Jumat, 03 Februari 2012

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
LAWENFORCEMENT RECHTHANDHAVING
Penegakan hukum lingkungan di bidang perdata
Pengertian
Penegakan hukum (law enforcement) atau (rechthandhaving) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative disputes).
Melaksanakan dan menerapkan hukum artinya setiap tindakan/ perbuatan harus dijalankan sesuai dengan kaidah/aturan-aturan yang berlaku.
Melakukan tindakan hukum terhadap subjek hukum manakala subjek hukum itu melakukan pelanggaran terhadap hukum, ada upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikannya melalui prosedur pengadilan, arbitrase dan badan penyelesaian sengketa lainnya.
Pengertian yang lebih luas lagi
Kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normative yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
Pengertian penegakan hukum yang lebih luas (preventif dan represif)
Kegiatan penegakan hukum itu tak hanya dijalankan setelah pelanggaran tiu terjadi melainkan sebelum terjadi pelanggaran/penyimpangan.
Pengertian dalam arti sempit (represif saja)
Penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran/penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pengertian hukum lingkungan
Sekumpulan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip hukum yang diberlakukan untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
UU No.32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dilihat dari segi fungsi, hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan mengatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung yaitu dengan memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat. Artinya dengan pengetahuan masyarakat tentang apa yang dilarang dan diperbolehkan maka secara tidak langsung untuk memberikan kaidah pada masyarakat.
Penegakan hukum lingkungan
Proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Makna penegakan hukum
Bagaimana hukum itu harus dilaksanakan sehingga terpenuhinya unsure-unsur:
1.kepastian hukum
2.kemanfaatan
3.keadilan
1. kepastian hukum
Adagium adagium “fiat Justitia et pereat mundus”. Meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Kepastian hukum mengehndaki bagaimana hukumnya dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana pahitnya. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya ketertiban.
2.kemanfaatan
Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dengan tentunya memberikan manfaat pada masyarakat. Artinya peraturan tersebut dibuat untuk kepentingan masyarakat sehingga jangan sampai terjadi bahwa karena dilaksankaannya peraturan tersebut masyarakat justru semakin resah.
Contoh : sebuah pabrik konvensi yang mempekerjakan ribuan orang ditutup karena ia telah mencemarkan lingkungan, hal ini tentu akan menimbulkan keresahan baik masyarakat dunia usaha maupun para pekerjanya.
3. keadilan
Dalam penegakan hukum lingkungan, keadilan harus diperhatikan namun demikian hukum tidak identik dengan keadilan karena hukum itu sifatnya umum, mengikat setiap orang dan menyamaratakan (equality before the law). Tetapi sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.
- Bunyi hukum: “barangsiapa mencemarkan lingkungan hidup harus dihukum” artinya setiap orang yang mencemarkan lingkungan harus dihukum tanpa membedabedakan kedudukan atau jabatan siapa yang mencemarkan.
- Keadilan menurut hukum adalah kondisi kebenaran ideal yang emrupakan nilai utama dari hukum mengenai suatu hal dan dasarnya terletak pada pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban.
Kesimpulan makna penegakan hukum
Kalau dalam penegakan hukum hanya memperhatikan kepastian hukum, maka unsure-unsur lainnya akan dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah pemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan, demikian seterusnya.
Penegakan hukum lingkungan dalam arti luas
(meliputi preventif dan represif)
Cocok dengan kondisi Indonesia yang mana pemerintah turut aktif meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
Selanjutnya penegakan hukum lingkungan dilakukan secara preventif dan represif sesuai sifat dan efektivitasnya. Artinya manakala terjadi pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup, tindakan penegakan hukum yang dilakukan disesuaikan terhadap kejadian konkret yang telah terjadi.
Instrument dalam penegakan hukum lingkungan
1.instrumen administrasi
2.instrumen perdata
3.instrumen pidana
Ad.1 Penegakan hukum lingkungan dengan instrument administrasi
Penggunaan instrument administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum terpenting. Hal ini dikarenakan penegakan hukum administrasi ini lebih ditujukan kepada upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Disamping juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan.
Ad.2 Penegakan hukum lingkungan dengan instrument perdata
Merupakan upaya penegakan hukum setelah penggunaan instrument administrasi karena tujuan dari penegakan hukum disini hanya terfokus kepada upaya permintaan ganti rugi oleh korban kepada pencemar atau perusak lingkungan hidup ataupun permintaan pemulihan lingkungan hidup seperti keadaan semula.
Kenapa memulih menggunakan instrument perdata?
Karena ada hak-hak perdata yang dirugikan dan ini didasarkan pada pasal 1365 KUHPerdata.
Contoh kasus tambak udang. Hak hak perdata yang dirugikan adalah kehilangan omzet, gaji karyawan, keuntungan jika udang itu dijual, biaya pemeliharaan.
Ad.3 Penegakan hukum lingkungan dengan instrument pidana
Dipandang sebagai ultimum remidium artinya sebagai upaya hukum terakhir karena penegakan hukum disini hanya ditujukan untuk menjatuhkan pidana penjara atau denda kepada pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan hidup (pemberian efek jera).
Contoh: pembukaan lahan perkebunan menggunakan pembakaran. Hal ini jelas dialrang oleh UU. Penggunaan instrument pidana itu tidak dipaksakan karena memang telah nyata melanggar ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Penegakan hukum lingkungan bersifat preventif
Berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Sarana bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan.
Penegakan hukum lingkungan bersifat represif
Tindakan dan upaya yang dilakukan manakala telah dilakukan perbuatan sehingga menimbulkan kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang melanggar peraturan-peraturan yang bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan tersebut.
Esensi dari penegakan hukum lingkungan
Sebagai upaya preventif maupun represif dalam menanggulangi dan menyelesaikan perbuatan pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup baik dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja dalam rangka pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan
Ada 2 cara yaitu:
a. penyelesaian sengketa melalui di luar pengadilan
adalah suatu bentuk dan proses penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dilakukan secara sukarela oleh para pihak tanpa melalui prosedur beracara secara formal dan tanpa adanya putusan pengadilan.
Suatu bentuk: penyelesaian sengketa mediasi, negosiasi dan arbitrase.
Proses: bentuk acara mediasi, negosiasi, arbitrase diatur dalam UU
Secara sukarela: kedua belah pihak secaa sukarela/sepakat memilih untuk menyelesaikan sengketa tanpa paksaan melalui di luar pengadilan.
b. penyelesaian sengketa melalui pengadilan
suatu bentuk dan proses penyelesaian sengketa tentunya mengenai lingkungan hidup yang bertujuan untuk mengakhiri secara langsung dan merupakan cara terakhir apabila proses perdamaian tidak berhasil. Artinya Proses dilakukan secara sepihak melalui prosedur beracara yang formal dan adanya putusan pengadilan.
Prosedur beracara formal : ketentuan HIR dan R.Bg (diselesaikan secara eprdata karena adanya gugatan).
Penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan
tujuan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
1. untuk mencari kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi artinya bahwa misalkan ada pelanggaran yang dimaksud bentuk dan besarnya ganti rugi. Ada hak-hak perdata dari korban yang dirugikan. Bentuk dan ebsarnya ganti rugi ditentukan berupa uang yang disepakati kedua belah pihak.
2. menentukan tindakan tertentu yaitu pemulihan terhadap lingkungan hidup yang harus dilakukan oleh pencemar/perusak lingkungan hidup untuk konservasi dan pelestarian lingkungan hidup.
3. untuk menjamin bahwa perbuatan pencemaran dan atau perusakan terhadap lingkungan hidup tersebut tidka terjadi atau terulang di masa yang akan datang.
4. untuk mencegah timbulnya dampak negative terhadap lingkungan.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui mediasi
Mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang termasuk dalam kategori tripartite maksudnya adalah proses mediasi ini memerlukan bantuan/jasa pihak ketiga selain dari para pihak. Pihak ketiga ini sebagai penengah bukan provokator. Menurut PERMA No.1 Tahun 2000 tentang prosedur mediasi di Pengadilan, pasal 1 angka 7 mediasi adalah cara menyelesaikan sengketa melalui perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihka dengan dibantu oleh mediator.
Mediasi lingkungan ada 2 cara:
a. dapat dilakukan di luar pengadilan (UU no 30 tahun 1999)
suatu proses mediasi yang dilakukan setelah para pihak bersepakat untuk memilih mediasi sebagai penyelesaian sengketanya tanpa didahului dengan pengajuan gugatan. Hal ini dilakukan untuk mencari kesepakatan perdamaian antara para pihak yang nantinya akan dikukuhkan sebagai akte perdamaian setelah melalui pengajuan gugatan ke pengadilan walaupun tak ada proses beracara formal. Akte perdamaian adalah akte untuk mendapatkan hasil eksekusi. Hakim yang akan mengukuhkan kesepakatan perdamaian menjadi akte perdamaian sehingga akte perdamaian dapat menentukan eksekusi.
b. dapat dilakukan di pengadilan (UU no 1 tahun 2008)
proses mediasi ini terjadi karena didahului dengan gugatan yang diajukan ke pengadilan.
Azas-azas umum mediasi lingkungan
1. proses mediasi bersifat informal
Artinya suatu tata cara dan pelaksanaan dari mediasi itu tidak terikat pada ketentuan hukum formal. Dilakukan pendekatan non legal untuk menemukan jalan menuju perdamaian. Bersifat informal artinya tidak terikat pada prosedur pengadilan dan tak ada pemeriksaan alat-alat bukti. Asal proses mediasi sesuai prosedur dalam PERMA, tidak melanggar Peraturan perundang-undangan, tidak mengganggu kepetningan umum dan tidak ada unsure-unsur keasusilaan.
2. waktu yang dibutuhkan relative singkat
Pasal 18 PERMA no 1 tahun 2008 menentukan bahwa mediasi dilakukan selama 40 hari dan bisa diperpanjang 14 hari apabila sengketa belum selesai berdasarkan kesepakatan para pihak. Seandainya dalam waktu kurang dari 40 hari sudah selesai, maka proses mediasi berakhir atau telah menemukan kesepakatan perdamaian. Tapi jika setelah diperpanjang masih tiada kesepakatan proses mediasi dianggap gagal/gugur.
3. penyelesaian sengketa lingkungan didasarkan atas kesepakatan para pihak
a.mediator hanya menengahi bukan mengintervensi, artinya mediator tidak boleh melakukan pembelaan pada 1 pihak karena mediator merupakan penengah tak boleh melakukan penekanan-penekanan terhadap para pihak.
b.mediator berkewajiban untuk memacu para pihak menemukan penyelesaian secara damai, artinya mediator memacu para pihak untuk melakukan penawaran penawaran diantara mereka berdua untuk mencapai kesepakatan perdamaian.
c.mediator layaknya sebagai “contract drafting” bagi kesepakatan para pihak, artinya fungsi mediator sebagai pencatat keinginan-keinginan atau kepentingan-kepentingan para pihak dan membacakan lagi point point mana yang dipakai dan tidak dipakai (berfungsi sebagai fasilitasi para pihak).
4. biaya ringan dan murah
Murah atau tidaknya (relatifitasi) mediasi tergantung kesepakatan para pihak.
5. prosesnya bersifat tertutup dan rahasia
Pasal 6 PERMA menyebutkan proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. Dilakukan tertutup artinya: agar para pihak yang bersengketa lebih leluasa untuk menyelesaikan sengketa dalam bernegosiasi, penawaran dan lain-lain. Para pihak di luar sengketa tak boleh ikut, untuk menjamin kenyamanan dari para pihak untuk melakukan penawaran penawaran.
6. kesepakatan damai bersifat mengakhiri perkara.
Artinya dengan adanya kesepakatan damai maka seluruh persengketaan diantara para pihak harus selesai dengan tuntas. apabila dikukuhkan menjadi akte perdamaian maka klausula-klausula dalam kesepakatan perdamaian tidak dapat dirubah.
7. proses mediasi dapat mengesampingkan pembuktian artinya para pihak tidak perlu saling berdeabt dengan bukti-bukti karena proses mediasi tidak memfokuskan pada ketersediaan alat bukti.
8. hasil mediasi bersifat win-win solution
Artinya manfaat yang berimbang sesuai dengan kehendak yang disepakati sehingga sangat dibutuhkan sikap yang kooperatif (saling kerjasama, terbuka) sehingga para pihak tidak merasa dirugikan setelah proses mediasi itu selesai.
Karakteristik dari mediasi lingkungan
1. kesukarelaan
Tidak ada paksaan diantara para pihak untuk menyelesaikan sengketa lingkungan.
2. kesepakatan dan kesepahaman
Setelah para pihak secara sukarela menyelesaikan sengketa melalui mediasi, penyelesaiannya selalu dilakukan dengan kesepakatan dan kesepahaman para pihak.
3. prosesnya tidak mengikat
Apabila tidak ada titik temu, lampau waktu, mediator dapat membuat suatu pernyataan tertulis bahwa mediasi tersebut telah gagal dan melanjutkan ke proses litigasi/jalur pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
1. pengajuan gugatan biasa
2. pengajuan gugatan oleh lembaga swadaya masyarakat (organisasi LH)
3. pengajuan gugatan perwakilan kelompok.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Masalah Diperbolehkannya Didirikan Bangunan yang Melebihi 15 Meter di Bali Sesuai Raker Pansus Perubahan RTRWP Bali Terkait Dengan Penegakan Hukum Lingkungan
Secara konseptual yuridis formal, pembangunan di Indonesia sudah sangat jelas tujuannya yaitu mencapai masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila sesuai dengan makna penegakan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan tentunya akan memberikan manfaat pada masyarakat, dan keadilan yang dalam penegakan hukum lingkungan keadilan harus diperhatikan karena merupakan kondisi kebenaran ideal yang merupakan nilai utama dari hukum mengenai suatu hal dan dasarnya terletak pada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Tetapi dalam praktiknya amat berbeda. Masih sangat nampak banyak elite bangsa ini membangun kemakmuran untuk diri mereka sendiri baik elite yang berada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Di sisi lain, tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri sesuai dengan UU No.32 Tahun 2009, yaitu:
a. melindungi wilayah NKRI dari pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi Lingkungan Hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan Lingkungan Hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas Lingkungan Hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan;
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Secara formal, pembangunan seperti main bola tanpa gawang. Gawang pembangunan bangsa sudah sangat jelas yaitu mengarahkan bola pembangunan untuk menuju gawang keadilan dan kemakmuran. Tetapi para elite tidak mengarahkan bola pembangunan ini ke arah gawang tersebut. Bahkan gawang pembangunan itu tidak dilihatnya. Hiruk pikuk pembangunan di segala bidang dewasa ini bagaikan main bola tanpa gawang yang jelas. Bola dikejar, ditendang, dikejar dan direbut lagi terus ditendang. Demikian sibuknya pemain bola mengejar, merebut dan menendang bola, tetapi tidak ada yang memasukkan ke gawang, karena para pemain bola tidak melihat ada gawang. Yang terlihat adalah sibuk melakukan kegiatan mengumpulkan dana pembangunan dengan tema mentereng untuk rakyat. Tetapi di tengah jalan, setelah terkumpul dana yang diutamakan adalah diri sendiri. Berbagai pihak demikian sibuk menggelembungkan APBN maupun APBD dengan dalih untuk rakyat. Tetapi yang diutamakan untuk membuat kantor dan rumah jabatan mewah dengan ruang kerja luas nyaman mewah dengan perlengkapan yang serba wah. Juga dibuat aturan untuk mendapatkan bermacam-macam tunjangan. Mobil dinas mewah, dana perjalanan membengkak untuk pelesir dengan alasan kunjungan kerja. Pegawai yang direkrutmen keluarga dekat dan para kroni. Memang tidak semua pemimpin pembangunan seperti bermain bola tanpa gawang. Masih banyak yang sungguh-sungguh melihat ada gawang keadilan dan kemakmuran yang mau dituju untuk membawa bola sebagai hasil pembangunan. Namun hal itu tersendat karena masih ramainya pemimpin pembangunan yang bekerja seperti main bola tanpa gawang itu. Bola yang didapat dibawa sendiri kemana maunya, yang jelas tidak ke gawang keadilan dan kemakmuran rakyat. Seyogyanya dalam pembangunan manusia seutuhnya dan seluruhnya yang patut dilakukan adalah melakukan penguatan niat dan tekad. Begitu menjabat tidak ingin cepat-cepat enak dan nikmat .
Hal ini jelas telah menyimpang dari konsep penegakan hukum lingkungan itu sendiri sebab penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan dalam ketentuan perda RTRW Bali yang menyatakan diperbolehkannya didirikan bangunan melebihi 15 meter tidak sesuai dengan budaya dan adat istiadat Bali yang telah dipertahankan masyarakat adat Bali sejak lama serta bertentangan dengan konsep Tri Hita Karana yang menjunjung tinggi kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya.

2.2 Solusi atau Jalan Keluar Untuk Mengatasi Ironi Ketimpangan Pembangunan di Bali Terkait Dengan Diperbolehkannya Didirikan Bangunan Melebihi 15 Meter Khususnya di Kabupaten Badung.
Di daerah lain di Indonesia mungkin bangunan tinggi sangat mudah diterima oleh masyarakat. Namun dalam proses pembangunan di Bali ada suatu tradisi dan aturan sejak dulu dalam bungkus budaya Bali yang tidak mengapresiasi hadirnya bangunan tinggi di Bali. Pemahaman inilah yang sangat berakar pada sebagian besar pemikiran masyarakat Bali. Dimana selalu berusaha mempertahankan apa yang diwarisi dari dulu karena memang merasa masih nyaman dan relevan dengan tatanan ruangan kita kini. Adanya kekhawatiran tentang nilai kesakralan dan spiritual jika bangunan lebih dari 15 meter diperbolehkan di Bali. Pada dasarnya mungkin masyarakat Bali tidak ingin merusak tatanan ruang dan arsitektur yang kita warisi hingga saat ini. Namun disisi lain tidak ada upaya untuk memberikan solusi terhadap permasalahan kebutuhan lahan dan ruang. Siapakah yang akan merusak tatanan ruang Bali, pembangunan ke arah samping (horizontal) ini ataukah pembangunan bangunan tinggi (vertikal)? Saya kira pada kondisi riil, pembangunan horizontal justru lebih merusak. Diperlukan waktu yang tidak sebentar memang, untuk memahami bahwa perubahan itu selallu terjadi. Namun harus diyakini bersama bahwa perubahan itu harus lebih baik. Dalam hal kebutuhan ruang di kota dan pusat pariwisata, saya kira bangunan tinggi diberikan ruang utnuk dikaji secara lebih mendalam mengenai dampak lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya.
Demikian pula lahan yang tidak produktif sangat layak dijadikan bahan pemikiran bersama. Mengurangi pembangunan horizontal dan diarahkan ke vertikal akan memberikan ruang hijau, ruang publik dan ruang pertanian produktif. Pernyataan ini benar jika pemerintah mampu menerapkan aturan dan menegakkan aturan yang pasti dan jelas, mana zona yang boleh ada bangunan tinggi dan tidak. Ini agar jangan sampai menjadi celah investor untuk membangun bangunan tinggi dimana-mana. Hal ini yang tentu tidak diinginkan bersama apalagi dikaitkan dengan mengganggu nilai kesucian serta permasalahan daya dukung Bali.
Pada akhirnya kita sendirilah yang akan menentukan jalan kita dan generasi mendatang apakah akan membiarkan pembangunan horizontal terus berlangsung atau berusaha untuk mempelajari pemahaman baru untuk menghadapi permasalahan ruang yang semakin kompleks. Sebelum terjadi kerusakan yang parah dan terus beralihfungsinya tanah Bali, setidaknya kita harus menentukan pilihan. Saran dan masukan dari semua kalangan dan kajian kompherensif dari pemerintah sangat diperlukan.
Rektor Unud Prof. Dr. dr. I Made Bakta mengatakan, keinginan untuk mengubah kebijakan yang sudah tertuang dalam perda tersebut harus dikaji lebih mendalam. ”Untuk mengubah harus dilakukan pengkajian dengan melibatkan semua stakeholder”, katanya. Prof. Bakta juga mengatakan bila aturan tersebut diberlakukan tentunya akan menimbulkan dampak negatif baik itu dari segi budaya maupun segi keselamatan dan fasilitas pendukungnya. Demikian pula dengan dibolehkannya tinggi bangunan melebihi 15 meter, secara estetika tidak akan ada bedanya dengan daerah lain. Demikian pula dengan bangunan yang bisa lebih banyak menampung orang, maka Bali khususnya Badung akan makin macet. Karena lalu lintas orang akan makin banyak. ”Jangan sampai membuat bangunan tinggi tetapi di belakang hari akan timbul masalah, keributan akan terjadi dimana-mana”, ingatnya. Sebelumnya Prof. Bakta sempat mengatakan perda tentang tata ruang wilayah merupakan kebutuhan mutlak bagi Bali karena melalui Perda tersebut Bali bisa mengatur diri sendiri karena daya dukung alamnya yang sangat terbatas .
Koordinator Pansus Penyempurnaan RTRWP Bali Ketut Suwandi, S.Sos., mengatakan untuk meloloskan ketinggian bangunan di atas 15 meter sebagai revisi perda sebelumnya diperlukan kajian matang dan panjang untuk menyusun ranperda yang baru. Ranperda ini baru disusun setelah pansus penyempurnaan RTRWP merekomendasikan pembahasan ketinggian bangunan di atas 15 meter untuk dibuatkan ranperda. Selain itu masih diperlukan ranperda zonasi untuk mengatur di wilayah mana saja dibolehkan bangunan di atas 15 meter itu. ”Masih banyak pertimbangan yang harus diteliti yang memerlukan kajian kompherensif dan matang. Semua ini diperkirakan memerlukan waktu 5-20 tahun”, katanya. Ia beralasan, Bali yang sudah kecil kalau dibiarkan terus alih fungsi lahan pertanian yang 100 hektar per tahun, lahan pertanian akan habis. Kedua pertumbuhan penduduk yang amat pesat sampai 4% memerlukan pemukiman, sehingga perlunya tambahan ruang baru yang menekan lahan sawah. Alasan tersebut dikemukakan pula pada rapat tim ahli tata ruang DPRD Bali.
Semua komponen di Bali harus menjaga filosofi/Bhisama yang ada. Karena Bali dikenal dengan adat dan budayanya. Sekarang bila adat budaya sudah berubah, Bali perlahan akan ditinggalkan wisatawan. Percuma membangun hotel/objek yang akhirnya sepi. Para wisatawan datang ke Bali untuk berlibur melihat alam yang asri dan indah budayanya. Karena di negara mereka diskotik, hotel megah, toko-toko besar sudah banyak. Maka dari itu kita harus menjaga konsep Tri Hita Karana untuk menghindari nafsu sesaat serta mewujudkan Bali yang masih punya kehidupan panjang untuk anak cucu kita nanti.
Di balik sukses Bali sebagai tuan rumah penyelenggara event berskala internasional beberapa waktu lalu, sesungguhnya terselip ironi kesenjangan pembangunan antar-wilayah yang bisa mengganggu hubungan antar-komunitas Bali sehingga berdampak buruk bagi kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat. Wilayah Bali Selatan dengan gegap gempita dan all out (habis-habisan) mengobarkan spirit serta slogan membangun serta mengembangkan sektor pariwisata untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya di Bali bagian barat, utara dan timur meskipun memiliki keinginan yang sama untuk menggenjot pendapatan daerah dari sektor pariwisata, faktanya potensi yang ada hanya sebatas objek wisata sehingga tidak bisa meraup ’dolar’ sebagaimana yang berhasil diraup secara signifikan oleh Badung, Denpasar dan Gianyar.
”Konsep dan arah kebijakan pembangunan yang diimplementasikan selama ini secara teori memang sangat ideal. Artinya konsep membagi wilayah Bali melalui penerapan pembangunan yang dilandasi oleh potensi daerah sudah tepat untuk menjaga sumber dayta alam pertanian dalam arti luas. Tetapi di dalam praktik pelaksanaan dan data empiris menunjukkan sektor pertanian semakin tidak berdaya mengejar kemajuan sektor pariwisata dari aspek pendapatan bagi pelakunya sendiri maupun dampak terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitarnya”, ungkap Kabag Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Badung.
Disamping itu terdapat tujuan pengelolaan penataan tata ruang, yatiu pertama, pelaksanaan pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan berdasarkan asas wawasan nusantara dan ketahanan nasional; dan kedua, pelaksanaan pemanfaatan ruang berdasarkan hukum di kawasan perlindungan dan kawasan pertanian. Secara umum penataan ruang yang baik akan berhasil:
a. mewujudkan masa depan bangsa sejahtera;
b. menciptakan integritas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan;
c. meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan buatan secara pantas;
d. mewujudkan fungsi perlindungan ruang dan mencegah dampak lingkugan yang negatif;
e. mewujudkan keseimbangan antara kebutuhan dan kesejahteraan .
Betapapun cermat dan strategisnya pemangku kebijakan (birokrasi) menyusun konsep mensinergikan sektor pertanian dengan pariwisata di dalam penerapannya di lapangan terbukti sangat bertolak belakang bagaikan menyatukan air dengan minyak. Air diibaratkan sektor pertanian akan tetap berada di posisi bawah sementara mminyak untuk mengibaratkan sektor pariwisata akan selalu dalam posisi unggul mengambang di atas.
Dalam kaitannya dengan otonomi provinsi, membangun Bali untuk tujuan melestarikan keberadaan komunitas yang berbasis budaya Hindu memang tidak bisa lepas dari konsep Tri Hita Karana. Sepanjang Bali mampu menjaga eksistensi hubungan antara manusia dnegan Tuhan Sang Pencipta, antara manusia dengan manusia dengan sesamanya serta hubungan manusia dengan alam lingkungannya, Bali akan tetap ajeg (lestari). Guna mempertahankan dan mengembangkan sektor pertanian dalam arti luas untuk wilayah-wilayah yang tidak memiliki potensi pariwisata unggulan sebagaimana yang terdapat di Bali Selatan, diperlukan konsep pembangunan yang terintegrasi dengan payung hukum status otonomi di tingkat provinsi. Selama pelaksanaan otonomi daerah berada dan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota seperti sekarang ini, konsep pembangunan Bali secara terintegrasi dan kompherensif akan sulit dilakukan karena masing-masing birokrasi di kabupaten/kota memiliki payung hukum untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Solusi atau jalan keluar untuk mengatasi ironi ketimpangan pembangunan antar-wilayah di Bali memang bukan pekerjaan gampang seperti membalikkan tangan. Terdapat berbagai kendala, baik menyangkut aspek yuridis, formal berupa peraturan perundang-undangan, aspek sosiologis berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat serta aspek ekonomis menyangkut kepentingan kabupaten/kota untuk memperbesar sumber-sumber pendatapan daerah guna menunjang pelaksanaan pembangunan di berbagai bidang. Merupakan kewajiban semua pihak terutama para pemegang otoritas di jajaran birokrasi untuk mencari pola yang tepat guna mengatasi atau paling tidak bisa mempersempit jurang perbedaan pembangunan dan pendapatan perkapita penduduk Bali. Kebijakan pendistribusian sebagian dari hasil pendapatan pajak hotel dan restauran (PHR) Kabupaten Badung yang disetor ke Provinsi Bali untuk diteruskan ke kabupaten Tabanan, Jembrana, Buleleng, Klungkung, Bangli dan Karangasem sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah karena lebih beraroma belas kasihan untuk menghindari terjadinya kecemburuan antar pejabat penguasa di tingkap kabupaten/kota se-Bali. Meskipun dana bantuan dari PHR Badung kepada 6 kabupaten di Bali secara berkala setiap tahun dimasukkan sebagai pos pendapatan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pada masing-masing kabupaten penerima dana tersebut, tetapi realisasi pembangunannya sebagian besar menyimpang dari sasaran.
Dilihat dari fasilitas pejabat, dana belas kasihan yang seharusnya ditunjukkan untuk merehabilitasi infrastruktur dan kondisi objek objek wisata beserta sarana pendukungnya ternyata tidak dipenuhi. Masih banyak objek wisata yang tidak dilengkapi toilet (WC) memadai, lingkungannya kurang bersih dan bahkan tidak tersentuh perawatan serta pemeliharaan. Aspek keamanan, ketertiban dan kenyamanannya juga diabaikan sehingga muncul keluhan wisatawan diganggu oleh gelandangan dan pengemis (gepeng). Alokasi dana APBD yang relatif rendah dan seharusnya diutamakan untuk membangun infrastruktur dan mengentaskan kemiskinan, ternyata digunakan untuk memenuhi pengadaan kendaraan dinas mewah untuk para pejabat. Ternyata ketimpangan pembangunan dan pendapatan Bali bukan hanya terjadi di antar-wilayah semata, tetapi juga antara pejabat dan rakyatnya.
Dalam permasalahan di atas, penting untuk dipahaminya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Amdal adalah suatu studi yang mendalam mengenai tentang dampak negatif dari suatu kegiatan. AMDAL mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup dan dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada konsep ekologi, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup. Oleh karena itu, konsep AMDAL dapat dikatakan sebagai konsep ekologi pembangunan, yang mempelajari hubungan timbal balik antara pembangunan dengan lingkungan hidup untuk terciptanya keseimbangan antara usaha manusia terhadap lingkungannya sesuai dengan konsep Tri Hita Karana sekaligus agar bisa menghindari kemungkinan terburuk yang pernah kita bayangkan yaitu tenggelamnya Pulau Bali tercinta kita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar