Jumat, 03 Februari 2012

SISTEM PERADILAN PIDANA

SISTEM PERADILAN PIDANA
I. Pendahuluan
- SPP (Criminal Justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
- menanggulangi disini berarti usaha untuk mengendalikan kejahatna agar berada dalam batas toleransi masyarakat
- sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan disidangkan dan diputus pidana.
sistem peradilan pidana
pengertian
-Remington dan Ohlin
Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.
Dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
-Hagan
Membedakan pengertian antara : criminal justice process dan criminal justice system adalah setiap saat dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan baginya sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
-Marjono Rekso Diputro
Dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.
Tujuan sistem peradilan pidana
1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sebagai masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan yan gbersalah dipidana.
3. mengesahkan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Diskusi
- Terjadinya tindak pidana dalam masyarakat. Tindak pidana dalam masyarakat langsung diadukan atau dilaporkan.
- Terjadinya tindak pidana dalam masyarakat alasannya:
1.proses peradilan membutuhkan banyak biaya juga untuk menebus barang bukti (pencurian sepseda motor)
2.masyarakat perlu mendapatkan keadilan
3.pertama, tidak mengadukan ke kepolisian misalnya tidak mengadukan karena ia menganggap tidak dibawa ke pengadilan karena dianggap itu tindak pidana ringan. Misalnya mencuri sebuah pensil.
4.tidak adanya laporan karena kurang pemahaman dan rasa malu dari korban.
Alasan tidak dilaporkan oleh masyarakat:
1. biaya dalam proses peradilan yang besar.
2. akibat perbuatan yang dilakukan pelaku tidak egitu besar dampaknya.

PROSES
Kepolisian
Setelah adanya laporan, melakukan penyelidikan dan penyidikan, kemudian memanggil tersangka.
Proses penyelidikan dan penyidikan
Tahap I  menyerahkan ke penuntut umum
Tahap II  mengembalikan berkas yang belum lengkap.
Peyidik mempunyai modal menemukan tersangka yaitu TKP. Tindakan pertama dari kepolisian dari TKP adalah diamankan tersangkanya dan kedua adalah menjaga status quo dari TKP dalam arti TKP harus tidak ada perubahan (kedokteran forensic)
BAP : Berita Acara Pemeriksaan
Tindakan kepolisian terhadap TKP:
1. menjaga status quo tempat kejadian perkara
BAP diserahkan kepada penuntut umum melalui 2 tahap:
1. menyediakan berkas perkara pada penuntut umum
2. menunggu tahap kedua diselesaikan seperti penyerahan tersangka dan tanggungjawabnya.


KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA
a. kepolisian sebagai sub sistem peradilan pidana
- peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepolisian (UU No 2 tahun 2002, UU no 8 tahun 1981)
-tugas kepolisian yang terkait dengan SPP adalah preventif (pencegahan) dan represif (penyelidikan dan penyidikan)
b. kejaksaan sebagai sub sistem peradilan pidana
-peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kejaksaan adalah UU no 16 tahun 2004; UU no 8 tahun 1981.
-tugas kejaksaan yang terkait dengan SPP adalah sebagai penuntut umum
c.pengadilan sebagai subsistem peradilan pidana
-peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengadilan adalah UU No 48 tahun 2009; UU no 8 tahun 1981; UU no 49 tahun 2009 dan peraturan umum no 3 tahun 2009.
-tugas pengadilan yang terkait dengan spp adalah memeriksa perkara yang dilampirkan oleh penuntut umum dan memberikan putusan
d. lembaga permasyarakatan sebagai sub sistem peradilan pidana
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lembaga permasyarakatan adalah UU No 12 tahun 1995
-lembaga permasyarakatan adalah bagian paling akhir di SPP.
-tugas lembaga permasyarakatan yang berkaitan dengan SPP adlaah melakukan pembinaan terhadap terpidana yakni bagaimana terpidana sudah keluar dari lapas menjadi lebih baik dapat diterima di masyarakat, tidak ditolak masyarakat.
e.advokat sebagai sub sistem peradilan pidana
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan advokat adalah UU no 8 tahun 2003.
Dalam KPK tak ada istilah penghentian penyidikan resikonya dari tahap penyelidikan sampai penyidikan, karena itu KPK harus berhati-hati.
Ada 2 tahap penyidik ke penuntut umum:
1. penuntut umum menerima berkas perkara melakukan penuntutan.
Tahap I  penyidik menyerahkan berkas perkara ( penyidik membuat BAP) berita acara pemeriksaan BAP tidak hanya ditingkat penyidikan tapi juga di tingkat pengadilan
BAP di hukum penyidikan isinya:
- Dalam hal tindak pidana korupsi, ekonomi, kejaksaan yang bisa sebagai penyidik
- Dalam tindak pidana korupsi, KPK sebagai penyidik
- Dalam tindak pidana umum, polisi sebagai penyidik tunggal
- Dibentuknya lembaga KPK, karena lembaga lembaga lain (polisi dan kejaksaan) belum optimal dalam melakukan penyidikan dalam kasus korupsi.
- Kalau jaksa dan polisi sudah optimal dalam menangani kasus korupsi, maka KPK (bersifat sementara) akan dielliminasi.
- Kepolisian dan kejaksaana dinyatakan secara tegas sebagai penegak hukum.
- Dalam penyidiikan KPK harus berhati-hati karena
- Dalam KPK tak ada istilah penghentian penyidikan sehingga dari penyelidikan sampai dnegan penyidikan KPK harus berhati-hati untuk dapat berlanjut ke pengadilan.
- Kejaksaan memberi petunjuk kepada penyidik tentang apa apa yang harus dilengkapi terhadap berkas perkara yang belum lengkap.
- Pengembangan berkas perkara pada penyidik adalah proses prapenuntutan.
Tahap II  dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Menyerahkan tersangka beserta tanggungjawab dan barang-barang bukti. Apakah penuntut umum otomatis melakukan penuntutan?
Dan proses pengembalian perkaran yang sudah lengkap tidak langsung ke tahap II karena walaupun sudah dilengkapi lagi dikembalikan pada penuntut umum. Masih memeriksa kembali berkas yang sudah dilengkapi tersebut. Jika kemudian masih ada data yang kuran gmaka ini akan menimbulkan proses prapenuntutan bolak balik.
- Dari tahap ke II apakah penuntut umum langsung mengadakan atau melakukan penuntutan?
Apakah yang dimaksud dengan sengketa kewenangan mengadili?
Apabila 2 atau lebih peradilan sama-sama tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
PN  mengadili fakta
PT  mengadili fakta tingkat banding
MA  mengadili hukum tingkat kasasi.
GAMBARAN PROSES BEKERJANYA SUBSISTEM PERADILAN PIDANA
TINDAK PIDANA tidak dilaporkan karena:
- Pesimisme atas penyelesaian kasus
- Kerugian yang diderita tidak begitu besar
- Viktimisasi tidak layak untuk diketahui orang
- Kasus diselesaikan di lingkungan
TINDAK PIDANA yang berupa laporan atau aduan masyarakat melalui kepolisian
a. tidak diproses :
- bukan tindak pidana
- tidak cukup bukti
-demi hukum (tersangka meninggal dunia) maka pertanggungjawaban tidak bisa diwakilkan oleh orang lain untuk dilanjutkan.
b. diproses :
melalui kejaksaan, yaitu
b.1. tidak dituntut
- dihentikan ( bukan tindak pidana; tidak cukup bukti)
- ditutup demi hukum (meninggal dunia; ne bis in idem; kadaluwarsa)
-dideponir/dikesampingkan
b.2. dituntut
melalui pengadilan, yaitu
-disidangkan (lepas/bebas; didenda;di penjara)
-tidak disidangkan (terdakwa meninggal dunia).
Penuntut umum dapat melanjutkan /tidak melanjutkan tuntutan, kalau melanjutkan penuntut umum membuat suratan dakwaan. Dalam sidang pengadilan harus mendaftar terlebih dahulu. Kemudian mendapat nomor register perkara (ex: p21). Masuk ke pengadilan (ada sengketa kewenagan mengadili).
Kompetensi absolute : tergantung pada hakim pengadilan
Kompetensi relative : tergantung locus delicti (tempat dimana suatu perkara pidana terjadi)
PENUNTUTAN
Pasal 1 butir 7 KUHAP “penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke PN yan gberwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Di pengadilan negeri, ketua PN berpendapat bahwa perkara yang diajukan termasuk dalam kewenangannya, maka ia menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut.
KEWENANGAN UNTUK MENGADILI
Terkait dengan asas actori sequituur forum rei dakwaan diajukan di PN wilayah hukum tempat tinggal tergugat.
Apakah setiap perkara yagn dilimpahkan ke PN oleh penuntut umum akan diperiksa oleh hakim?
Perkara yang dillimpahkan ke PN tidak langsung diperiksa oleh hakim, tapi melalui prosees yaitu ketua pengadilan yang menerima perkara untuk kemudian diberikan pada hakim yang berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Setelah dilimpahkan oleh penuntut umum dilimpahkan ke panitra PN kemudian keterangan memeriksa apakah perkara yang dilimpahkan masuk wilayah kewenangan/tidak? Kalau bukan kewenagannya, maka dikembalikan ke PN karena bukan kewenagan hakim PN tersebut.
SENGKETA kewenangan mengadili terjadi bila antara keterangan pengadilan yagn lain menyatakan bahwa perkra yagn masuk, kemudian diperiksa oleh PN tersebut bukan merupakan kewenangan mengadili PN yang bersangkutan.
Dalam perkara yang berbeda, bukan merupakan sengketa kewenangan yang mengadili.
- Perkara kering: semua PN menolak mengadili perkara sehingga terjadi sengketa kewenangan mengadili
- Perkara basah: semua PN menerima perkara untuk dapat diadili
- Peradilan umum menyangkut kejahatan/perkara pidana adalah PN dan PM
- Peradilan tidak dikenal peradilan tingkat ketiga, hanya tingkat 1 dan 2, peradilan tingkat 1 adalah PN, peradilan tingkat 2 adalah PT.
- PN mengadili mengenai fakta, PT juga mengadili mengenai fakta.
- Kalau ke PT cukup dengan banding, kalau ke MA dengan kasasi dan…
PENGHENTIAN PENYIDIKAN DALAM PENUNTUTAN
Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi hukum sepperti tersebut dalam pasal 140 ayat (2) butir a pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkaranya ditutup demi hukum” diartikan sesuaidenagn Buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam pasal 76, 77 dan 78 KUHP.
Hal yan gperlu diperhatikan ialah ketentuan bahwa jika kemudian ternyata ada alasan baru untuk menuntut perkara yagn telah dikesampingkan karena kurang bukti-bukti, maka penuntut umum dapat menuntut tersangka (pasal 140 ayat (2) butir d KUHP).
Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketetapan penuntut umum untuk menyampingkan suatu perkara (yang tidak didasarkan kepada asas oportunitas), tidak berlaku asas ne bis in idem. Menurut pedoman pelaksanaan KUHP tersebut yang melakukan penyidikan dalam hal diketemukannya alasan baru ialah penyidik.
PENDEKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
- Pendekatan law and order (hukum dan ketertiban)
- Kepribadian ganda
- Penggunaan hukum sebagai instrument ketertiban dalam masyarakat
- Penggunaan hukum sebagai pembatasan kekuasaan penegakan hukum
- Titik berat law enforcement, dimana hukum diutamakan dengan dukungan instansi kepolisian
- Keberhasilan penanggulangan kejahatan sangat tergantung pada efektifitas dan efisiensi tugas kepolisian
- Menimbulkan ekses diskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian police brutality, kolusi, police corruption.
PENDEKATAN SISTEM
- Suatu pendekatan sistem adalah pendekatan yang mempergunakan segenap unsure yang terlibat di dalamnya sebagai satu kesatuan dan saling berhubungan (inferelasi) dan saling memperngaruhi satu sama lain.
- Dalam proses penegakan hukum, unsure tersebut meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
- Penegak hukum yang baik ialah apabila SPP bekerja secara objektif dan tidak objektif dan tidak bersifat memihak.
PENDEKATAN NORMATIF, ADMINISTRATIF DAN SOSIAL
- Pendekatan normative memandang kedudukan aparat (kepolisian, kejaksaan pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundnag-undangan yang berlaku sehingga keempat aparat tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
- Pendekatan administrative memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bresifat horizontal maupun vertical sesuai struktur organisasi.
- Pendekatan sosial memandang keempat aparat penegak hukum merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sebagai masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan/ketidakberhasilan dari keempat aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.
MODEL MODEL SISTEM PERADILAN PIDANA
- Dikenal ada 2 model pemeriksaan (due process of law) oleh H.L Packer yaitu:
Due process model (DPM)
Crime Control Model (CCM)
- Kedua bentuk model memberikan corak agak berbeda akan tetapi tujuannya adalah sama yaitu memberikan perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka/terdakwa.
Ciri-ciri karakteristik due process model adalah memakai pola yang dominan sebagai berikut:
- menegakkan asas perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum dengan menjunjung tinggi HAM dan menerapkan asas praduga tidak bersalah.
- Menekankan kepada pencegahan dan menghindari kesalahan administrasi peradilan.
- Pemeriksaan dilakukan secara terbuka
- Pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa baru dilakukan bila sudah memperoleh hak penuh untuk dibela pengacara
- Menerapkan proses pemeriksaan secara bertahap
- Tujuannya melindungi bagi yang tidak bersalah, menuntut yang bersalah
- Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan saksi pidana (criminal sanction).
Cirri-ciri karakteristik crime control model tampak hal sebagai berikut:
- Tersangka/terdakwa dianggap telah bersalah sebelum menjalankan pemeriksaan dengan bukti diperoleh secara akurat
- Proses pemeriksaan dilakukan secara tepat dan tuntas
- Peran pengacara sangat terbatas
- Tindakan represif terhadap suatu tindakan criminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan
- Crime control model menerapkan pola pemeriksaan langsung
- Crime control model menekankan pada bentuk penggunaan kekuasaan formal.
ADAPULA ILMUAN LAIN YANG MEMBERIKAN ISTILAH MODEL DI ATAS DENGAN SEBUTAN:
- Adversary sistem (aqquisatorial sistem)
- Non adversary sistem (inquisitorial sistem)
BAGI INDONESIA SAAT BERLAKUNYA HIR (Herziene Inlanddsh Reglement) TAMPAK DOMINAN MEMAKAI MODEL CRIME CONTROL MODEL KARENA:
- Tersangka/terdakwa dipandang sebagai objek pemeriksaan
- Kedudukan tersangka/terdakwa dengan pemeriksa tidak sejajar
- Kecendrungan mengabaikan alat-alat bukti sebagai pedoman
- Peranan advokat/pengacara sangat terbatas pada penyidikan
- Perlindungan hukum akan martabat tersangka/terdakwa sangat kecil
- Hak-hak tersangka/terdakwa sering terabaikan
- Diberlakukan sistem pemeriksaan inquisituur.
SEDANGKAN SETELAH BERLAKUNYA KUHAP TAMPAK DOMINAN MEMAKAI SISTEM DUE PROCESS MODEL KARENA TAMPAK USAHA PERLINDUNGAN KE ARAH PERSAMAAN DIMUKA HUKUM SEPERTI:
- Pernghormatan setiap orang dalam wujud penegakan atas asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
- Asas pemberian bantuan hukum dalam semua tingkat proses peradilan
- Tersangka/terdakwa dipandang sebagai subyek  kedudukan sejajar
- Pemeriksaan yang terbuka untuk umum.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
Proses Hukum yang adil (layak)
Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak
Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.
Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat
Dengan keberadaan UU No.8 Tahun 1981, kehidupan hukum Indonesia telah meniti suatu era baru, yaitu kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana.
Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab.
Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Model Integrated Criminal Justice System
Dalam sistim peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial.
Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.
Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistim yang dipergunakan adalah sistim sosial.
Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana, ialah :
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.
c. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”
Komponen - komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatat. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated criminal justice system”.
Muladi menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :
1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.
Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistim yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistim, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim lainnya. Keterpaduan antara subsistim itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistim menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistim peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.
Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Olehkarena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law and it’s enforcement”.
Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.
Mardjono Reksodiputro dengan gambaran bekerjanya system peradilan pidana demikian maka kerjasama erat dalam satu system oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan. Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut meliputi:
a) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;
b) kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub system); dan
c) karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari system peradilan pidana.
Menteri Kehakiman sendiri pernah mengingatkan “ dengan menggunakan kata system sebenarnya kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub system kearah tercapainya tujuan bersama.”


Modernisasi Sistem Peradilan
Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi yang memunculkan fenomena baru berupa globalisasi, menuntut perubahan struktur hubungan-hubungan hukum (legal stucture), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture) maka akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketentraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, akan menjadi tidak pasti, tidak tertib serta tidak terlindung. Sebabnya adalah penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total enforcement and full anforcement).
Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali, yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.
Dalam era modernisasi dan globalisasi inilah sistim hukum ditantang untuk berperan sebagai mekanisme pengintegrasi (integrative mechanism) yang dapat mempersatukan berbagai dimensi kepentingan : (a) Antar kepentingan internal bangsa, (b) Antar kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, (c) Antar sektor kehidupan nasional.
Hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung “Local Characteristics” seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum.
Disadari ataupun tidak, modernisasi dan globalisasi memang dapat menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum. Meski demikian masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yang berdampak positif ataupun negatif terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto, adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undang.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Diantara faktor-faktor tersebut di atas, maka faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebsbkan oleh karena undang-undang disusun disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat.
Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistim peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.
Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistim, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.
Salah satu cara untuk melaksanakan modernisasi sistim peradilan pidana adalah dengan membangun sebuah model. Menurut pendapat Herbert Packer, pendekatan normatif dibedakan ke dalam dua model, yaitu : crime control model dan due prosess model.
Sedangkan menurut Muladi, model sistim peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah yang mengacu kepada : “daad-dader strafrecht” yang disebut : model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.
Persepsi para pendukung crime control model dan due prosess model terhadap proses peradilan pidana adalah bahwa proses tersebut tidak lain merupakan suatu “decision making”. Crime control model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan “excessive leniency” sedangkan due prosess model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan ketepatan dan persamaan. Pada intinya perbedan dua model ini berkisar pada bagaimana mengendalikan pengambilan keputusan agar dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.

Secara umum penegakan hukum hanya dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.
Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistim peradilan pidana.
Penegakan hukum pidana sebagai suatu proses harus dilihat secara realistik, sehingga penegakan hukum secara aktual (actual enforcement) harus dilihat sebsgsi bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan memberikan umpan balik yang positif.

TAHAP-TAHAP PENYELIDIKAN PERKARA PIDANA
2.1 Pengertian Penyelidik
Menurut pasal 1 angka 4 KUHAP
Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan. Apabila hukum acara pidana dipandang dari sudut pemeriksaan, hal ini dapat dirinci dalam dua bagian, yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali oleh polisi, baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik, apabila ada dugaan bahwa hukum pidana materil telah dilanggar. Sedangkan pemeriksaan disidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak. Didalam pemeriksaan pendahuluan, sebelum sampai pada pemeriksaan disidang pengadilan, akan melalui beberapa proses sebagai berikut:
2.2 Proses Penyelidikan dan Penyidikan.
Menurut kuhp diartikan bahwa penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan(pasal 1 butir lima kuhap). Dengan demikian fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP)
Oleh karena itu, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang:
a. Tindak apa yang telah dilakukannya
b. Kapan tindak pidana itu dilakuakan
c. Dimana tindak pidana itu dilakukan
d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
e. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan
g. Siapa pembuatnya
2.3 Petugas-Petugas Penyelidik dan Penyidik
Menurut pasal 4 penyidik adlah setiap pejabat polisi Negara republic Indonesia. Di dalam tugas penyelidikan mereka mempunyai wewenang- wewenangseperti diatur dalam pasal 5 KUHAPsebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tending adanya tindak pidana
b. Mencari keterangan dan barang bukti
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda pengenal diri
d. Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab.
Yang termasuk penyidik adalah
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya pejabat bead an cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hokum nya masing- masing.
Penyidik sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 6 KUHAP berwenang untuk:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
e. Melakukan pemeriksaan dan peryitaan surat
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalm hubungannya dengan pemeriksaan
i. Mengadakan penghentian penyidikan
j. Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggung jawab.(pasal 7 KUHAP)
2.4 Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan atua penyidikan merupakan tidakan pertama –tama yang dapat dan harus dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah terjadi tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejhatan atau pelanggaran maka harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan tindak pidana dan jika ia siapakah pembuatnya. Persangkaan atau pengetahuan telah terjadi tindak pidana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber yang dapt digolongkan sebagai berikut:
a. Kedapatan tertangkap tangan (ontdekkeng op heterdaad)
b. Diluar tertangkap tangan
Adapun yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
 Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
 Dengan segera sesudah beberap saat tindakan pidana itu dilakukan, atau
 Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak rami sebagai orang yang melakukannya,atau
 Apabila sesat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.(pasal 1 butir 19 kuhap) Sedangkan dalm hal tidak tertangkap , pengetehuan penyelidik atau penyidik tentang telah terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
a. Laporan
b. Pengaduan
c. Pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidi

2.5 Penangkapan dan Penahanan
Yang dimaksud dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim.(petranase. 2000. hlm:90) Jadi, penangkapan dan penahanan adalah merupakan tindakan yang membatasi dan mengambil kebebasan bergerak seseorang. Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan terdapat dalam pasal
20 dan 21 ayat 1 dan ayat (4).
2.6 Penangguhan dan Penahanan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugiakn kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan agar penahanannya ditangguhkan.. berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HIR yang menetapkan bahwa pejabat satu-satunya yang berwenang menangguhakan penahanan ialah hakim, maka menurut KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu penahanan perlu ditangguhakan atau tidak ialah penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
2.7 Penggeledahan Badan dan Rumah
Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan dengan surat perintah untuk itu dari yang berwenang. Yang dimaksud dengan penggeledahn badan ialah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badann atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.
2.8 Penyitaan
Yang dimaksud dengan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Disamping itu menurut pasal 39 KUHAP ditentukan bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
b. benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya
c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
d. Benda yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
2.9 Pemeriksaan ditempat kejadian
Pemeriksaan ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian dan perampokan. Dalam hal terjadinya kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan pemeriksaan ditempat kejadiaan diatur dalam pasal 7 KUHAP.
2.10 Pemeriksaan tersangka
Sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang dilakukan suatu tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuaan hokum atau bahwa ia dalam perkara itu wajib didampingi penasehat hokum(pasal 114 KUHAP)
2.11 Pemeriksaan saksi dan ahli
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradialan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.(Petranase. 2000.hal:117) mengenai hal ini, menurut pasal 224 KUHAP yang berbunyi :
“ barang siapa dipanggil menururt undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban menurut undang-undang, yang ia sebagai demikian harus melakukan:
a. Dalam perkara pidana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 bulan.
b. Dalam perkara lain, dipidana dengan pidana penjara selam-lamanya 6 bulan.
2.12 Penyelesaian dan Penghentian Penyidikan
Menurut H.Ap syarifudin petranase penyidikan itu dianggap selesai ketika dinyatakan bahwa:
a. Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu 7 hari,setelah penuntut umum menerima hasil pendidikan dari penyidik,ada pemberitahuan dari penuntut umum bahwa penyidikan diaanggap selesai. Pemberitahuan tersebut merupakan keharusan atau kewajiban bagi penuntut umum seperti yang diatur dalam pasal 138 ayat 1 KUHAP.
b. Penyidikan diaanggap selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik sebagaimana yang diatur dalam pasal 110 ayat 4 KUHAP.



BAHAN UAS
SISTEM ACARA PIDANA
Family model (model kekeluargaan)
Model ini diperkenalkan oleh John Griffiths adalah sebagai reaksi dari model yang diperkenalkan oleh Packer dengan prinsip sbb:
- Mendasarkan pada pemikiran tentang hubungan antarnegara dan individu dalam proses criminal dimana seorang pelaku kejahatan dianggap musuh masyarakat
- Tujuan utama dari penyelenggaraan peradilan pidana adalah segera mengasingkan pelaku di dalam masyarakat
- Landasan filosofisnya adalah pertentangan kepentingan antara individu dan Negara tidak dapat dipertemukan kembali
- Seorang pelaku ditempatkan sebagai seorang yang dijadikan obyek di dalam penyelenggaraan peradilan pidana
Sedangkan menurut John Griffiths menyatakan hal-hal sbb:
- Dalam berpikir di dalam pertimbangan kepentingan/keuntungan di dalam memahami kejahatan dan penjahat.
- Landasan filosofisnya harus diganti dnegan asumsi bahwa tidak ada pertentangan yang tidak bisa diselaraskan
- Yang mendasari penyelenggaraan peradilan pidana adalah cinta kasih sesame hidup atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan
- Setiap kehidupan dalam masyarakat hubungan masyarakat dan pelaku kejahatan________
Integrated model (model terpadu) dalam sistim peradilan pidana menganut prinsip sbb:
- Bahwa penyelenggaraan peradilan di berbagai Negara mempunyai tujuan adalah usaha pencegahan kejahatan baik jangka pendek, menengah, panjang
- Penyelenggaraan peradilan pidana didukkung oleh beberapa lembaga instansi yang bertugas melaksanakan penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim, LP)
- Dalam model terpadu, lembaga/instansi yang ada tersebut meskipun tugasnya berbeda-beda dan mempunyai tujuan masing-masing namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu usaha pencegahan kejahatan
- Oleh karena itu lembaga satu dnegan yang lainnya harus mengadakan kerjasama dan koordinasi untuk mencapai tujuan yang sudah barang tentu harus pula didukung dengan peraturan perundanng-undangan yang memadai.
- Bila tidak demikian bukan mustahil akan terjadi instansi sentries serta tidak menunjukkan kesatuan sistem yang terpadu sebagaimana dikehendaki oleh suatu sistem.
Model yang diterapkan dalam praktek penegakan hukum di Indonesia:
Dalam penegakan hukum di Indonesia, bukan hanya menggunakan due process model, tapi juga menggunakan KUHAP telah mengakomodasikan crime control model. Namun sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum di Indonesia lebih ke due process model. Khususnya mengenai peran pembela (pengacara) baru ada setelah proses peradilan. Kekeliruan dalam hal pengacara terjadi dimulali di tingkat penyidikan aqquisatuur tapi belum aqquisator muni karena di tingkat pneyidikan, pengacara bersifat pasif hanya melihat dan mendengar. Di tingkat kejahatan/keamanan, pengacara hanya mendengar saja.
Dalam praktek penegakan hukum, peran bantuan hukum peran pengacara belum optimal, letak belum optimalnya yaitu sebelum tersangka diperiksa tersangka ditanyakan mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Namun pengacara tidak diperankan saat pemeriksaan. Tersangka tidak diperkenankan menggunakan bantuan hukum. Akkibatnya sampai sekarang menyangkut pemeriksaan.DST

Ada 5 komponen dalam spp:
- Kepolisian
- Kejaksaan
- Pengadilan
- Lembaga permasyarakatan
- Advokat  dikaitkan dengan tingkat pemeriksaan.
Di tingkat penyidikan, penasihat hukum bersifat pasif, tidak seperti di pengadilan yagn bersifat aktif.
Advokat atau pengacara tidak seperti 4 komponen penegak hukum di atas.
Di dalam KUHAP ada beberapa tahapan-tahapan:
(penuntut umum tidak bisa mengadakan pemeriksaan langsung)
1. penyelesaian perkara pidana dimulai dari penyelidikan oleh penyelidiakn dan penyidikan oleh penyidik
2. penangkapan (bab V KUHAP) pasal 16-19 yang melakukan penangkapan terkait dengan tindak pidana umum adalah penyidik
3. penahanan
4. pemeriksaan di tingkat pengadilan
MENGAPA TIDAK ADA PEMERIKSAAN DI TINGKAT PENUNTUTAN?
Karena KUHAP tidak membenarkan penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.
HUBUNGAN PENYIDIK DENGAN PU
1. PU melalui penyidik melakukan prapenuntutan (hubungan antara komponen penyidik dengan PU)
2. letak hubungan PU dengan penyidik berkaitan dnegan penahanan yaitu penyidik bisa melakukan penahanan dalam jangka waktu 20 hari minta perpanjangan pada PU
3. pada saat penyidik dalam melakukan penyidikan wajib memberitahukan pada PU mengenai mulai dilakukan penyidikan sehingga tahap keempat dalam SPP dalam KUHAP pemeriksaan ti tingkat pengadilan.
JAKSA AGUNG  deponir (menyampaikan perkara) atas dasar kepentingan umum.
LETAK SPP TERKAIT LEMBAGA PERMASYARAKATAN DENGAN KUHAP
1. eksekusi (pelaksanaan putusan di LP)
2. hakim pengawas/pengamat. Apabila putusan pengadilan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dan setelah eksekusi hakim akan meninjau hakim pengawas/pengamat di LP yang bersangkutan.
PU MENGANGGAP BERKAS PERKARA SUDAH CUKUP/ MEMNUHI SYARAT UNTUK MELAKUKAN TUNTUTAN:
1. membuat surat dakwaan (pasal 143 ayat 2) KUHAP. Syarat materiil yagn dikatakan mengenai cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yagn dilakukan. Tempos dan locus delicti sangat penting dalam surat dakwaan.
Locus delicti: dikaitkan dnegan kompetensi/kewenangan pengadilan dimana perbuatan pidana itu dilakukan walaupun ada suatu pengecualian.
Tempos delicti: dikaitkan dengan waktu kapan tindak pidana itu dilakukan.
JIKA PU RAGU-RAGU MENGNAI WAKTU DAN TEMPAT BAGAIMANA?
Misalkan waktu, PU menyebutkan dalam SD jam 9, ternyata jam 9 lewat. Kemudian mengenai tempat tidak hanya disebutkan jalan suli no.1 ternyata jalan suli no.2 maka akan melemahkan PU, maka dari itu keterangan locus dan tempos delicti harus ditambahkan “setidak-tidaknya di wilayah hukum denpasar”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar