersifat subside, artinya bahwa kewajiban penjamin untuk memenuhi kewajiban debitur terjadi manakala debitur wanprestasi (tidak memenuhi kewajibannya membayar utang). Bila debitur sendiri telah memenuhi kewajibannya, maka penjamin tidak perlu memenuhi kewajibannya sebagai seorang penjamin.
Seperti disampaikan diatas bahwa dalam pengikatan jaminan perorangan ini dilakukan dengan membuat akte penjaminan. Sebelum dibuat akta penjaminan, didahului dengan pembuatan perjanjian pokok yagn berupa perjanjian kredit. Setelah perjanjian kredit dibuat maka dilanjutkan dengan tahap pembuatan perjanjian penjaminan (akta borgtocht) antara bank sebagai kreditur dengan pihak ketiga.
Bentuk akta penjaminan atau akta borgtocht dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akta autentik (akta notaries), karena undang-undang sendiri tidak menentukan secara formal mengenai bentuk akta borgtocht tersebut. Namun pada umumnya dalam praktek perbankan akta borgtocht selalu diabut dnegan akta otentik berupa akta notaries, karen adapat menjamin kebenaran dan kelengkapan isi akta borgtocht dan dapat menjamin kekuatan pembuktian, mengingat sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
a. jaminan kebendaan
pengikatan untuk jaminan kebendaan adalah sebagai berikut:
1. hak tanggungan
Lembaga hak tanggungan diatur dalam UU No.4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (selanjutnya disebut : UUHT), disahkan pada tanggal 9 april 1996.
Dari pengertian atau definisi tersebut dapat diuraikan elemen atau unsure-unsur praktek hak tanggungan yaitu:
a. hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
b. utang yang dijamin jumlahnya tertentu
c. obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah sesuai UUPA, yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai.
d. hak tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda yang berakitan dengan tanah atau tanahnya saja.
e. hak tanggungan memberikan hak preferen atau hak diutamakan kepada kerditur tertentu terhadap kreditur lain.
Hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah adanya karena diperjanjikan lebih dahulu antara kreditur dengan debitur. Jaminan yagn adanya/lahirnya karena perjanjian ini akan menimbulkan jaminan khusus yagn berupa jaminan kebendaan yaitu hak tanggungan. UU No 4 tahun 1996 yagn mengatur hak tanggungan lahir sebagai realisasi dari ketentuan pasal 51 UUPA (UU No 5 tahun 1960).
Pasal mana menyatakan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada tanah dengan hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha diatur dengan undang-undang.
Sebelum berlakunya UU No 5 tahun 1996 tentang hak tanggungan, pengikatan jaminan hak atas tanah menggunakan hipotik sebagaimana diatur dalam KUHPerdata buku II bab XXI pasal 1162 sampai dengan pasal 1232 dan creditverband yagn diatur dalam Stb.1908 No. 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937 No.190. hipotik dan creditverband tidak sesuai dengan asas hukum tanah nasional dan masih membedakan tanah-tanah yang dipasang hipotik dan tanah yang diikat dnegan creditverband. Jadi dengan berlakunya UU No 4 tahun 1996 (UU hak tanggungan), berarti Negara telah mewujudkan kesatuan atau unifikasi hukum tanah nasional.
Pengikatan tanah sebagai jaminan utang dengan menggunakan hak tanggungan harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. tahapan pertama (pembuatan perjanjian kredit)
perjanjian pengikatan jaminan seperti diketahui merupakan perjanjian yang sifatnya accesoir, dan begitu pula dengan hak tanggungan. Sesuai dengan sifat accesoir hak tanggungan, maka pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan utang. Dengan demikian, sebelum perjanjian pengikatan jaminan dengan hak tanggungan dibuat, maka sebelumnya perjanjian kredit harus dibuat terlebih dahulu. Di dalam perjanjian kredit itu kemudian dirumuskan janji untuk memberikan hak tanggungan. (pasal 10 ayat 1 UU hak tanggungan), yagn selanjutnya ditindaklanjuti dengan membuatnya dalam akte tersendiri yagn disebut akta pemberian hak tanggungan (APHT).
b. tahap kedua (pembuatan APHT)
tahap kedua berupa pembuatan hak tanggungan yagn ditandai dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan (APHT) dibuat oleh PPAT yagn ditandatangani kreditur sebagai penerima hak tanggungan dan pemilik hak atas tanah yagn dijaminkan (debitur atau pemilik jaminan tetapi bukan debitur). Bentuk APHT adalah akta otentik yagn dibuat oleh dan dihadapan PPAT.
Jika pemberian hak tanggungan menguasakan kepada kreditur untuk membebankan hak tanggungan, maka dibuatkan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT). Akan tetapi jika pemberi hak tanggungan langsung memberikan hak tanggungan dengan menandatangani APHT maka SKMHT tidak diperlukan. Jadi dengan demikian SKMHT tidak harus ada.
c. tahap ketiga (pendaftaran APHT)
tahap ketiga adalah tahap pendaftaran APHT pada kantor pertanahan setempat. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 13 ayat 1 UU hak tanggungan yagn menegaskan pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Setelah kantor pertanahan menerima pendaftaran dari PPAT dalam waktu 7 hari setelah APHT ditandatangani, maka kantor pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku hak atas tanah yagn menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut dalam sertifikat hak atas tanah yagn bersangkutan. Sebagai tanda bukti bahwa APHT telah didaftarkan di kantor pertanahan, maka kantor pertanahan akan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan diberikan kepada kreditur sebagai pemegang hak tanggungan.
2. HIPOTIK
Istilah hipotik (Hypotheek) berasal dari hukum romawi yaitu Hypoteca, artinya adalah penjaminan atau pembebanan. Hipotik menurut pasal 1162 KUHPerdata adalah :”Suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan”.
Dengan dibandingkannya UU No 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yagn berkaitan dengan tanah, disahkan pada tanggal 9 april 1996; maka kelembagaan hipotik diberlakukan untuk obyek kapal. Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata, KUHDagang, UU No 2 tahun 1992 tentang pelayaran, Stb.1934-78 dan PP no.23 tahun 1985, tata cara pembebanan hipotik atas kapal sebagai berikut:
a. diadakan perjanjian kredit atau pengakuan hutang (sebagai perjanjian pokok)
b. diadakan pembebanan hipotik atas kapal (jaminan kredit) dengan ketentuan:
1) kapal yang akan dibebani hipotik berukuran 20 meter kubik atau lebih
2) kapal tersebut adalah kapal Indonesia (pemilik: warga Negara Indonesia)
3) kapal tersebut telah didaftar di kantor syahbandar setempat. Pendaftaran nama selain berfungsi sebagai tanda nasionalitas Indonesia, juga berfungsi untuk merubah sifat alamiah kapal secara formal (dari benda bergerak menjadi benda tidak bergerak). Sehingga apabila kapal tersebut belum didaftar, maka masih dalam sifat aslinya sebagai benda bergerak, yang oleh pasal 1167 KUHPerdata, menegaskan bahwa benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotik.
Dengan pembebanan ini dibuatkanlah akta hipotik kapal yang dilakukan di hadapan pejabat balik nama kapal (overschrijving ambtenaar) di syahbandar, yang kemudian langsung diadakan pendaftaran hipotiknya oleh pejabat syahbandar setempat.
c. pembebanan hipotik tersebut dibuat harus dengan hadirnya debitur atau pemilik kapal dengan kreditur atau bank, dilakukan di kantor syahbandar temapt mana kapal tersebut telah terdaftar.
3. GADAI
Gadai atau pand merupakan lembaga jaminan kebendaan bagi benda bergerak yang diatur dalam KUHPerdata. Pengertian gadai terdapat dalam pasal 1150 KUHPerdata, berbunyi:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh orang lain atas namanya dan memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari benda tersebut secara didahulukan daripada kreditur lainnya, dengan kekecualian untuk mendahulukan biaya lelang, biaya penyelamatan benda setelah digadaikan”.
Dari definisi tersebut dapat dilihat beberapa unsure pokok gadai, yaitu:
a. gadai lahir karena penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada kreditur pemegang gadai
b. penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitur pemberi gadai atau orang lain atas nama dbeitur
c. barang yang menjadi obyek gadai atau barang gadai hanyalah barang bergerak
d. kreditur pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang gadai lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.
Syarat yagn utama dalam perjanjian gadai adalah penguasaan benda oleh kreditur (inbezitstelling) dan apabila benda tidak dikuasai oleh kreditur gadai tersebut batal demi hukum (pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata) dan gadai akan hapus apabila benda objek gadai tersebut keluar dari kekuasaan kreditur (pasal 1152 ayat (3) KUHPerdata), kecuali apabila hilang atau dicuri dari kreditur. Penguasaan benda bergerak oleh kreditur merupakan suatu publikasi kepada umum dan untuk menunjukkan bahwa hak kebendaan berupa gadai atau pand atas benda bergerak tersebut berada dalam tangan kreditur. Sehubungan benda objek jaminan berada dalam tangan kreditur maka kreditur berhak atas gantirugi atas biaya ygn telah dikeluarkannya guna keselamatan benda objek gadai tersebut (pasal 1157 KUHPerdata).
Perjanjian gadai merupakan perjanjian asesor (accessoir) dimana harus ada perjanjian hutang-piutang sebagai perjanjian pokok atau induknya.
Yagn menjadi objek jaminan gadai adalah benda bergerak baik yagn berwujud maupun yagn tidak berwujud. Benda yang tidak berwujud yagn dapat menjadi jaminan antara lain adalah surat-surat berharga, saham-saham, obligasi, SBI, SBPU, hak tagih.
4. FIDUSIA
Secara terminology, fidusia berasal dari kata “fides” yang berarti “kepercayaan” dan merupakan bentuk lain bagi jaminan atas benda bergerak selain gadai. Fidusia adalah istilah lain bagi lembaga fiduciere eigendom overdracht (FEO) yagn berarti penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan.
Jaminan fidusia sesungguhnya merupakan jaminan untuk benda bergerak selain gadai, dimana benda jaminan tetap dipegang dan dikuasai oleh pemberi fidusia. Hal ini berbeda dengan gadai, yang mana salah satu syaratnya benda jaminan gadai itu wajib diserahkan kepada penerima gadai.
Fidusia lahir dan berkembang sebagai jalan keluar dari kesulitan persyaratan dalam gadai terkait dengan penyerahan benda jaminan. Apabila mencari pinjaman atau kredit dengan menggunakan jaminan gadai akan terbentur pada syarat “in bezit stelling”, yaitu salah satu syarat dalam gadai yagn mensyaratkan bahwa benda bergerak yagn menjadi jaminan harus ditarik/berada dalam kekuasaan pemegang gadai (pemberi kredit).
Syarat In Bezit Stelling ini dirasakan berat oleh pemohon kredit dengan jaminan benda bergerak, karena benda yagn dijaminkan itu justru sangat diperlukan untuk menjalankan usaha atau untuk kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasi kesullitan ini kemudian dipakai jaminan fidusia. Dalam jaminan fidusia yagn dipindahkan atau diserahkan ialah hak atas benda (hak kepemilikan) tersebut sebagai jaminan atas dasar kepercayaan, sedangkan bendanya sendiri masih tetap berada dalam kekuasaan si debitur (pemillik benda), sehingga masih dapat dipergunakan untuk kepentingan melanjutkan usaha debitur (pemilik benda).
Lembaga jaminan fidusia terbukti dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan selama ini tumbuhdan berkembang di Indonesia berdasarkan yurisprudensi. Lembaga fidusia ini digunakan sebagai dasar pemberian kredit oleh bank dengan jaminan benda bergerak. Dalam praktek perbankan di Indonesia fidusia juga dapat dibebankan pada benda-benda tetap (tidak bergerak), terutama untuk benda tidak bergerak (tanah) yang tidak dapat dijaminkan dengan lembaga hipotik atau hak tanggungan.
Mengingat selama ini fidusia di Indonesia hanya didasarkan kebiasaan dan yurisprudensi, maka guna lebih menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, pemerintah mengeluarkan UU No.42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Dengan adanya UU Fidusia ini diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum serrta memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang seirama perkembangan lembaga fidusia itu sendiri.
Pengikatan atau pembebanan benda bergerak sebagai jaminan utang (kredit) dengan menggunakan fidusia berdasarkan ketentuan UU fidusia harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. tahap pertama (pembuatan perjanjian kredit)
sama seperti pembebanan hak tanggungan, pada pembebanan fidusia tahap pertama didahului dengan pembuatan perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dibuat bisa dengan akta dibawah tangan atau dengan akta otentik (akta notaris).
b. tahap kedua (pembuatan akta jaminan fidusia)
tahap kedua adalah tahap pembebanan benda jaminan fidusia dengan pembuatan akta jaminan fidusia (AJF) yagn ditandatangani oleh kreditur sebagai penerima fidusia dan pemberi fidusia (debitur atau pemilik benda tetapi bukan debitur). Bentuk akta jaminan fidusia adalah akta otentik yagn dibuat oleh dan dihadapan notaries.
c. tahap ketiga (pendaftaran akta jaminan fidusia)
pada tahap ketiga ini ditandai dengan pendaftaran jaminan fidusia di kantor pendaftaran fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia (domisili debitur atau pemilik benda jaminan fidusia). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 11 jo pasal 12 UU Fidusia yang menentukan: “Benda yagn dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di kantor pendaftaran Fidusia”. Sebagai bukti telah didaftarkannya Akta Jaminan Fidusia, kemudian kantor pendaftaran fidusia menerbitkan sertifikat jaminan fidusia yagn kemudian diserahkan kepada kreditur sebagai penerima fidusia.





KREDIT MACET DAN PENYELESAIANNYA
1. Kriteria kredit macet
Kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan asset bank. Kredit merupakan risk asset bagi bank karena asset bank itu dikuasai oleh pihak luar bank yaitu para debitur. Setiap bank menginginkan dan berusaha keras agar kualitas risk asset ini sehat dalam arti produktif dan collectable. Namun kredit yang diberikan kepada para debitur selalu ada resiko berupa kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya yagn dinamakan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank karena bank tidak mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank hanya berusah amenekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan bank Indonesia sebagai pengawas perbankan. Bank Indonesia melalui surat keputusan direksi bank Indonesia nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 memberikan penggolongan mengenai kualitas kredit apakah kredit yang diberikan bank termasuk kredit performing loan (tidak bermasalah) atau kredit bermasalah (non performing loan). Kualitas dapat digolongkan sebagai berikut:
a. lancar
b. dalam perhatian khusus
c. kurang lancer
d. diragukan
e. macet
untuk menentukan kualitas kredit apakah masuk kategori lancer, dalam perhatian khusus, kurang lancer, diragukan atau macet, bisa dilihat dari segi kemampuan bayarnya. Menilai kemampuan membayar lebih mudah karena jelas criteria atau ukurannya yaitu:
a. kredit digollongkan lancer jika pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai perjanjian kredit.
b. kredit digolongkan dalam perhatian khusus, jika terdapat tunggakan pembayaran pokok/atau bunga dengan 90 hari (3 bulan)
c. kredit digolongkan kurang lancer jika terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari (6 bulan)
d. kredit digolongkan diragukan jika terdapat tunggakan pemabayaran pokok dan atau bunga yagn telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari (9 bulan)
e. kredit digolongkan macet jika terdapat tunggakan pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari (9 bulan lebih)
2. Faktor Penyebab Kredit Macet
Untuk menghindarkan kredit bermasalah atau non performing loan, bank sebebnarnya telah melakukan pengamanan preventif dengan melakukan analisa yang mendalam terhadap usaha dan penghasilan serta kemampuan debitur. Analisa dari aspek hukum juga telah dilakukan misalnya legalitas debitur, legalitas usaha debitur, kewenangan orang bertindak mewakili perusahaan, keabsahan hukum dari barang yagn menjadi agunan, penjamin/borgtocht dan pemantauan dan pengawasan secara terus menerus. Meskipun pengamanan preventif telah dilakukan namun tidak jarang debitur tidak mampu menyelesaikan hutangnya tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit sehingga menjadi kredit bermasalah. Banyak penyebab kredit bermasalah misalnya karena debitur tidak mampu atau karena mengalami kemerosotan usaha dan gagalnya usaha yagn mengakibatkan berkurangnya pendapatan usaha debitur atau memang debitur sengaja tidak mau membayar karena karakter debitur tidak baik.
Kredit bermasalah (kredit macet) yang ada pada suatu bank disebabkan oleh banyak factor yaitu:
1. prosedur pemberian kredit
a. kebijakan pemberian kredit yagn terlalu ekspansif
peningkatan penghimpunan dana pihak ketiga yagn cukup cepat telah menyebabkan beberapa bank melakukan ekspansi kredit yang melebihi tingkat yagn wajar. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kerugian apabila dana yang dihimpun tersebut tidak ditanamkan.
Pemberian kredit yagn ekspansif sering kali mengabaikan asas pemberian kredit yang sehat sehingga pada giirannya akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
b. minimnya data informasi calon debitur.
Minimnya informasi mengenai data-data calon debitur baik dari lingkungan bank itu sendiri maupun informasi-informasi yagn menyangkut kegiatan usaha nasabah yang ersangkutan, akan mengakibatkan analisa pemutusan kredit didasarkan pada informasi-informasi yagn tidak lengkap hingga mengakibatkan keputusan yang salah.
c. penyimpangan dalma prosedur pemberian kredit
pada umumnya bank telah memiliki pedoman dan tata cara pemberian kredit namun dalam pelaksanaannya seringkali dilaksanakan secara benar. Penyimpangan terahdap prosedur atau kebijakan dalam pemberian kredit, pada umumnya bukan semata-mata disebabkan karena kurangnya tenaga yang berkualitas di bidang perkreditan, tetapi seringkali disebabkan adanya dominasi pemutusan kredit oleh pejabat tertentu pada bank yagn bersangkutan. Khusus pada bank swasta seringkali campurtangan pemilik sangat dominan dalam hal pemutusan kredit, sehingga tidak menghiraukan prinsip kehati-hatian dan azas pemberian kredit yang sehat.
d. itikad kurang baik dari pemilik/pengurus dan pegawai bank
sebagai penyebab lain dari terjadinya kredit bermasalah adalah itikad yagn kurang baik dari pemilik/pengurus dan pegawai bank. Praktek yang biasanya terjadi adalah pemberian kredit kepada debitur yagn usahanya sebenarnya tidak layak untuk diberi kredit (tidak A bankable) tetapi dengan rekayasa sedemikian rupa akhirnya kredit diberikan kepada debitur tersebut. Kegiatan usaha yang tidak bankable itu antara lain kegiatan-kegiatan yagn kurang jelas tujuannya selain tidak jelas debiturnya (debitur fiktif) dimana pengguna dana yang sebenarnya adalah berbeda dengan yang tercantum pada bukti bukti yang ada
2. pengelolaan kredit
a. kurangnya kemampuan teknis para pengelola kredit
kurangnya kemampuan teknis para pengelola kredit dalam melakukan analisa terhadap keadaan keuangan dan prospek usah adebitur telah menghasilakan keputusan-keputusan yagn salah sehingga mengakibatkan kegagalan dalam mengelola perkreditan
b. analisa terhadap kebutuhan kredit debitur
ketidakmampuan pengelola kredit dalam memberikan kredit dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan, baik ditinjau dari jumlahnya maupun dari saatnya/timingnya, mungkin pemberian kredit terlalu lambat atau terlalu cepat.
c. lemahnya sistem informasi kredit
dalam kasus ini, bank seringkali cenderung melaporkan gambaran perkreditan yagn lebih baik dari pada keadaan yang sebebanrnya kepada Bank Indonesia, antara lain dengan tujuan untuk mendapatkan penilaian kesehatan yagn lebih baik. Keadaan ini sesungguhnya justru akan menyulitkan bank yang bersangkutan, karena bank tidak akan memiliki informasi yang akurat mengenai kredit bermasalah yagn sebenarnya, sehingga bank tidak dapat mengambil langkah-langkah pencegahan secara dini untuk mengatasinya.
d. konsentrasi kredit kepada pihak terkait
pemberian kredit lebih banyak disalurkan kepada grup usaha milik pihak-pihak yagn terkait dengan bank, seperti milik para pemegang saham, pengurus bank maupun yang mempunyai hubungan saudara dnegan para pihak tersebut. Dalam pemberian kredit kepada pihak terkait ini biasanya diikuti dengan pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
3. adiministrasi dan pengawasan kredit
Sistem administrasi dan pengawasan kredit yagn lemah menyebabkan pemantauan terhadap performance kredit tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian permasalahan yang menimbulkan kredit bermasalah seperti terjadinya tunggakan angsuran pokok dan bunga serta permasalahan lainnya yang berkaitan dengan usaha dbeitur tidak dapat terdeteksi secara dini, sehingga pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya kredit bermasalah dan atau kredit macet.
4. pengaruh ekstern
Penyebab kredit bermasalah dan atau kredit macet yagn dapat dikategorikan sebagai factor ekstern antara lain adalah:
a. kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh berbagai factor yagn terdapat dalam lingkungan usaha debitur, yaitu dapat berupa kegagalan produksi, distribusi, pemasaran maupun regulasi terhadap suatu industry. Namun demikian, sebenarnya factor tersebut dapat diantisipasi secara dini apabila analisa terhadap calon debitur dilakukan secara akurat dan dengan memperhitungkan kelayakan usaha di masa yagn akan datang termasuk di dalamnya factor dan kejenuhan usaha juga turut diperhatikan.
b. menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga
terjadinya krisis moneter seperti sekarang mempunyai dampak yagn luas terhadap seluruh sector kehidupan masyarakat tidak terkecuali terhadap kegiatan ekonomi terutama pada sector-sektor usaha. Disamping tingginya bunga sebagai akibat dari ketatnya likuiditas di pasar uang antar bank telah menyebabkan bank terpaksa melakukan penyesuaian terhadap tingkat suku bunga kredit. Factor-faktor tersebut di kemudian hari akan dapat menjadi salah satu penyebab kesulitan debitur untuk memnuhi kewajibannya kepada bank.
c. musibah yang terjadi pada debitur atau kegiatan usahanya
beberapa kredit bermasalah disebabkan karena debitur tertimpa musibah, seperti debitur meniggal dunia, kebakaran pada tempat usahanya/pabrik, sementara debitur atau bank tidak melakukan pengamanan melalui penutupan asuransi.
d. pemanfaatan iklim persaingan perbankan yagn tidak sehat oelh debitur
adanya iklim persaingan perbankan yagn ketat seringkali dimanfaatkan oleh beberapa debitur dengan cara tertentu sehingga mendorong bank untuk mengabaikan prinsip-prinsip pemberian kredit yagn sehat dengan menawarkan persyaratan kredit yang lebih ringan dan dalam jumlah yang besar. Pada akhirnya, pemberian kredit yagn berlebihan tersebtu dapat mendorong debitur yang bersangkutan untuk menggunakan kelebihan dananya yang bersangkutan untuk menggunakan kelebihan dananya bagi tujuan lain yang bersifat spekulatif.
3. penyelamatan kredit macet
Tindakan bank dalam usaha menyelamatkan dan menyelesaikan kredit bermasalah akan beraneka ragam tergantung pada kondisi kredit bermasalah itu. Misalnya apakah debitur kooperatif dalam usaha menyelesaikan kredit bermasalah itu. Bila debitur kooperatif dalam mencari solusi penyelesaian kredit bermasalah dan usaha debitur masih memiliki prospek maka dilakukan restrukturisasi kredit. Sebaiknya bagi debitur yang memiliki etikad tidak baik (tidak kooperatif) untuk penyelesaian kredit akan tergantung kuat tidaknya dari aspek hukum perjanjian kredit, pengikatan barang jaminan, kondisi fisik jaminan dan nilai jaminan karena jaminan inilah satu-satunya sumber pengemablian kredit. Bagi debitur, yang beritikad tidak baikd an dari aspek hukum kuat maka tindakan hukum merupakan pilihan yagn tidak dapat dihndarkan. Untuk menyelesaikan kredit bermasalah (non performing loan) ada dua strategi yagn dapat ditempuh yaitu: penyelamatan kredit macet dan penyelesaian kredit macet.
Penyelamatan adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah (kredit macet) melalui perundingan kembali antara kreditur dan debitur dengan memperingan syarat-syarat pengembalian kredit sehingga dengan memperingan syarat-syarat pengembalian kredit diharapkan debitur memiliki kemampuan kembali untuk menyelesaikan kredit itu. Jadi tahap penyelamatan kredit ini belum memanfaatkan lembaga hukum, karena debitur masih kooperatif dan dari prospek usaha masih feasible. Penyelesaian kredit melalui tahap penyelamatan kredit ini dinamakan penyelesaian melalui restrukturisasi kredit ini diperlukan syarat yagn paling utama yaitu adanya kemauan dan etikad baik dan kooperatif dari debitur serta bersedia mengikuti syarat-syarat yagn ditentukan bank, karena penyelesaian kredit melalui restrukturisasi lebih banyak negoisasi dan solusi yang ditawarkan bank untuk menentukan syarat dan ketentuan restrukturisasi. Langkah yagn ditempuh bank dalam upaya penyelamatan kredit ini adalah berupa:
1. penjadwalan kembali (rescheduling)
a. memperpanjang jangka waktu kredit
dalam hal ini debitur diberi keringanan dalam masalah jangka waktu kredit misalny aperpanjangan jangka waktu kredit dari 6 bulan menjadi 1 tahun sehingga debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikannya.
b. memperpanjang jangka waktu angsuran kredit
memperpanjang jangka waktu angsuran hamper sama dnegan jangka waktu kredit. Dalam hal ini jangka waktu wangsuran kreditnya diperpanjang. Pembayarannya pun misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali dan hal ini tentu saja jumlah angsurannya pun menjadi mengecil seiring dengan penambahan jumlah angsuran.
2. penyesuaian kembali (reconditioning)
Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti:
a. kapitalisasi bunga, yaitu bunga dijadikan utang pokok
b. penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu
dalam hal penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu maksudnya hanya bunga yang dapat ditunda pembayarannya sedangkan pokok pinjamnannya tetap harus dibayar seperti biasa
c. penurunan suku bunga
penurunan suku bunga dimaksudkan agar lebih meringankan beban debitur. Sebagai contoh jika bunga per tahun sebelumnya dibebankan 20%, kemudian diturunkan menjadi 18%. Hal ini tergantung dari pertimbangan bank yang bersangkutan. Penurunan suku bunga akan mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan debitur.
d. pembebasan bunga
dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada debitur dengan pertimbangan debitur sudah akan mampu lagi membayar kredit tersebut. Akan tetapi debitur tetap memppunyai kewajiban untuk membayar pokok pinjamannya sampai lunas.
3. restrukturisasi (restructuring)
a. dengan menambah jumlah kredit
b. dengan menambah equity, dilakukan dengan menyetor uang tunai atua tambahan dari pemilik.
Upaya ppenyelamatan kredit sebagaimana dimaksud di atas memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan kesabaran dari pihak kreditur (bank) di dalam menanti hasilnya. Upaya penyelematan tersebut secra terus menerus harus dimonitor hasilnya. Laporan secara periodic tentang perkembangan upaya penyelamatan harus disusun dan dibahas bersama antara tim pelaksana dan pimpinan bank.
4. penyelesaian kredit macet
Penyelesaian kredit adalah langkah penyelesaian kredit bermasalah atau direktorat jenderal piutang dan lelang Negara atau badan lainnya dikarenakan langkah penyelamatan sudah tidak membawa hasil dan atau tidak dimungkinkan lagi. Tujuan penyelesaian kredit melalui lembaga hukum ini adalah untuk menjual atau mengeksekusi benda milik debitur yang dijadikan jaminan utang.
Ketika upaya penyelamatan tidak membuahkan hasil seperti yagn idharapkan maka untuk menghindari kerugian bank yang lebih besar terhadap kredit macet, maka akan dilakukan upaya penyelesaian kredit melalui,
1. badan urusan piutan gdan lelang Negara (BUPLN)
Cara ini adalah untuk kredit macet di bank milik Negara. Biasanya kredit yagn telah macet (dan telah diupayakan penagihannya/penyelesaiannya melalui BUPLN untuk selanjutnya akan dilakukan pelelangan/penjualan benda jaminan. Namun tidak selamanya pelelangan atau penjualan itu dilakukan dengan bantuan BUPLN, sebab apabila bank telah memperoleh “kuasa menjual” maka ia dapat menjual harta jaminan tersebut di bawah tangan. Untuk memperoleh pengembalian kredit dari hasil pelelalngan bukanlah hal yang mudah dan cepat. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk menjual agunan melalui prosedur lelang sangat sulit untuk memperoleh harga yagn diharapkan, belum lagi masih harus dipotong dengan berbagai pembiayaan lelang yang cukup besar. Agar tidak terlalu merugikan pihak bank, maka hukum perbankan yagn baru memberikan kesempatan kepada bank untuk turut serta dalam pelanggan (sebagai pembeli lelang), sebab jika bank dapat menguasai agunan itu dari pelelangan maka nantinya bank dapat menjual agunan itiu secara perlahan-lahan menurut harga yan gberlaku di pasaran (pasal 6 ayat k Undang-undang Nomor 7/92)
2. gugatan melalui pengadilan
Cara penyelesaian kredit macet seperti ini dilakukan bagi bank swasta. Dalam hal debitur tidak memnuhi kewajibannya, setiap kreditur (bank) dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, dan kemudian pengadilan akan memberikan putusannya. Putusan pengadilan dimaksud mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan (mempunyai kekuatan eksekutorial). Apabila debitur tidak mau melunasi utangnya, maka putusan pengadilan itu akan dilaksanakan atas dasar perintah ketua pengadilan. Selanjutnya atas perintah ketua pengadilan dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang, dengan perantaraan kantor lelang dan hasil pelelangan itu bank sebagai kreditur akan memperoleh pelunasan piutangnya.
3. melalui arbitrase atau perwasitan
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa penyelesaian kredit macet melalui BUPLN maupun melalu engadilan dipandang kkurang menguntungkan karena waktu yagn diperlukan relative lama dan jumlah uang yang bisa ditarik juga sangat kecil. Oleh sebab itu kalangan pakar hukum perbankan dan mencoba menawarkan penggunaan lembaga arbitrase untuk penyelesaian kredit macet.
Pada umumnya pada bagian akhir perjanjian kredit dapat dicantumkan suatu klausula yagn menentukan bahwa apabila timbul sengketa akibat dari perjanjian tersebut para pihak akan memilih penyelesaian melalui arbitrase (perwasitan).
Cara penyelesaian melalui arbitrase ini diperlukan oleh para pihak, karena cara penyelesaian melalui gugatan perdata di muka pengadilan sampai tercapainya putusan memperoleh kekuatan hukum yagn tetap relative akan memerlukan waktu yang lama.
Dalam klausula arbitrase tersebut biasanya ditetapkan dnegan cara-cara penunjukan arbiter (wasit) dan susunan tim arbiter yang akan memutuskan sengketa yang mungkin terjadi. Terbentuknya tim arbiter itu dimulai dengan masing-masing pihak menunjuk seorang arbiter, kemudian dua orang arbiter tersebut memilih lagi seorang arbiter ketiga sebagai ketua tim arbiter. Tim arbiter ini hanya berwenang memutuskan sengketa jika sebelumnya telah ada kesepakatan antara kedua pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka melalui pengadilan, melainkan melalui arbitrase, yang dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri atau dalam klausula arbitrase.
RAHASIA BANK DAN SANKSI HUKUM ATAS PELANGGARANNYA
1. Pengertian rahasia bank
Sesungguhnya hubungan antara bank dengan nasabahnya baik hubungan anatara bank dengan nasabah penyimanan dana (nasabah kreditur) maupun dengan nasabah peminjam dana (masalah debitur) adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation). Dalam hubungan ini terdapat kewajiban dari bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain meupun kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang yang berlaku. Hubungan kerahasiaan ini tidak saja dianut oleh Indonesia tetapi juga oleh berbagai Negara di dunia.
Melihat perkembangan rahasia bank itu sendiri, seperti misalnya inggris, kewajiban untuk merahasiakn (duty of secretles) merupakan kewajiban tersirat (implied duties). Artinya kewajiban tersebut bukan merupakan kewajiban yagn secara tegas dicantumkan dalam kontrak antara bank dengan ansabah, tetapi tersirat sebagai perjanjian demikian. Begitu pula Negara Swiss, termasuk Negara yagn paling erat menganut prinsip kerahasiaan bank ini.
Menurut pasal 1 ayat (28) dari Undang-undang perbankan, yagn dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu ynag berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jadi, Undang-undang perbankan (No.10 tahun 1998) mempertegas dan mempersempit pengertian rahasia bank dibandingkan dengan ketentuannya dalam pasal-pasal dari undang-undang sebelumnya, yaitu UU No 7 tahun 1992, yagn tidak khusus menunjukkan rahasia bank kepada nasabah deposan saja.
Dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (16) tersebut dan pasal-pasal lainnya dapat ditarik unsure-unsur dari rahasia bank itu, yaitu sebagai berikut:
(1) rahasia bank tersebut berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
(2) hal tersebut “wajib” dirahasiakan oleh bank kecuali termasuk ke dalam kategori perkecualian berdasarkan prosedur dan peraturan perundang-undangan yagn berlaku.
(3) pihak yang dilarang membuka rahasia bank adalah pihak bank sendiri dan/atau pihak terafiliasi. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi adalah sebagai berikut:
(a) anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank yang bersangkutan.
(b) anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank berbentuk badan hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(c) pihak pemberi jasa kepada bank yang bersangkutan, termasuk tetapi tidak terbatas pada akuntan public, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya.
(d) pihak yang menurut penilaian bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, termasuk tetapi tidak terbatas pada pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.
Asas rahasia dalam bidang keuangan termasuk rahasia bank ini sudah sejak lama dikenal dalam sejarah keuangan dan financial. Bahkan sejak zaman pertengahan, masalah rahasia di bidang keuangan ini sudah diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata Negara jerman dan di kota-kota Italy bagian utara. Seirama dengan perlindungan kepada hak-hak individu, maka perkembangan perberlakuan prinsip rahasia bank ini juga semakin meluas. Bahkan menjelang pertengahan abad ke-19, hamper semua eropa barat telah menerapkan doktrin rahasia bank ini dengan berbagai variasinya.
Ada dua teori tentang kekuatan berlakunya asas rahasia bank ini, yaitu sebagai berikut:
(1) teori mutlak
Dalam hal ini rahasia keuangan dari nasabah bank tidak dapat dibuka kepada sipapun dan dalam hal apapun. Dewasa ini hamper tidak ada lagi Negara yang menganut teori mutlak ini. Bahkan Negara-negara yang emnganut perlindungan nasabah secara ketat seperti Swiss atau Negara-negara tax heaven seperti kepulauan Bahama atau Cayman Island juga membenarkkan membuka rahasia bank dalam hal-hal khusus.
(2) teori relative
Menurut teori ini, rahasia bank tetap diikuti tetapi daam hal-hal khusus, yakni dalam hal yang termasuk luar biasa prinsip kerahasiaan bank tersebut dapat diterobos. Misalnya untuk kepentingan perpajakan atau kepentingan perkara pidana.
2. Dasar Hukum Rahasia Bank
Di samping itu, tentunya agar dapat berlaku secara yuridis formal, rahasia bank harus mempunyai dasar hukumnya. Adapun yang merupakan dasar hukum berlakunya rahasia bank adalah pasal 40 sampai dengan dan termasuk pasal 45 undang-undang perbankan. Yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut berlaku juga bagi pihak terafiliasi.
Pasal 41
(1) untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
(2) izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan Nasabah Debitur.
(3) permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan URusan Piutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara, nama nasabah debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan.
Pasal 42
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka/terdakwa pada bank.
(2) izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dan Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
(3) Permintaan Tertulis sebagaiman dimaksud dalam ayat (2) haruslah menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim nama tersangka/terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yagn diperlukan.
Pasal 42A
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, pasal 41A, dan Pasal 42.
Pasal 43
dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yagn bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yagn relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 44
(1) dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
(2) ketentuan lebih lanjut mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas akan diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 44A
(1) atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada bank yagn ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.
(2) dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yagn sah dari nasabah penyimpan yagn bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
Pasal 45
Pihak yagn dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank-bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 42, pasal 43 dan pasal 44 tersebut di atas, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan dapat meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
Pasal 47
(1) barangsiapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 41A, dan pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40, diancam dnegan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah)
(2) anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yagn dengan sengaja memberikan keterangan yagn wajib dirahasikan menurut pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yagn dengan sengaja tidak memberikan keterangan yagn wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidan apenjara sekurang-kurangnya Rp 4000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
3. Penerobosan Rahasia Bank
Rahasia bank itu ada pengecualiannya, atau dengan kata lain rahasia bank itu dapat diterobos. Dalam keadaan tertentu rahasia bank itu dapat diterobos sebagaimana yang dapat dijelaskan dalam Pasal 41, pasal 41A, Pasal 42, pasal 43 dan pasal 44A Undang-Undang Perbankan.
Pasal 41 ayat (1), untuk kepentingan perpajakan, pimpinan bank Indonesia atas permintaan menteri keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangand an memperlihatkan bukti-bukti tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Ayat (2), perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yagn dikehendaki keterangannya.
Pasal 41A ayat (1), untuk penyelesaian piutang bank yagn sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, pimpinan bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat badan urusan piutang dan lelang Negara/panitia urusan piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur. Ayat (2), izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis dari kepala badan urusan piutang dan lelang Negara/ketua panitia urusan piutang Negara. Ayat 3, permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat badan urusan piutang dan lelang Negara/panitia urusan piutang Negara, nama nasabah debitur yagn bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.
Pasal 42 ayat (1), untuk kepentingan peradilan perkara pidana, pimpinan bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Ayat (2), izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari kepala kepolisisan RI, jaksa agung atau ketua mahkamah agung. Ayat (3), permintaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka/terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 43, dalam perkara perdata antar bank dnegan nasabahny, direksi bank yagn bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yagn relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 44 ayat (1), dalam tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberikan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain. Ayat (2), ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 44 ayat (1), dalam tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberikan keadaan keuangan nasabhanya kepada bank lain. Ayat (2), ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 44A ayat (1), atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajibh memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yagn bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut. Ayat 2, dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal duni, ahli waris yagn sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa rahasia bank dapat diterobos apabila memenuhi syarat, yakni untuk kepentingan:
a. perpajakan
b. penyelesaian utang piutang melalui BUPLN
c. peradilan pidana
d. perkara perdata antara bank dengan nasabahnya
e. tukar menukar informasi antar bank
f. nasabah berdasarkan surat kuasa
g. ahli waris
Bagaimana tata cara untuk menerobos rahasia bank dijabarkan lebih lanjut dalam surat keputusan direksi bank Indonesia no.31/82/Kep/Dir tentang persyaratan dan tata cara pemberian izin atau perintah membuka rahasia bank tanggal 31 desember 1988.
Pada pasal 1 butir 6 disebutkan, rahasia bank adalah segala sesuatu yagn berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Selanjutnya dalam pasal 2 disebutkan:
(1) bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
(2) ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. kepentingan perpajakan
b. penyelesaian piutang bank yagn sudah diserahkan kepada badan urusan piutang Negara dan lelang Negara (BUPLN)/ panitia urusan piutang Negara (PUPLN).
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana
d. kepentingan peradilan dalam rangka perdata antara bank dengan nasabahnya
e. tukar menukar informasi antar bank
f. permintaan, persetujuan atau kuasa nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis
g. permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah meninggal dunia.
Selanjutnya dalam pasal 3 disebutkan, ketentuan sebagaimana yagn dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf d, e dan g tidak memerllukan izin atau perintah untuk membuka rahasia bank dari pimpinan bank Indonesia.
Untuk kepentingan perpajakan pimpinan BI dapat mengeluarkan izin, jika ada permohonan tertulis dari menteri keuangan dengan memncantumkan data sebagai berikut:
a. nama dan jabatan pejabat pajak
b. nama nasabah penyimpan wajib pajak yang dikehendaki keterangannya
c. nama kantor bank temapt nasabah menyimpan simpanannya
d. keterangan yang diminta
e. alasan diperlukan keterangan
sedangkan untuk penyelesaian utang piutang melalui BUPLN, akan diberikan oleh pimpinan BI jika ada permohonan tertulis dari kepala BUPLN dengan mencantumkan:
a. nama dan jabatan pejabat BUPLN/PUPN
b. nama nasabah debitur yang mempunyai simpanan
c. nama kantor bank temapt nasabah debitur mempunyai simpanan
d. keterangan yagn diminta, dan
e. alasan diperlukan keterangan
sedangkan untuk kepentingan peradilan pidana, harus ada permintaan tertulis dari jaksa agung, kepada kepolisian RI, atau ketua mahkamah agung dengan mencantumkan:
a. nama, pangkat, NRP?NIP dan jabatan jaksa, polisi atau hakim
b. nama tersangka/terdakwa yang mempunyai simpanan
c. nama kantor bank tempat tersangka/ terdakwa mempunyai simpanan
d. maksud pemeriksaan atau alasan diperlukannya keterangan
e. hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yagn diperlukan.
4. sanksi hukum atas pelanggaran rahasia bank
menurut sistem undang-undang perbankan maka sanksi pidana atas pelanggaran prinsip kerahasiaan bank ini bervariasi. Ada dua cirri khas dalam hal sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank dalam undang-undang perbankan ini, sebagaimana juga terhadap sanksi-sanksi pidana lainnya dalam undang-undang perbankan yang bersangkutan. Cirri khas dari sanksi pidana terhadap pelanggaran prinsip rahasia bank, yaitu sebagai berikut:
a. terdapat ancaman hukuman minimal di samping ancaman maksimal
b. antara ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda bersifat kumulatif bukan alternative
c. tidak ada korelasi berat ringannya ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda
(lihat pasal 47 dan 47A undang-undang perbankan).
Ancaman hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan menurut undang-undang perbankan dapat dibagi ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
(1) pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal 10 miliar rupiah dan maksimal 200 miliar rupiah.
Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal 10 miliar rupiah dan maksmal 200 miliar rupiah diancam terhadap barangsiapa yang tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan BI sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 41A, dan pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 undang-undang perbankan .
(2) pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal 4 miliar rupiah dan maksimal 8 miliar rupiah.
Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal 4 miliar rupiah dan maksimal 8 miliar rupiah tersebut diancam terhapa para anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut pasal 40 undang-undang perbankan (pasal 47 ayat (2) undang-undang perbankan)
(3) pidan apenjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 (tujuh) tahun serta denda minimal 4 miliar rupiah dan maksimal 14 miliar rupiah.
Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 (tujuh) tahun serta denda minimal 4 miliar rupiah dan maksimal 14 miliar rupiah diancam terhadap anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42A dan 44A undang-undang perbankan. (pasal 47 Undang-undang perbankan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar