Jumat, 03 Februari 2012

HUKKUM ADAT LANJUTAN

2.1 Tatanan masyarakat hukum adat ditinjau dari UU No.32 Tahun 2004 dan Perda Prov. Bali No 3 Tahun 2001.
A. tatanan Masyarakat hukum adat ditinjau dari UU No. 32 Tahun 2004
Dalam UU No. 32 tahun 2004 ini, desa adat diakui keberadaannya berdasarkan pasal 2 ayat 9 yang menyatakan sebagai berikut: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, kesatuan masyarakat hukum adat selama masih sesuai atau tidak bertentangan degan prisip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Pasal 203 ayat (3) menyatakan Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Dalam UU ini, Pasal 206 ayat (2) juga mengatur mengenai Perda, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa.
Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
B. Tatanan Masyarakat Hukum Adat ditinjau dari Perda Prov. Bali No.3 Tahun 2001
Landasan filosofi masyarakat hukum adat Hindu di Bali yakni menyangkut: Tri Hita Karana di dalamnya terdapat: Parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan sesamanya) dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan). Ketiga unsur ini diharapkan dapat berjalan dengan harmonis. Hal ini ditunjukkan dalam pasal 3,4 dan 5 Perda Prov. Bali No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dan Lembaga Adat.
Kepengurusan masyarakat hukum adat disebut dengan prajuru desa pakraman. Dimana prajuru merupakan pengurus desa pakraman/lembaga adat yang mana dalam Perda ini diatur dalam pasal 9, 10,11 diantaranya mengatur tentang Tata cara pemilihan Prajuru Desa Pakraman, larangan menjadi anggota partai politik bagi prajuru desa pakraman, pembinaan dan koordinasi krama desa pakraman, pembentukan lembaga ada sesuai kebutuhan desa, dan tata cara pemilihan tugas dan wewenang masing-masing lembaga. Dalam kepengurusan ini juga menyangkut tugas dan wewenang dari desa pakraman diantaranya tugas dan wewenang untuk:
a. membantu pemerintah dalam kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama dibidang adat, budaya dan agama.
b. melaksanakan hukum adat dan adat-istiadat dalam wilayah desa pakraman.
c. memberikan kedudukan hukum menurut struktur Desa Pakraman terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan.
d. menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa pakraman untuk kesejahteraan masyarakat Desa Pakraman.
Yang diatur dalam pasal 7 Perda Prov. Bali No 3 Tahun 2001.
Implementasi dari otonomi masyarakat hukum adat yaitu salah satunya kewenangan untuk menetapkan aturan hukum sendiri. Aturan hukum ini dikenal dengan sebutan Awig-Awig. Selanjutnya awig-awig desa pakraman ini diatur dalam pasal 15 dan 16 Perda Prov. Bali No.3 Tahun 2001.
Salah satu makna dari masyarakat hukum adat diantaranya adalah memiliki harta kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religius magis yang menjadi milik desa pakraman. Tanah desa pakraman dan tanah milik desa pakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan, oleh karena setiap tanah milik desa telah membayar pajak berupa ayah -ayah ke Desa baik material maupun immaterial dan atau pelaksanaan upacara Tawur Kesanga dan Yadnya desa yang lainnya yang diatur dalam pasal 13 Perda Prov. Bali No.3 Tahun 2001.



2.2 Identifikasi permasalahan yang timbul dalam kenyataan dan dalam hubungannya dengan peraturan perundang-undangan serta solusinya.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa telah diatur dalam UU No.32 tahun 2004, secara nasional terdapat pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya. Begitu juga dalam Perda No. 3 Tahun 20101 telah diatur mengenai tatanan masyarakat hukum adat yang menyangkut juga otonomi desa pakraman sendiri. Namun, masih tetap timbul masalah meskipun antara UU No.32 tahun 2004 dan Perda telah berusaha mengharmonisasi aturan-aturan yang menyangkut masyarakat hukum adat. Seperti salah satunya kasus pemungutan retribusi parkir di Desa Tenganan, Karangasem oleh Pemerintah Daerah setempat. Ketika masanya Tenganan Pegringsingan menjadi daya tarik wisata, Pemerintah Daerah Karangasem tiba-tiba memungut restribusi dan memasang papan pengumuman di pintu masuk desa adat. Pungutan liar tersebut langsung ditolak karena tanpa seijin masyarakat sebagai pemilik tanah dan lokasi wisata. Karcis yang sedianya diberlakukan untuk pengunjung kemudian disobek-sobek dan papan pengumuman dicopot dari tempatnya. Ketika waktunya tiba saat setoran retribusi ke pemda, kepala desa mendapat surat untuk segera mengirimkan hasil penjualan karcis untuk kas daerah. Suratpun dibalas dengan surat yang menyatakan bahwa masyarakat tidak bisa menerima kebijakan sepihak seperti itu. Tak puas dengan jawaban surat, akhirnya pemda memanggil kepala desa ke kota. Di sana, pemda menanyakan kembali soal retribusi tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab dengan sederhana. Penerapan karcis kepada setiap pengunjung ditolak oleh masyarakat karena sejak dahulu memang tidak pernah ada pungutan bagi wisatawan. Lalu soal retribusi yang katanya berdasarka peraturan daerah, dijawab dengan pertanyaan, “Apa yang sudah pemda taruh di desa?” Kehabisan akal, pemda menyatakan bahwa persoalan ini akan dibahas dalam rapat yang akan datang. Hingga saat ini, rapat itu tidak pernah ada karena gigihnya penolakan masyarakat atas intervensi pemerintah yang hanya memikirkan soal uang.
Solusi:
Dengan melihat kasus di atas sebenarnya masyarakat adat tenganan pegringsingan berhak menolak pungutan retribusi (karcis parkir) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena obyek wisata tersebut masih masuk ke dalam wilayah desa adat dan dengan berdasarkan pada otonomi asli yang dimiliki setiap desa adat, desa pun berhak mengurus sendiri hal-hal yang berkaitan dengan wilayah ataupun kekayaan desa yang dimilikinya. Mengenai hal ini, telah diatur pula dalam Perda Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 Pasal 1 Angka 4 yaitu“Desa pakraman sebagai Desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Jadi berdasarkan aturan tersebut warga berhak menolak atas apapun bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain pasal 1 angka 4 Perda Prov Bali No.3 Tahun 2001 yang mengatur bahwa desa adat memiliki otonominya sendiri juga ada azas yang dinamakan azas rekognisi (pengakuan dan penghormatan). Jadi pemerintah atau negara hanya sebatas menghormati dan mengakui kedudukan desa adat. Pemerintah hanya bisa memberikan bantuan kepada desa adat, seperti misalnya memberikan pelayanan umum kepada desa. Walaupun demikian, disisi lain pemerintah daerah bisa mengadakan pungutan retribusi parkir di wilayah Desa Tenganan Pegringsingan apabila telah dilakukan persetujuan atau izin dari warga masyarakat desa Tenganan Pagringsingan sebagai pemilik objek wisata tersebut. Pemerintah daerah seharusnya mengadakan koordinasi dengan prajuru desa adat Tenganan dalam hal pungutan retribusi tersebut agar tidak menimbulkan masalah karena desa adat Tenganan telah memiliki otonominya sendiri.
2.1 Macam-macam Hak Atas Tanah
Di Bali, dikenal dua macam hak atas tanah, yaitu hak-hak perseorangan atas tanah dan hak-hak masyarakat hukum adat (desa, pura). Jenis-jenis hak atas tanah perseorangan adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan lain-lain. Tanah-tanah perseorangan sepenuhnya tunduk kepada hukum tanah nasional sedangkan tanah-tanah yang merupakan hak-hak masyarakat adat disamping tunduk kepada hukum nasional masih terikat oleh ketentuan-ketentuan adat, seperti yang ditentukan melalui awig-awig, pararem dan dresta.
2.2 Tanah Milik Desa Pakraman
Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2003, khususnya Pasal 9 ayat (5) dengan jelas disebutkan adanya tanah milik desa pakraman atau tanah desa pakraman. Tanah-tanah yang dimaksudkan itu adalah tanah-tanah yang lazim disebut tanah desa atau tanah druwe, yang oleh beberapa pihak dikualifikasikan sebagai tanah ulayat menurut UUPA. Tanah-tanah tersebut juga lazim disebut tanah adat, suatu istilah yang oleh beberapa kalangan masih diragukan batas-batas cakupannya.
Tanah-tanah milik desa pakraman tersebut memberi kekuasaan kepada desa pakraman untuk mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah tersebut, sesuai awig-awig atau pararem yang dibuatnya. Tanah-tanah desa pakraman meliputi:
(1) Tanah desa dalam arti sempit atau tanah druwe desa, yaitu tanah-tanah yang dimiliki atau dikuasai langsung oleh desa pakraman, yang dapat berupa tanah setra, tanah pasar, tanah lapang, tanah bukti dan lain-lain seperti tanah-tanah untuk bangunan fasilitas desa (balai desa, wantilan, balai banjar, dan sebagainya);
(2) Tanah Pekarangan Desa (PKD) yaitu tanah milik desa pakraman yang diberikan kepada krama desa untuk dipakai sebagai tempat pemukiman, umumnya dengan ukuran luas tertentu untuk tiap krama desa, seperti sikut satak, sikut samas, sikut domas, dan sebagainya. Tidak semua desa menggunakan istilah tanah pekarangan desa, ada yang menggunakan istilah karang kawis, tanah tatak ayah, dan sebagainya. Melekat dengan hak menempati tanah karang desa adalah kewajiban krama desa kepada desa yang disebut ayahan, baik berupa tenaga maupun materi.
(3) Tanah Ayahan Desa (AyDs), yaitu tanah-tanah pertanian milik desa yang diserahkan kepada krama desa dengan hak untuk menikmati hasilnya yang melekat pula dnegan kewajiban (ayahan) kepada desa.
Disamping tanah-tanah di atas, masih ada tanah pura yang juga masih tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum adat. Tanah pura adalah tanah yang diperuntukkan untuk bangunan pura (tegak pura) ataupun tanah yang diperuntukkan bagi keperluan pura (tanah laba pura), baik berupa tanah pertanian, dan lain-lain. Tanah pura juga dapat digolongkan sebagai tanah desajika pura tersebut adalah milik desa pakraman, tetapi untuk kepentingan akademis sebaliknya tanah pura dipisahkan dari tanah desa dengan beberapa alasan. Pertama, tidak semua pura adalah milik desa pakraman. Kedua, status tanah pura sekarang adalah hak milik menurut UUPA, karena sejak 24 September 1986 berdasarkan SK Mendagri Nomor SK.556/DJA/1986 pura sudah diakui sebagai badan hukum keagamaan yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah, sehingga dapat mempunyai tanah dengan sertifikat hak milik. Sampai saat ini desa pakraman belum ditunjuk sebagai badan hukum yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah sehingga tanah-tanah desa tidak dapat disertifikatkan dengan sertifikat hak milik desa.
2.3 Fungsi Tanah Desa Pakraman
Desa pakraman adalah organisasi yang mempunyai fungsi sosial religious, maka fungsi tanah desa pakraman juga demikian. Fungsi religious atau keagamaan dari desa pakraman diwujudkan dengan berbagai kegiatan upacara, baik yang dilakukan oleh krama desa sebagai kesatuan maupun secara individual sesuai dengan keperluan. Rangkaian upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh krama desa secara kolektif misalnya adalah upacara yadnya di pura desa, yang dilakukan secara rutin setiap piodalan maupun secara incidental. Dalam rangka tetap ajegnya pelaksanaan aktivitas-aktivitas keagamaan itu, maka fungsi tanah desa sangat penting, disamping sebagai penyedia sarana upacara, seperti bamboo, janur, buah-buahan, dan lain-lain, keberadaan tanah desa adalah sebagai pengikat bagi krama desa untuk tetap ngayahang (melaksanakan kewajibannya) ke pura. Keterikatan krama desa untuk ngayahang desa karena memegang tanah desa, menyebabkan tanah desa juga mempunyai fungsi untuk menjaga integritas kelompok, yaitu desa pakraman itu sendiri. pemanfaatan tanah desa oleh krama desa tidak boleh merugikan kepentingan krama desa lain apalagi kepentingan desa pakraman secara keseluruhan. Setiap krama desa pemegang tanah desa tidak boleh menghianati kepentingan kolektif desa pakraman, karena apabila hal itu dilakukan maka desa pakraman akan bertindak untuk menyelesaikannya, pada tingkatan terakhir dapat mencabut hak krama desa tersebut atas tanah desa melalui sanksi adat kanorayang makrama (diberhentikan sebagai anggota desa pakraman).
Disamping fungsi sosial religious di atas, tanah desa juga mempunyai fungsi ekonomis. Tanah-tanah desa yang berupa tanah pertanian sejak dulu dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan ekonomi krama desa pemegangnya ataupun untuk kebutuhan ekonomi desa pakraman dalam melaksanakan aktifitasnya. Lebih-lebih tanah desa yang berupa tanah pasar ataupun tanah-tanah yang dimanfaatkan untuk sarana perekonomian lainnya (disewakan, dan sebagainya) sangat jelas manfaat dan fungsi ekonomisnya bagi krama desa sebagai kesatuan maupun individual. Adapun fungsi penting dari tanah dalam kehidupan masyarakat hukum adat, yaitu:
1. karena sifatnya.
Merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan-keadaan yang bagaimanapun akan masih bersifat tetap dalam keadaan seperti semula dan bahkan menjadi lebih menguntungkan. Seperti misalnya dijatuhi bom, tanah tetap tidak akan lenyap atau berkurang atau kalau terjadi banjir, setelah banjir surut kadang-kadang dapat lebih menyuburkan tanah tersebut.
2. karena fakta
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu:
- merupakan tempat tinggal persekutuan
-memberi kehidupan kepada persekutuan
-merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan
-merupakan pula tempat tinggal danyang-danyang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
2.4 Karakter Tanah Desa Pakraman
Karakter umum tanah milik masyarakat adat (hak masyarakat adat atas tanah) adalah sebagai berikut:
(1) Masyarakat dan anggota-anggotanya dapat menggunakan tanah sebagai dasar bagi kehidupannya;
(2) Orang bukan warga masyarakat hukum adat tidak dapat menggunakan hak itu , kecuali mendapat izin masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
(3) Orang lain yang menggunakan hak itu harus membayar sesuatu kepada masyarakat hukum adat;
(4) Masyarakat hukum adat bertanggungjawab terhadap segala perbuatan hukum yang terjadi di atas tanah tersebut;
(5) Masyarakat hukum adat tidak boleh mengasingkan atau memindahtangankan tanah kepada siapapun untuk selama-lamanya;
(6) Masyarakat hukum adat dapat mencampuri terhadap penggunaan tanah-tanah yang telah digarap oleh anggotanya, agar dimanfaatkan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Disamping karakter umum tersebut, tanah desa pakraman mempunyai ciri khas, yaitu keterkaitannya dengan eksistensi kahyangan desa, sehingga tanah desa pakraman disamping bersifat komunal juga bersifat religious. Sebagai milik komunal, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dengan tegas menyatakan bahwa tanah desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi (Pasal 9 ayat 5).
2.5 Kedudukan Tanah Desa Pakraman dalam Perundang-undangan
Untuk mengetahui kedudukan tanah desa pakraman dalam peraturan perundang-undangan haruslah dirunut dari tingkatan perundang-undangan yang tertinggi, yaitu Undang-undang Dasar, baru kemudian dilihat kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah. Secara konstitusional pengakuan Negara terhadap hak-hak desa pakraman terhadap tanah dapat dikembalikan kepada Pasal 18B ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang secara resmi mengakui eksistensi tanah desa pakraman adalah Undang-undang Pokok Agraria, khususnya seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 yang mengakui keberadaan hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat atas tanah di lingkungan wilayahnya. Selengkapnya Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain”. Pada level peraturan daerah, pengakuan terhadap eksistensi tanah desa pakraman ditegaskan dalam Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
2.1 Perbuatan Kridit Perseorangan dalam Usaha Perseorangan
Dalam hukum adat juga dikenal perbuatan kridit, seperti meminjamkan uang dengan bunga ataupun tidak. Perbuatan kridit dalam masyarakat adat tidak hanya dalam bentuk pinjam uang, melainkan meliputi: menyerahkan sesuatu kepada orang lain, atau mengerajakan sesuatu bagi orang lain dan orang lain itiu wajib melakukan prestasi balasan yang sama nilainya di kemudian hari.
Dalam masyarakat adat di Bali, perjanjian-perjanjian kridit perseorangan juga ditemui, meliputi pemberian uang, barang atau ternak dan juga tenaga kerja. Pemberian pinjaman uang sudah lama dikenal oleh masyarakat, baik dengan bunga atau tidak. Disamping dalam bentuk pinjaman uang dengan mengembalikan uang, pemberian uang dengan pengembalian dari hasil panen juga banyak terjadi, bahkan pemberian sistem ijon (pembelian hasil tanaman yang masih muda) juga masih ditemukan. Disamping pemberian pinjaman uang, dalam masyarakat juga banyak ditemui pemberian pinjaman berupa benda atau ternak, yang nantinya wajib dikembalikan dengan benda atau ternak yang nilainya sama. Benda-benda yang dijadikan objek pinjaman umumnya berupa barang primer bidang pangan, seperti beras, kopi, gula dll.
Pemberian pinjaman berupa ternak, yang lazim juga terjadi adalam pemberian ternak babi kepada orang lalin untuk dipotong dalam rangka pelaksanaan upacara agama (perkawinan, potong gigi dll) yang suatu saat wajib dikembalikan dengan babi yang nilainya sama. Disamping itu pemberian pinjaman hewan ternak kepada orang lain untuk dipelihara, dengan perjanjian bagi hasil. Perjanjian seperti ini lazim disebut dengan mekadasang. Hewan ternak yang lazim menjadi objek perjanjian pemeliharaan ini adalah sapi, babi, kerbau, kuda dll. Tetapi yang paling banyak adalah babi dan sapi. Pembagian hasil perjanjian pemeliharaan ini bervariasi tergantun gkepada kesepakatan para pihak, misalnya dalam perjanjian pemeliharaan sapi betina, anak sapi pertama menjadi hak pemelihara, anak sapi kedua menjadi hak pemilik sapi, dan seterusnya berselang seling. Untuk sapi jantan, umumnya polanya sama dnegan perjanjian pemeliharaan ternak babi (jantan) yaitu ketika ternak itu dijual, harga jual dibagi dua antara pemilik dan pemelihara setelah dipotong harga bibit.
Perbuatan tolong menolong
Perbuatan tolong menolong dapat juga digolongkan sebagai perbuatan kridit perseorangan dalam arti luas, sebab dengan perbuatan menolong orang lain dengan memberikan tenaga yang diperlukan, diharapkan adanya prestasi berupa balasan pertolongan dari pihak yang ditolong di kemudian hari. Istilah-istilah untuk perbuatan tolong menolong ini bervariasi, seperti ngajakang, nguun, dilihat dari pihak yang minta pertolongan, dan ngoopin, metulungan, meselisian, dilihat dari pihak yang menolong, dan istilah lain tergantung tradisi setempat. Bentuk perbuatan tolong menolong ini seperti membangun rumah, menanam padi, kegiatan adat/agama, dan sebagainya. Pola perbuatan tolong menolong ini umumnya diawali dengan pemberitahuan oleh pihak yang memerlukan pertolongan kepada pihak yang diharapkan pertolongannya agar dapat membantu suatu pekerjaan tertentu, suatu hari tertentu, dan dengan lama waktu tertentu. apabila pertolongan sudah diberikan, maka menjadi kewajiban pihak yang minta pertolongan untuk membalas pertolongan itu pada saat diperlukan.
Apa yang diuraikan di atas tadi adalah mengenai kerjasama tolong menolong yang bersifat dan dilaksanakan berkelompok, baik untuk waktu yang sementara maupun untuk waktu yang lama. Kemudian yang dimaksud dengan usaha perorangan adalah sebagaimana dikatakan Ter Haar “Individuele Crediet Haandelingen” yang merupakan perbuatan kridit perorangan, yaitu dengan perbuatan menyerahkan atau mengerjakan sesuatu oleh barang yang satu dan orang yang lain dam berlaku timbale balik. Misalnya yang disebut beri memberi, pakai memakai, pinjam meminjam, tukar mennukar, jual beli, hutang piutang, tanggung menanggungm titip menitip, upah mengupah, sewa menyewa dan sebagainya.
a. Beri-memberi
beri memberi atau kirim mengirim atau balas membalas, berupa uang atau barang bergerak, yang terjadi diantra anggota keluarga, kakum kerabat, tetangga, teman sejawat, misalnya antara anak dan orang tuan, menantu dan mertua, murid dan guru, bujang dan gadis dan sebagainya. Beri memberi itu bertujuan sebagai “tanda ingat”, “tanda hormat”, tanda pengikat” (Jawa: paningset), “tanda jadi” (Jawa: panjer), “tanda pengakuan” (Minahasa: lilikur), “tanda cinta” ( Lampung: benejuk, bekadu), “tanda turut berduka” (bagi kematian), tanda ikut bahagia (hadiah perkawinan), “tanda permintaan” (pemberian) dan sebagainya.
b. Pakai-memakai
Pakai memakai atau pinjam meminjam, ada yang berlaku tanpa balas jasa (pinjam pakai), yang berlaku dengan balas jasa (ppinjam sewa), yang dengan pertukaran benda (pinjam tukar atau tukar pakai). Sedangkan yang dimaksud tukar menukar, jika pertukaran barang tanpa tambahan nilai (tukar guling), jika pertukaran barang dengan tambahan nilai (tukar tambah) dan sebagainya.
c. Jual-beli
Jual beli terjadi apabila barang diserahkan dan harganya dibayar (jual tunai), tetapi jika pembayarannya dibayar kemudian (jual hutang), jika pembayarannya dibayar secara berangsur (jual angsur, jual kredit), jika barangnya sudah dibayar barangnya belum diterimakan (jual pesan), jika barangnya dijual tapi pembayarannya diangsur pada setiap waktu tertentu sampai lunas (jual sewa). Jika barangnya dijual dengan perantara dan perantara mendapat komisi (jual komisi), jika perantara (pedagang keliling) yang menjajakan barang-barangnya dan mana yang laku disetorkan kepada pemiliknya (dagang kempitan, cingkau).
d. Titip-menitip
Titip menitip kebanyakan di lapangan jual beli hasil bumi, apabila barangnya dititipkan untuk dijual (titip jual). Tetapi jika barangnya dititipkan untuk dijual sambil menunggu harga yang baik ( titip tetap) dan apabila barang yang dititipkan itu boleh dijual oleh tertitip tetapi harganya baru dibayar pada penjual menurut harga yang dikehendaki penjual (titip-curah). Jika barang yang dititipkan boleh disewakan oleh tertitip kepada orang lain (titip sewa), dan jika pembeli telah menyerahkan sejumlah uang utnuk memberli sedangkan barangnya baru diserahkan setelah ada (titip beli, titip pesan).
e. Hutang-piutang
Biasanya hutang piutang berlaku untuk peminjaman uang. Di tanah Batak untuk hutang yang dibayar tanpa bunga disebut “manganahi”, sedangkan untuk hutang yang harus dibayar dengan tambahan bungan disebut dengan “morsali”. Hukum adat tidak mengenal “bunga kelalaian” (moratoire interessen) atau “bunga pembayaran tidak baik” (compensatoire interessen) sebagaimana disebut dalalm pasal 1250 KUHPerdata, tetapi mengenal sistem tanggung menanggung, misalnya seseorang ikut menanggung hutang orang lain atau ikut menanggung dengan “jaminan pribadi” atau “jaminan benda”.
f. Kerja-mengerjakan
Hubungan kerja mengerjakan sesuatu, ada yang berdasarkan dengan persetujuan pembayaran upah dan ada yang tanpa perjanjian upah tertentu. hubungan upah-mengupah dapat bersifat upah pekerjaan sampai selesai, upah harian, atau dengan upah borongan (dengan pemborong). Kerja mengerjakan tanpa upah yang berlaku dalam hubungan yang bersifat kekeluargaan dimana antara majikan dan pekerja sebagaimana orang tua dnegan anakanya sendiri. dalam hal sewa menyewa berlaku untuk pekerjaan angkutan (sewa transport) sewa tempat toko/rumah kediaman; termasuk sistem “salar” di pasar-pasar harian atau mingguang.
Kebanyakan dalam pelaksanaan usaha perorangan tersebut terjadi dengan kesepakatan tanpa pembuktian tertulis dan tidak menggunakan saksi-saksi, melainkan berlaku atas dasar saling percaya-mempercayai saja.
2.2 Transaksi Menyangkut Tanah
Transaksi menyangkut tanah bukan bidang tanahnya yang menjadi objek perjanjian, melainkan kekaryaannya, pengolahannya atau dijadikan jaminan. Dengan demikian bidang tanah hanya tersangkut saja, bidang tanah seolah-olah hanya sebagai lampiran dari perjanjian pokok. Misalnya perjanjian “bagi hasil”, “perjanjian sewa”, “perjanjian berpadu”, perjanjian semu atau tanah sebagai jaminan.
a. Perjanjian Bagi Hasil
Apabila pemilik tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan tanahnya, mengolah dan menanami tanaman, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua (Jawa:maro; Periangan:nengah; Sumatera:pardua; Sulawesi Selatan: tesang; Minahasa: Toyo), maka perjanjian demikian itu disebut “perjanjian bagi hasil”. Jika hasil tanah itu dijanjikan dibagi tiga, maka disebut “pertiga” (Jawa: mertelu; Periangan:jejuron). Di Lampung adakalanya perjanjian bagi hasil itu berkelanjutan dengan perjanjian bagi bidang tanahnya, sehingga penggarap yang tadinya tidak memiliki tanah garapan menjadi pemilik tanah pula.
Di Jawa dalam suatu perjanjian bagi hasil berlaku adat yang disebut “srama” dan “mesi”. “Srama” adalah pemberian uang sekadarnya oleh penggarap kepada pemilik tanah sebagai tanda permintaan, sedangkan “mesi” adalah sesuatu pemberian dari penggarap kepada pemilik tanah sebagai sebagai tanda pengakuan terhadap pemilik tanah.
Di Bali berlaku adat perjanjian bagi hasil yang disebut “plais” yaitiu terjadinya perjanjian bagi hasil dikarenakan pemilik tanah mempunyai hutang pada penggarap, maka untuk membayar hutang itu kepada pemilik tanah menyerahkan pengolahan tanahnya kepda penggarap, selama hutang itu belum dilunasinya, maka penggarap berhak terus mengolah tanah itu. Bentuk perjanjian bagi hasil serupa ini di Sulawesi Selatan disebut “balango”.
Perjanjian bagi hasil di kalangan rakyat pedesaan tersebut sebagian besar tidak dibuat secara tertulis, sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU No.2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang harus dibuat tertulis di hadapan Kepala Desa dan disahkan oleh Camat.
b. Perjanjian Sewa Tanah
Transaksi sewa tanah ialah suatu perjanjian dimana Pemilik tanah atau Penguasa Tanah, memberi izin orang lain untuk menggunakan tanah sebagai tempat berusaha, dengan menerima sejumlah uang sebagai sewa untuk waktu tertentu. misalnya menyewa tanah milik orang lain untuk tempat berusaha, untuk membangun kedai, warung, depot minyak, tempat pemangkas rambut, untuk membangun panglong kayu ramuan rumah, untuk bengkel pertukangan, untuk tempat penitipan barang (kendaraan) dan sebagainya.
Di Sumatera Selatan di masa pemerintahan marga territorial apabila penduduk dari daerah marga lain, memasuki daerah marga dan membuka hutan untuk tempat berladang di daerah marga itu, maka ia harus membayar “sewa bumi” (Bali: ngupetenin, Ambon: sewa ewang) kepada pemerintahan marga itu. Jika ia tidak membayar sewa bumi, mak aia melakukan pelanggaran adat yang disebut “maling utan” dan dapat dikenakan hukuman.
Di kalangan masyarakat adat pepadun Lampung, apabila melaksanakan persidangan adat atau upacara adat bertempat di tanak marga adat yang lain atau di luar daerah Lampung, maka penyelenggara upacara atau persidangan adat itu harus memberi “uang bumi” kepada penguasa adat setempat (kepala desa).
c. Perjanjian terpadu
Apabila terjadi perpaduan antara perjanjian yang berjalan bersama, dimana yang satu merupakan perjanjian pokok sedang yang lain adalah perjanjian tambahan, maka perjanjian tersebut adalah “perjanjian terpadu” atau “perjanjian ganda”. Misalnya terjadi perpaduan antara perjanjian jual gadai atau jual tahunan dengan perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa atau lainnya. Jika misalnya X menggadaikan tanahnya kepada Y, kemudian X yang mengolah tanah itu dengan perjanjian bagi hasil dengan Y, maka perjanjian pokoknya adalah “gadai tanah” sedangkan perjanjian tambahannya adalah “bagi hasil”.
d. Tanah sebagai Jaminan
Dalam hal ini kebanyakan terjadi dalam hubungan dengan hutang-piutang uang atau barang yagn nilai harganya agak besar.. misalnya A berhutang uang tunai atau padi yang nilainya sampai satu juta rupiah kepada B dengan memberikan jaminan tanah pekarangan. Apabila di kemudian hari ternyata A tidak dapat membayar hutangnya pada B, maka B dapat bertindak atas tanah jaminan (tanggungan) tersebut untuk memiliki tanah jaminan itu atas dasar juall beli dengan A atau menjual tanah jaminan itu kepada orang lain dengan memperhitungkan piutangnya pada A. nilai harga taah jaminan itu biasanya lebih tinggi dari besarnya hutang, menurut perkiraan harga pasaran ketika perjanjian hutang diadakan.
e. Perjanjian Semu
Di kalangan masyarakat sering terjadi perjanjian semu, yaitu suatu perjanjian yang dibuat atau yang terjadi, tidak sama dengan kenyataan yang berlaku sesungguhnya. Misalnya yang dikatakan kepada umum atau yang tertulis, adalah perjanjitan hutang tanpa bunga, tetapi yang berlaku sebenarnya berbunga; atau yang ditonjolkan adalah perjanjian jual beli hasil bumi, tetapi yang sebenarnya adalah “melepas uang” (Lampung: ngakuk anduk) atau sistem “ijon” (ijoan), hasil bumi telah dibayar terlebih dahulu jauh sebelum masa panen; atau dalam jual-beli barang dengan kuitansi kosong, atau dengan mencantumkan harga yang lebih rendah dari harga pasaran sebenarnya.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan di Indonesia didasari oleh adanya sistim kekeluargaan yang secara umum dikenal di Indonesia. Sistim kekeluargaan ini merupakan kunci untuk dapat memahami persoalan-persoalan yang akan muncul kemudian antara lain hubungan-hubungan apakah ada halangan atau larangan diantara mereka apabila mereka ingin melangsungkan prkawinan, serta untuk dapat mengetahui apakah mereka mempunyai hak atau tidak sebagai ahli waris. Pada prinsipnya di Indonesia terdapat 3 sistim kekeluargaan yaitu cara melihat atau menarik garis keturunan sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan atau dari keturunan siapa mereka serta dapat pula diketahui batas-batas hubungan tersebut, apakah mereka merupakan hubungan sedarah, bukan sedarah atau pada derajat keberapa mereka berada. Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di Indonesia antara lain:
1. Keturunan yang semata-mata dihitung menurut garis laki-laki saja (garis patrilinial), seperti pada masyarakat suku Batak, Nias, Sumba, Bali.
2. Keturunan yang semata-mata dihitung menurut garis wanita (ibu) saja (garis matrilinial) seperti masyarakat suku Minangkabau.
3. Keturunan yang dilihat baik menurut garis laki-laki maupun garis wanita (garis keturunan yang bersifat parental). Seperti suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak, dll.
Perbedaan sistim kekeluargaan seperti tersebut di atas hanyalah berfungsi untuk menunjukkan adanya suatu perbedaan kadar hubungan kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya yang ada antara kedua belah pihak yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi antara hubungan kedua belah pihak itu tidak terputus sama sekali. Sistim kekeluargaan ini juga mempengaruhi adanya perbedaan bentuk-bentuk perkawinan di setiap daerah di Indonesia.



1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa saja bentuk-bentuk perkawinan dalam sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia?
1.2.2 Apa saja syarat-syarat dan prosedur pengesahan perkawinan?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui bentuk-bentuk perkawinn dalam sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia.
1.3.2 Untuk mengetahui syarat-syarat dan prosedur pengesahan perkawinan.

























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bentuk-bentuk perkawinan dalam sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia
Dilihat dari bentuk-bentuk perkawinan pada prinsipnya ada 3 bentuk yang masing-masing merupakan corak khas dari sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia, yaitu :
1. Perkawinan jujur
Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan bapak (patrilinial). Pemberian jujur yang dilakukan oleh pihak kerabat laki-laki atau yang berstatus laki-laki (Bali) kepada pihak kerabat calon istri, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Setelah perkawinan maka istri berada di bawah kekuasaan kerabat suami, hidup matinya menjadi tanggungjawab kerabat suami berkedudukan hukum dan mentap diam di pihak kerabat suami. Begitu pula anak-anak dan keturunannya melanjutkan keturunan suaminya, dan harta kekayaan yang dibawa istri ke dalam perkawinan ke semuanya dikuasai oleh suami, kecuali ditentukan lain oleh pihak istri. Pada umumnya dalam bentuk perkawinan jujur berlaku adat “pantang cerai”., jadi senang atau susah selama hidupnya istri di bawah kekuasaan kerabat suami. Jika suami wafat maka istri harus melakukan perkawinan dengan saudara suami. Jika istri wafat maka suami harus kawin lagi dengan saudara istri.
Menurut hukum Islam pembayaran jujur tidak sama dengan mas kawin. Uang jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan kepada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak wanita, sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama ketika dilaksanakan akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita (pribadi). Uang jujur tidak boleh dihutang sedangkan mas kawin boleh dihutang. Dari penjelasan di atas fungsi jujur adalah : secara yuridis mengubah status salah satu pihak, secara ekonomis menimbulkan adanya pergeseran harta kekayaan, dan secara sosial kedudukan menjadi lebih dihormati dan bukan sebagai uang pembelian (hak milik). Sifat jujur: lebih bersifat keharusan (magis) daripada pemberian. Karena jujur lebih berfungsi sebagai pengganti kedudukan si gadis dalam keluarganya (karena dengan keluarnya seseorang dari kelompok keluarganya dianggap mengganggu keseimbangan magis, perlu ada benda pengganti untuk menetralisir keadaan). Jenis-jenis perkawinan jujur:
a. Perkawinan mengabdi/nyalindung kagelung (bila jujur belum dibayar)
b. Perkawinan bertukar/berbesan rangkap (di Bali: makedeng ngaad)
c. Perkawinan meneruskan (bila istri meninggal suami kawin lagi dengan saudara istri)
d. Perkawinan mengganti/perkawinan ganti tikar (bila suami meninggal janda dikawini oleh saudara suami)
e. Perkawinan pinjam jago dll.
2. Perkawinan Semenda
Perkawinan Semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang matrilinial dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita. Adapun tingkatan-tingkatan perkawinan semenda adalah perkawinan semenda bertendang, semenda menetap dan semenda bebas. Sedangkan bentuk-bentuk perkawinan semenda adalah semenda raja-raja, semenda lepas, semenda nunggu, semenda anak dagang, dan semenda nyangkit.
3. Perkawinan Bebas (Mandiri)
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental. Seperti di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi dan di kalangan masyarakat Indonesia yang modern, dimana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga/rumah tangga. Bentuk perkawinan ini yang dikehendaki oleh UU No. 1 Tahun 1974, dimana kedudukan dan hak suami dan istri berimbang sama; suami adalah kepala keluarga/rumah tangga dan istri adalah ibu keluarga/rumah tangga. Di lingkungan masyarakat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami apabila suami wafat, dimana istri kawin lagi dengan saudara suami, atau terjadi perkawinan ganti istri apabila istri wafat, dimana suami kawin lagi dengan saudara istri. Tapi hal tersebut bukan merupakan keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilinial atau matrililnial, melainkan suatu adat kebiasaan saja.
4. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi diantara suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan atau berbeda agama yang dianut. UU Perkawinan Nasional tidak mengatur hal-hal demikian, yang hanya diatur adalah perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 UU No.1 Tahun 1974. Terjadinya perkawinan menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan diberlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadi perkawinan campuran. Tetapi di dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.
5. Perkawinan Lari
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugis/Makassar, Maluku. Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. Oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda, atau bebas/mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua belah pihak. Sistim perkawinan lari dapat dibedakan menjadi 2 yaitu perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan belarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita). Cara melakukan belarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama, atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat belarian. Perkawinan lari paksaan adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan tidak menurut tata tertib adat belarian.
Bentuk-bentuk perkawinan ini dapat dilihat dari cara si wanita didapat. Cara-cara tersebut yaitu:
1. Dengan cara meminang/melamar
Cara ini pada umumnya dilakukan apabila kedua mempelai sudah saling cinta-mencintai dan telah pula mendapatkan persetujuan dari orang tua kedua belah pihak. Oleh karena telah ada persetujuan dari kedua belah pihak, maka dilanjutkanlah dengan pelamaran diawali dari pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan. Dengan adanya kesepakatan ini lalu diberikanlah pada pihak suatu tanda yang disebut “peningset” sebagai tanda bahwa si wanita sudah ada yang melamar. Apabila tidak ada aral melintang dengan didasarkan pada hari baik dan berdasarkan kesepakatan dilakukanlah penjemputan mempelai wanita lengkap dengan membawa pakaian, sirih pinang dengan perlengkapan lainnya sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku pada masing-masing suku di Indonesia. Dan dari sini pula lah akan terlihat berbhinekanya adat-istiadat yang ada di Indonesia. Setelah upacara ini selesai lalu si wanita dibawa ke rumah mempelai laki-laki untuk disahkannya perkawinan mereka. Pada umumnya proses pengesahan perkawinan melalui peminangan ini berjalan sesuai dengan adat-istiadat masing-masing daerah di Indonesia.
2. Dengan cara kawin lari bersama
Cara ini lazim dilakukan dengan cara kawin lari bersama- sama yang pada umumnya antara kedua pasanagn itu sudah ada hubungan cinta, dan tidak ada unsur paksaan didalamnya, tetapi karena diantara mereka ada sesuatu halangan yang memungkinkan perkawinan itu terancam batal, maka jalan lain yang dapat ditempuh agar perkawinan itu tidak batal adalah dengan cara kawin lari bersama sama “, yang pada awalnya mereka membuat perjanjian yang matang tentang, hari, jam, dan tempat mempelai wanita dijemput. Berdasarkan kesepakatan itulah kemudian mempelai wanita dilarikan menuju kerumah mempelai laki- laki atau ketempat yang lain sebagai tempat persembunyian kedua mempelai. Setelah selarian ini berjalan mulus barulah keluarga pihak laki- laki mengirim utusan kepada pihak wanita untuk memberitahukan bahwa anak gadisnya telah dilarikan untuk dikawini oleh si A, misalnya lengkpa dengan identitas mempelai laki-laki maupun identitas kedua mempelai laki- laki utusan ini bertugas sebagai utusan dari mempelai laki- laki dan agar tidak mendaptkan halangan dari keluarga mempelai wanita.
3. Dengan cara “ Nyeburin”
Perkawinan dengan cara ini hanya dikenal pada masyarakat hukum adat bali yang umumnya dilakukan diantara keluarga karna orang tua calon mempelai wanita tidak memiliki anak laki- laki. Perkawinan dalam bentuk ini berbeda dengan dua bentuk perkawinan diatas, karna dalam perkawinan “ nyeburin” segala proses perkawinan dimulai dari pihak wanita. Upacara pelamaran ataupun tempat pengesahan perkawinan dilakukan dirumah mempelai wanita. Keadaan yang demikian akan membawa perbedaan akibat hukum baik pada laki laki mapun pada perempuannya karena dalam perkawinan “nyeburin”. Mempelai laki- laki kan merubah staqtus secara hukum menjadi berstatus “ Predana/ Luanita” dan yang wanita akan merubah menjadi berstatus “ Purusa/ Laki- laki”. Segala hak dan kewajiban baik dalam hukum keluarga maupun dalam hukum waris akan dihitung melalui garis wanita yang telah berstatus laki- laki yang disebut “Sentana Rajeg atau “ Putrika” .
2.2 Syarat-syarat dan Prosedur Pengesahan Perkawinan
Pada masyarakat hukum adat tidak ada ukuran yang pasti bagi seseorang yang dianggap pantas untuk melangsungkan perkawinan, karena antara desa yang satu dengan desa yang lainnya memakai kriteria yang berbeda. Sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 kriteria yang dipakai adalah:
1. Untuk wanita apabila sudah menstruasi satu kali.
2. Untuk laki-laki apabila sudah dianggap mampu untuk mencari nafkah sendiri, atau sudah dapat menggendong padi satu pikul atau sudah mampu melaksanakn kewajban di desa, atau sudah terjadi perubahan suara (perubahan biologis).
Tetapi setelah berlakunya UU No.1 Tahun 1974, yang berarti segala ketentuan yang menyangkut tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini akan berlakulah undang-undang ini, kecuali belum diatur barulah berlaku ketentuan lain yagn juga akan ditunjuk oleh undang-undang ini (pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974). Disimak dari UU perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa persyaratan untuk dapatnya suatu perkawinan disahkan haruslah memenuhi antara lain:
- Persyaratan formal : meliputi ketentuan umur dan tidak melanggar larangan-larangannya, yang tercantum dalam pasal-pasal 6-12 UU Nomor 1 tahun 1974.
- Persyaratan materiil : meliputi proses dan prosedur pengesahannya yang harus dilakukan mengikuti ketentuan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing (misalnya pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974.
- Disamping kedua persyaratan tersebut, harus pula dilengkapi dengan tata administrasinya yaitu berupa pencatatan perkawinan yang akan dibuktikan dengan akte perkawinan yang merupakan alat pembuktian yang kuat.
Sebagai suatu masyarakat hukum yang terikat, pada berbagai kepercayaan disamping adanya larangan-larangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang, ada pula hal-hal lain yang perlu pula mendapatkan perhatian agar akibat-akibat yang tidak baik atau yang dianggap membawa bencana tidak terjadi. Seperti perkawinan antara saudara kandung atau antara ibu dengan anaknya.
Disamping adanya perkawinan-perkawinan yang dilarang, ada juga perkawinan yang dianggap ideal bagi masyarakatnya seperti pada masyarakat Minangkabau, diharapkan laki-laki kawin dengan anak perempuan mamaknya (anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya), di Batak perkawinan yang dianggap ideal adalah anak laki kawin dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya, di jawa perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat dalam hubungan kekeluargaan. Disana diperbolehkan adanya perkawinan “Karang Wulu” yang artinya perkawinan oleh seorang duda dengan seorang wanita adik dari almarhum istrinya.
Proses dan prosedur pengesahan perkawinan
Setiap perkawinan dilakukan dengan cara melamar atau meminang, baik secara besar-besaran atau secara sederhana akan selalu diikuti oleh suatu upacara perkawinan setelah proses, prosedur maupun persyaratannya dipenuhi. Perkawinan dengan cara meminang mempunyai proses dan prosedur yang berbeda dengan perkawinan lari bersama. Pada perkawinan meminang selalu dimulai dengan pelamaran, pembicaraan pengambilan dari rumah mempelai wanita lalu diboyong ke rumah mempelai laki-laki, selanjutnya barulah dibuatkan upacara pengesahannya.
Sedangkan dalam perkawinan lari bersama, awalnya dimulai dengan seharian, setelah sampai di rumah mempelai laki-laki atau berubah dilanjutkan dengan pemberitahuan kepada orang tua si gadis melalui utusan yang dikirim olehkeluarga mempelai laki-laki bahwa anak gadisnya telah kawin lari. Dan kemudian ada tidaknya persetujuan dari orang tua si gadis tidak menghalangi proses pengesahan perkawinannya asalkan semua persyaratan telah dipenuhi, baik menurut undang-undang perkawinan (Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974) maupun menurut hukum adat. Baik perkawinan itu dilakukan dengan cara meminang atau dengan cara lari bersama ataupun dengan cara “nyeburin pada masyarakat Bali” puncaknya atau pada akhirnya akan melakukan upacara pengesahannya yang pada pokoknya terdiri dari 3 tahap yaitu:
1. Upacara penerimaan di rumah mempelai wanita
2. Upacara perjalanan ke rumah mempelai laki-laki
3. Upacara pengesahan pada statusnya yang baru di rumah mempelai laki-laki
Tujuannya tiada lain adalah untuk menjaga hal hal yang tidak diinginkan muncul kemudian, dan apabila sesuatu terjadi atas perkawinan tersebut maka masyarakat dapat sebagai saksi dalam kasus yang terjadi. Mereka yang sudah sah kawin akan dicatat atau didaftar di desa sebelum ke catatan sipil yang merupakan pertanda bahwa mereka telah resmi menjadi anggota masyarakat yang baru. Dan pendaftaran atau pencatatan ini di masing-masing desa juga berbeda waktunya. Pencatatan atau pendaftaran inipun saat ini akan berkaitan dengan pembuatan akte perkawinan seperti yang diinginkan oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (Pasal 2 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974).




























BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
3.1.1 Bentuk-bentuk perkawinan di Indonesia dibagi menjadi perkawinan jujur, perkawinan semenda, perkawinan bebas/mandiri, perkawinan campuran dan perkawinan lari.
3.1.2 Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974 sahnya perkawinan dilihat dari Untuk wanita apabila sudah menstruasi satu kali. Untuk laki-laki apabila sudah dianggap mampu untuk mencari nafkah sendiri, atau sudah dapat menggendong padi satu pikul atau sudah mampu melaksanakn kewajban di desa, atau sudah terjadi perubahan suara (perubahan biologis). Sedangkan setelah berlakunya UU No.1 Tahun 1974 syarat-syarat sahnya perkawinan dapat dibagi menjadi ; persyaratan formal dan materiil harus pula dilengkapi dengan tata administrasinya. perkawinan dengan cara meminang mempunyai proses dan prosedur dengan perkawinan lari bersama.

3.2 Saran
3.2.1 Agar setiap daerah memperhatikan bentuk-betnuk perkawinan yang dianut dan mengukuhkan bahwa itu adalah bentuk perkawinan yang dipilih sehingga pada saat adanya perkawinan dapat diterapkan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam bentuk perkawinan yang dipilih tersebut.
3.2.2 Agar setiap orang yang melangsungkan perkawinan melaksanakannya sesuai dengan syarat dan prosedur yang dianut oleh bentuk perkawinan yang ditetapkan di masing-masing daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar