Minggu, 29 Mei 2011

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
BAHAN KULIAH 1
1. istilah hukum perdata internasional
Banyak pandangan sarjana yang mempersalahkan istilah hukum perdata internasional menurut Sudargo Gautama, kenyataannya kita tetap masih memakai istilah HPI, istilah tersebut sudah dianggap umum dan lebih praktis. Keberatan-keberatan diantaranya keberatan terhadap istilah hukum mperdata internasional jangan diartikan law of nations (hukum antar Negara) internasional harus kita artikan: ada unsure luar negerinya/unsure asingnya (foreign element).
Ada perkataan lain: yakni penggabungan dari: istilah perdata dan internasional yang internasional ialah: hubungan-hubungannya.
Contoh: orang Indonesia mengadakan kontrak dengan orang asing. Orang Indonesia kawin dengan orang Indonesia, perkawinannya disyahkan di Australia dan seterusnya.
Hal-hal ini adalah hubungan sehari-hari atau hubungan-hubungan perdata tetapi hubungan-hubungan tersebut bersifat internasional.
Ada istilah Conflict of Laws (hukum perselisihan) atau hukum pertikaian. (conflicten recht) istilah ini sebaiknya tidak digunakan lagi, sebaiknya diganti dengan istilah: Hukum Antar Tata Hukum (HATAH). Istilah tata hukum seolah-olah memberi kesan adanya Tata Hukum diantara sistem-sistem hukum yang bertemu.
Istilah HATAH ada : HATAH intern dan HATAH ekstern.
HATAH intern:
Antara lain: hukum antar agama, hukum antar waktu, hukum antar tempat, hukum antar golongan
HATAH ekstern:
Hukum Perdata Internasional
Evaluasi: kerjakanlah dirumah tentang istilah-istilah hukum perdata internasional dari pendapat-pendapat sarjana yang saudara baca.
2. Pengertian Hukum Perdata Internasional
(Quasi Internasional Privaatrecht) Menurut Prof. Graveson : Conflict of Laws atau HPI adalah: bidan ghukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain. Baik karena aspek territorial, aspek subyek hukumnya dan menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri/hukum lain (asing) atau masalah pelaksanaan Yurisdiksi pengadilan sendiri/atau badan Pengadilan Asing.
Menurut Prof. Brakel dalam bukunya “Grondslagen en Begensellen van NEderlands Internasional Privaatrecht”
Hukum Perdata Internasional ialah: hukum nasional yang dibuat untuk hubungan-hubungan hukum internasional.
Menurut Sudargo Gautama HPI ialah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel atau kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal menurut Prof. Sunariyati Hartono HPI adalah : mengatur setiap peristiwa/hubungan hukum yan gmengandung unsure asing baik dibidang hukum yang masalah-masalah politik maupun privat. Karen ainti dari HPI adalah pergaulan hidup masyarakat internasional maka HPI sebenarnya ialah dapat disebut sebagai hukum pergaulan internasional.
Dari pengertian-pengertian di atas, pengertian yang luas/modern dalam arti luas: adalah sebagai bidan ghukum yang masalah-masalahny7ya tidak saja terbatas pada persoalan-persoalan di bidan ghukum keperdataan saja, tetapi juga mencakup persoalan-persoalan hukum yang timbul sebagai akibat dari berinteraksinya pelbagai bidna ghukum (pidana, administrasi Negara, hukum ekonomi, bahkan hukum internasional public) di dalam persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat, sebagai akibat dari interaksi sosial yang semakin mengaburkan batas-batas territorial Negara-negara.
Menurut Bayu Seto Hardjowahono: Hukum perdata internasional adalah “seperangkat kaidah-kaidah, asas-asas dan atau aturan –aturan hukum nasional yang dibuat unutk mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsure-unsur transnasional (atau unsure-unsur ekstraterritorial).
HPI selalu mengandung unsure-unsur nasional dan trans nasional dan masalah-masalah pokok yang dihadapinya (subyect metter) selalu bersifat trans nasional.
Persoalan-persoalan /kasus-kasus HPI:
- Muncul dalam perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu Yurisdiksi hukum dan hukum intern dari yurisdiksi-yurisdiksi itu berbeda satu sama lain.
- HPI sebagai proses dan aturan-aturan yang digunakan oleh Pengadilan untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan pada perkara yang dihadapi.
- Terdapat berbagai metode, dan cara pendekatan yang digunakan untuk menjawab persoalan walaupun banyak sistem hukum di dunia yang berpegang pada teori HPI tradisional.
Pandangan-pandangan Ruang Lingkup HPI.
1. HPI = Recht toe passings recht.
Istilah HPI/Hukum perselisihan hanya terbatas pada hukum yang akan diperlakukan.
2. HPI = Choice of law + Choice of Yurisdiksion.
Hukum mana yang berlaku, hakim mana yang berwenang (persoalan tentang kompetensi, wewenang hakim)
3. HPI = Choice of law + Choice of Yurisdiksion + Condition des etrangers (masalah tentang status orang asing)
4. HPI = Choice of law + Choice of Yurisdiksion + Condition des etrangers + Nationalitet.
(masalah-masalah tentang Kewarganegaraan)
Contoh-contoh perkara HPI
1. Achmad (WNI) melakukan transaksi jual beli dengan seorang asing (WNA) di Surabaya. Kemudian timbul sengketa Achmad menggugat orang Asing tersebut di Pengadilan Negeri Surabaya.
Jawabnya orang asing tersebut transaksi tersebut tidak syah karena ia bellum dewasa ketika membuat perjanjian tersebut. Jadi ia belum ccukup menurut hukumnya sendiri, karena menurut hukumnya : 23 th baru cakap. Persoalan timbul: Hukum apa yang dapat diterapkan untuk menilai wenang/tidaknya orang asing tersebut.
Hukumnya Si-Achmad (hukum Indonesia)
Atau: hukum orang asing, jika ini meruoakan pelaku internasional karen aada unsure asing di dalamnya (Poreign Elements)
2. Achmnad pergi berobat ke Jerman Barat disana ia membuat surat wasiat (testament). Apakah ia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan BW Jerman tentang pembuatan surat wasiat atau ketentuan-ketentuan BW Indonesia hukum yang diperlakukan inipun merupakan perkara internasional unsure asing disini ialah tempat dilakukannya tindakan, yaitu: pembuatan surat wasiat.
3. Bursa efek yang terdapat di Paris ditawarkan di Bursa Jakarta. Menurut hukum Perancis hak milik serta resiko segera beralih kepada pembeli, setelah ada kata sepakat. Sedang BW Indonesia pasal 1459 hak milik beralih setelah levering (penyerahan).
4. Sesama WN Indonesia yang berda di Jepang dan ingin melangsungkan perkawinan di Jepang. Hukum mana yang berlaku, hukum Indonesia atau hukum Jepang. Walaupun keduanya WNI terdapat unsure asing (Poreign Elements) yaitu: tempat dilangsungkannya perkawinan.
3. sejarah hukum perdata internasional
A. Pendahuluan
HPI adalah bidang hukum yang terus berkembang (dinamis) sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Pola berpikir HPI adalah dijumpai pada zaman kekaisaran Romawi (abad ke 2-6 SM).
Pendekatan-pendekatan dalam HPI
a. Pendekatan berdasarkan tujuan HPI
- HPI bertujuan dalam mewujudkan keadilan dalam perselisihan hukum (conflict justice)
- HPI bertujuan mewujudkan keadilan substansial dalam setiap perkara.
HPI bertujuan untuk menghimpun teori-teori mengenai keseragaman pola-pola penyelesaian perkara-perkara HPI berdasarkan hukum apa perkara dapat diselesaikan. Tujuan untuk mengembangkan asas-asas HPI yang tetap dan kaku, yang dapat diterapkan terhadap perkara yang sejenis.
Menawarkan teori-teori tentang metode yang harus digunakan untuk menetapkan aturan hukum substansial diantaranya aturan-aturan hukum yang berhadapan dalam perkara-perkara tertentu yang lebih relevan untuk dapat diperlakukan.
b. Pendekatan berdasarkan atas hasil yang dicapai dari proses HPI
- pendekatan HPI yang berfungsi menetapkan sistem hukum yang seharunya berlaku atas semua persoalan hukum yang dapat timbul dari perkara HPI
- pendekatan HPI yang berfungsi memilih dan menetapkan aturan hukum local yang harus diperlakukan atas masalah hukum m yang sulit dari masalah HPI
c. Pendekatan berdasarkan atas Metodelogi penetapan hukum yang berkembang antara lain:
- pendekatan LEX FORI (pengadilan sendirilah yang memberlakukan hukumnya sendiri untuk memutus perkara)
- pendekatan multilateralism
Pengadilan harus bersikap netral, dnegan menetapkan terlebih dahulu kedudukan dari hubungan-hubungan hukum dengan bantuan titik-titik taut. Apabila tempat kedudukan tersebut telah ditetapkan, hukum dari tempat itulah yang harus dipergunakan (Pendekatan Yurisdikti selecting)
- pendekatan unilateralism
forum harus menentukan aturan yang relevan (baik lex fori/hukum asing) yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan tertentu. Sejauh mana hukum sendiri dapat diperlakukan dengan alasan-alasan apa yang menjadi dasar pembenar untuk mengenyampingkan lex fori memperlakukan hukum asing.
- Pendekatan hukum substansial
- Cenderung dalam menyelesaikan persoalan-persoalan HPI dengan asas-asas dan aturan-aturan hukum (hukum materiil) yang diterima,, diakui dunia internasional.
- Pendekatan efektif
Menurut Prof. Juenger: adaah kecenderungan untuk mengakomodir semua pendekatan yang berbeda dalam penerapan hukum/penyelesaian perkara.
Secara kasuistik: elemen-elemen yang diunggulkan dari pendekatan-pendekatan yang ada untuk menetapkan hal/aturan hukum yang akan diperlakukan tergantung pertimbangan-pertimbangan yang khas dari perkara-perkara tersebut.
B. Masa Kekaisaran Romawi (abad 2-6 sesudah masehi)
Masa ini adalah awal perkembangan HPI pada masa ini Nampak antara lain:
1. warga (Cives) Romawi dengan penduduk-penduduk provinsi atau Municifia (untuk wilayah Italia kecuali Roma). Penduduk asli provinsi-provinsi ini diangap sebagai orang asing dan tundukkan pada hukum mereka sendiri.
2. Penduduk provinsi/orang asing yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah kekaisaran Romawi.
Asas-asas HPI yang tumbuh dan berkembang pada masa/asas/penting dalam HPI Moder antara lain:
1. asas Lex Rei Sitae (Lex Situs)
- perkara yang menyangkut benda tidak bergerak yaitu tunduk pada hukum letak benda tersebut. Pada dewasa ini kaena mobilitas benda-benda tertentu yang modern ini dianggap benda bergerak sehingga benda-benda tersebut mendasarkan pada hukum personel dari orang atau subyek-subyek hukum yang menguasai benda tersebut.
2. asas Domisili
- status diukur dari tempat kediaman tetap. Sebelum dikaitkan dengan: Kewarganegaraan seseorng atau dari orang tua, adopsi, atau domisili: Komunitas yang dipilih seseorang sebagai tempat kediaman. Dalam perkembangannya timbul saingan antara domisili dengan asas kewarganegaraan.
3. asas Lex Loci Contractus
-asas yang menunjuk pada tempat pembuatan perjanjian, dengan berkembangnya komunitas, teknologi tempat pembuatan kontrak tidak relevan, sehingga asas dalam HPI menjadi berkembang ke asas Lex Loci Solotionis ( kea rah hukum tempat pelaksanan kontrak).
C. Masa Pertumbuhan Asas Personal HPI ( abad ke 6-10)
Akhir abad 6 kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh Bangsa Barbar. Wilayah bekas jajahan Romawi diduduki oleh pelbagai suku bangsa satu sama lain dibedakan oleh: Geneologis suku-suku bangsa tersebut memperlakukan Hukum Adat, Hukum Personal, Hukum Keluarga, Hukum Agama.
Apabila timbul masalah-masalah HPI, terlebih dahulu ditetapkan sistem-sistem hukum Adat, barulah kemudian ditetapkan sistem hukum mana yang diberlakukan dalam penyelesaian sengketa.
Timbul asas-asas HPI dari/atau dasar asas geneologis
1. asas umum yang menetapkan bahwa dalam penyelesaian sengketa, hukum yang digunakan ialah: Hukum Tergugat, dalam Hukum Acara Perdata dikenal dengan: “Aq Tuur Sequituur Porum Rei”.
2. Kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang berdasarkan hukum personal seseorang.
3. proses pewarisan dari hukum personal dari pihak pewaris.
4. peralihan hak milik harus dilaksanakan sesuai hukum personal.
5. kasus-kasus perbuatan melanggar hukum sesuai kasus-kasus personal.
6. perkawinan dari hukum sang suami.
BAHAN KULIAH 2
1. titik pertalian
titik-titik pertalian adalah bagian penting dari HATAH. Oleh karena titik-titik pertalian ini dapat memberikan petunjuk kita menghadapi masalah HATAH (HPI). Titik pertalian ini kita sebut dengan titik pertalian primer (titik pertalian pembeda, bahwa persoalan ini adala hpersoalan hukum nasional atau hukum perdata interansional). Setelah diketahui persoalan tersebut adalah persoalan HPI. Kita kenal titik taut penentu yaitu titik taut yang menentukan hukum apa yang berlaku (titik pertalian sekunder).
Jenis-jenis titik taut yang umumnya dianggap menentukan dalam HPI antara lain:
a. tempa penerbitan izin berlayar sebuah kapal (bendera kapal) kewarganegaraan para pihak.
b. domisili, tempat tinggal tetap, tempat asal orang, atau badan hukum.
c. tempa benda terletak (situs)
d. tempat dilakukannya perbuatan hukum (locus actus)
e. tempat timbulnya akibat perbuatan hukum/tempat pelaksanaan kontrak (perjanjian) atau locus solutionis.
f. tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi (locus selebrationis).
g. tempat gugatan diajukan/tempat pengadilan (lex fori).
2. titk taut primer untuk: hukum antar golongan
- titik pertalian primer untuk : H.A.G. adalah rakyat
pasal 163.IS. (Indische Staats Regeling)
1. Golongan Eropa
2. Golongan TImur Asing
3. Golongan Bumi Putra
Pasal 131.IS.
1. Golongan Eropa berlaku BW. (KUH.Pdt).
2. Golongan TImur Asing (Cina, Arab, dll berlaku hukum adatnya)
3. Golongan Bumi Putra (Penduduk Indonesia asli berlaku hukum adat Indonesia).
- Titik taut primer untuk HPI
Yaitu kewarganegaraan, yang menyebabkan timbulnya persoalan HPI. Contoh: seorang WNI melakukan jual beli dengan orang Jepang terjadilah persoalan HPI. Apakah berlaku WNI atau hukum Warga Negara Jepang.
- Bendera kapal untuk HPI
Contoh: sebuah kapal yang berbendera Panam, para penumpangnya adalah Indonesia Bendera kapal adalah seperti kewarganegaraan orang biasa.
Tanah sebagai titik pertalian untuk Hukum Antar Golongan : tanah adat.
Tanah mempunyai status hukum sendiri
Tanah menurut UU Pokok Agraria.
- Domisili, dapat menentukan factor yang menimbulkan persoalan HPI
Contoh: seorang warga Negara inggris, berdomisili di Indonesia melangsungkan perkawinan dengan warga Negara inggris berdomisili di Malaysia. Perkawinannya dilangsngkan di Indonesia. Oleh kedua warga Negara inggris tersebut kawin di Indonesia timbullah masalah HPi karena domisili itu unsure asing. Menurut hukum inggris, oleh karen aperkawinan di Indonesia tunduk pada hukum dari domisili yaitu: Indonesia.
Catatan:
 Domisili inggris aneh, tidak begitu mudah orang berubah-ubah, artinya sehari-hari di indoneisa (misalnya Jakarta tidak ada pikiran untuk kembali ke Inggris) ada kekhawatiran bagi orang inggris yang kaya (banyak punya harta). Orang inggris selalu khawatir hukum apa yang akan ebrlaku karen atidak mau setelah meninggal akan berlaku hukum Indonesia (Jakarta). Jalan keluar belilah sebidang tanah kuburan di inggris dan tempelkan namamu di kuburan ini sebagai bukti bahwa inggris benar-benar akan kembali ke Inggris sehingga aka nada kepastian hukum. Setelah meninggal hukum inggrislah yang akna berlaku terhadap harta mereka.
 Tempat kediaman, contoh: 2 oran gmalaysia berkediaman di Indonesia, tapi mereka tidak berubah domisili, tidak harus menetap tapi sementara di Indonesia, seandainya 2 orang Malaysia tersebut ingin menikah hukum apa yang dapat dipakai. Persoalan ini adalah persoalan HPI (tempat dilangsungkan perkawinan).
 Hubungan antara titik pertalian primer dengan titik pertalian sekunder.
Titik pertalian primer adalah factor-faktor dan keadaan yang menimbulkan, menciptakan suatu hubungan HATAH, setelah diketahui persoalan tersebut adalah HATAH, barulah mencari titik pertalian sekunder yaitu: factor-faktor/keadaan-keadaan berlakunya sistem hukum tertentu (hukum apa yang akan diperlakukan terhadap hubungan tersebut).

- Pilihan hukum
Dalam hukum kontrak mengedepankan maksud para pihak (boedeling van partijen) factor yang menentukan hukum apa yang berlaku. Pilihan hukum merupakan titik pertalian sekunder.
Contoh:
• Orang pribumi dan eropa menentukan dalam kontrak hukum BW yang berlaku
• Dalam hukum perjanjian adalah dihormati oleh yurisprudensi dan Undang-undang
• Dalam hukum perjanjian apa yang dikehendaki oleh para pihak.
Pilihan hukum dibedakan atas pilihan hukum secara tegas dan diam (fiktif)
Contoh: pilihan tidak tegas (fiktif)
Keputusan PN Jakarta Tahun 1956
Kasus 2 orang pribumi Abdul Murad dan D.M. Hutabarat. Hukum yang lazim dipakai dalam transaksi-transaksi di ibu kota yaitu BW/dikuasai oleh suasana hukum yang ada dalam masyarakat tersebut.
- Tempat letaknya benda (situs)
Situs menentukan hukum yang berlaku (lex Rei Sitae). Untuk bend atetap berlaku dimana benda itu terletak.
Contoh: hukum yan gberlaku terhadap benda bergerak seperti dalam kasus: tembakau, Bremen.
- Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum
Tempat dimana perbuatan hukum dilangsungkan/dibuat (Lex Loci Actus, Lex Loci Contractus)
Contoh: seorang WNI membuat kontrak di Jakarta dengan perusahaan Jepang.
NB: tempat dimana kontrak dilangsungkan ada;ah menentukan phukum yang berlaku.
Contoh yurisprudensi:
Perjanjian pinjam uang yang dibuat di Tiongkok, dipakai hukum Tiongkok karena perjanjian dibuat di tiongkok. (Putusan Raad Van Justitie Jawa Belanda, PN Indonesia. 1926). Dari kasus ini: maksud para pihak ialah hukum Tiongkok.
Catatan: untuk Lex Loci Contractus sukar untuk ditentukan/dipakai, karena perdagangan tidak semata-mata di bursa tapi dengan alat-alat komunikasi modern, telpon, dllnya.
- Tempat dilaksanakannya perjanjian
Berkenaan dengan pertalian sekumder Lex Loci Contractus, orang memakai pula dimana harus dilaksanakan sesuatu kontrak sebagai hukum yang harus dilakukan.
Contoh:
1. Seorang WNI mengadakan kontrak pemborongan dengan kontraktor asing tentang Pembangunan Hotel di Jakarta. Hukum Indonesia yang akan dipakai jika para pihak tidak menentukan lain, karena Hotel ada di Jakarta.
2. Dalam kontrak kerja, missal: warga Negara Jerman dan kontrak dibuat dalam bahasa Jerman, hukum Indonesia yang berlaku karena kontrak kerja di Indonesia.
- Tempat terjadinya ONRECHT MATIGE DAAD (Perbuatan Melanggar Hukum).
Dimana perbuatan melanggar hukum itu dilakukan (Lex Loci delictie)
Lex Locus Delictie Commisi tidak perlu terlalu kaku, kini dipandang perlu perbuatan dan diterima pengaruh suasana hukum sekitar masalah bersangkutan, bisa saja dipakai hukum nasional dari masing-masing para pihak. Misalnya: Indonesia, Jepang, Belanda, dllnya.
- Prinsip kewarganegaraan untuk HPI Indonesia (Pasal 16 AB menentukan bahwa prinsip nasionalitas yang dipakai untuk menentukan status personil).
• Hukum Harta Benda dalam perkawinan
• Hukum Warisan.

TUGAS 1
Yang diatur dalam hukum perdata yang mungkin bisa menimbulkan hukum perdata internasional salah satunya adalah dalam bidang orang, antara lain:
1. Perkawinan
Seorang paman dan saudara sepupu perempuan yang kedua-duanya berkewarganegaraan swiss, tinggal di moskow(rusia) dan mereka menikah disana. Sebelum melangsungkan perkawinan tersebut mereka telah minta penjelasan baik dari instansi rusia maupun dari instansi swiss apakah perkawinan mereka diperbolehkan. Kedua instansi ini baik dari rusia maupun dari swiss, tidak melihat adanya suatu keberatan. Karena menurut HPI rusia, perkawinan harus dilangsungkan menurut hokum rusia (rusia menganut prinsip territorial. Jadi berlaku lex loci celebrations). Sedangkan menurut ketentuan HPI (ekstern) swiss, perkawinan ini dilangsungkan menurut hokum rusia (bahwa suatu perkawinan yang dilakukan di luar negri menurut hokum yang berlaku disana dianggap sah menurt hukum swiss. Menurut hokum intern swiss perkawinan antara seorang paman dan saudara sepupu perempuan dilarang, apabila dilangsungkan di Negara swiss, tetapi Karena perkawinannya dilangsungkan di rusia, maka perkawinan tidak dilarang. Dengan demikian akan berlaku hokum rusia yang tidak mengenal larangan perkawinan antara paman dengan saudara sepupunya Ini , maka perkawinan yang bersangkutan baik menurut hk rusia maupun menurut HPI rusia dan HPI swiss sah adanya
Sumber
Kusumaatmadja, Mochtar.1990. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta.
Starke, J.G. 2001. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
http://giesbluesky.blogspot.com/2010/09/resume-hukum-perdata-internasional.html

2. Perceraian,
Seorang (WNI) menikah dengan WNA Prancis di Jepang. Mereka berdua beragama Kristen Katolik, tetapi mereka tidak melangsungkan perkawinan menurut hukum agama (pernikahan di gereja). Perkawinan ini telah didaftarkan di kedutaan besar masing-masing di Jepang. Mereka masih akan berdomisili di Jepang dalam minimal 1-2 tahun mendatang. Setelahnya, mereka masih belum memutuskan, tetapi mereka sepakat bahwa anak di kemudian hari akan dilahirkan dan dibesarkan di Prancis. Keuntungan melaporkan perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri di Indonesia baru terasa kelak apabila ingin bercerai. Jika perkawinan anda sah dan telah dilaporkan, pengadilan Indonesia akan tanpa ragu menerima permohonan cerai. Jika tidak dilaporkan, ada kemungkinan Pengadilan Indonesia menyatakan tidak berwenang terhadap permohonan cerai, sehingga untuk melaksanakan perceraian digunakan hukum jepang.
Sumber:
http://oktaglory.blogspot.com/2009/01/hukum-perdata-internasional.html.

3. Akta perkawinan
Bagi perkawinan campuran antara WNI dan WN Prancis yang dilangsungkan di Jepang, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan mereka belum diakui oleh hukum Indonesia karena sekaligus belum mempunyai akta perkawinan yang sah dari Indonesia. Untuk memeprolehnya, surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal WNI di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).
Sumber
http://www.scribd.com/doc/26930342/Hukum-Perdata-Tugas-Pak-Sinaga.

4. Catatan sipil
Perkawinan WNI dan WN Perancis yang dilangsungkan di Jepang berlaku Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara di mana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini hukum Jepang. Hukum Perkawinan Jepang, lewat Horei Law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan anda secara formal telah sah. Tapi pelaksanaan Pasal 56 harus didahului pelaksanaan Pasal 60 UU 1/1974 yang menyatakan setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan UU 1/1974. Setelah sah berdasarkan hukum agama barulah muncul keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil. Kedutaan besar bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil yang harus didatangi adalah Catatan Sipil Jepang, bukan Catatan Sipil Indonesia. Akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil Jepang berlaku universal, tapi agar dapat memiliki akibat hukum di Indonesia, perkawinannya harus didaftarkan ke buku pendaftaran di Perwakilan RI dan dilaporkan ke Catatan Sipil Indonesia, yaitu di wilayah asal WNI tersebut (misalnya: Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, Bogor, atau Bekasi). Pelaporan perkawinan biasanya dilakukan dalam jangka setahun setelah pasangan kembali ke Indonesia ke daerah asal WNI. Untuk melaporkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Jakarta menurut Pasal 72 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2005 diperlukan dokumen-dokumen bukti pengesahan perkawinan di luar Indonesia, kutipan akta kelahiran, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, kutipan akta perceraian atau kutipan akta kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin, paspor kedua mempelai, dan pas foto berdampingan ukuran 4x6 cm empat lembar.
Sumber
– Tempo. 28 Oktober 2006. http:Tempointeraktif.com/ Pasca UU No.12/2006, Bagaimana Nasib Perkawinan Campuran? Hal 1. Diakses 31 Oktober 2006.
http://www.scribd.com/doc/26930342/Hukum-Perdata-Tugas-Pak-Sinaga

5. Akta Kematian
Seorang pria WNI, meninggal akibat kecelakaan di Amerika Serikat. Akte kematian (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil setempat (Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 jis. Staatblad 1849 Nomor 25, Staatblad 1917 Nomor 130, Staatblad 1920 Nomor 751, Staatblad 1933 Nomor 75) atau sertifikat kematian (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) dari Instansi yang berwenang setempat, apabila almarhum/almarhumah meninggal dunia di luar negeri.
Sumber
http://herman-notary.blogspot.com/2009/10/tata-cara-permohonan-surat keterangan.html.

6. Akta Kelahiran
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara Perancis dengan pria warganegara Indonesia di Perancis (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, akta kelahirannya berkewarganegaraan Perancis. Berdasar pasal 16 AB Indonesia menganut prinsip nasionalitas . Hal ini berarti bahwa WNI yang berada di luar negeri sepanjang terkait dengan status personalnya tetap berada di bawah hukum Indonesia. Kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Sumber
http://panmohamadfaiz.com/category/perkawinan/

7. Domisili
Domisili/ tempat kejadian, dapat merupakan faktor yang menimbulkan persoalan HPI. Contoh: warga negara inggris (a) berdomisili di negara x, menikah dengan warga negara Inggris (b) berdomisili di negara y, karena domisilinya berbeda maka menimbulkan masalah HPI
Apabila ada suatu perhubungan hukum perdata antara dua orang asing dari suatu Negara asing misalnya Dua orang WN Inggris yg berdomisili di Indonesia menikah.Negara India yang dua-duanya berdiam di Indonesia, atau antara dua orang warganegara Indonesia yang dua-duanya berdiam di Negara India, maka timbul pertanyaan: hukum perdata manakah yang berlaku, hukum perdata indonesiakah atau hukum perdata indiakah?
Jawaban atas pertanyaan ini di pelbagai Negara di dunia pada waktu sekarang adalah tidak sama, melainkan bermaam dua. Ada suatu golongan Negara yang mengambil sebagai ukuran untuk jawaban itu ialah tempat pendiaman (domisili) seperti: AS, Denmark, Inggris, dll, maka menganggap hukum perdata dari Negara tempat pendiaman sebagai hukum yang berlaku, sedang golongan Negara ke-2 mengambil sebagai ukuran kewarganegaraan orang-orang yang bersangkutan dan menganggap berlaku hukum perdata dari Negara yang orang-orang itu menjadi warganegaranya.
Sumber
Prodjodikoro, R. Wirjono, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, Sumur Bandung, Jakarta,1999.
http://giesbluesky.blogspot.com/2010/09/resume-hukum-perdata-internasional.html
Apabila seorang warga inggris yang berdomisili di Indonesia harus ditentukan apakah ia sudah dewasa atau belum, atau dia hendak menikah, maka menurut HPI Indonesia berdasarkan pasal 16 AB harus dipakai hokum Inggris. Dengan kata lain perkataan kaidah HPI Indonesia menunjuk kepada hokum Inggris dan hokum inggris menunjuk kembalikepada hokum Indonesia ,karena menurut HPI inggris yang harus dipakai untuk status personil yaitu domisili dari seseorang. Dalam hal ini domisili orang inggris bersangkutan adalah di Indonesia, maka hokum Indonesialah yang harus diberlakukan
Sumber
http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/17/hukum-perdata-internasional-renvoi/.
TUGAS 2
Kasus Status Perkawinan Internasional dan Perjanjian Perkawinan
Seorang WNI menikah dengan warga negara Prancis di Jepang. Mereka beragama Kristen Katolik, tetapi tidak melangsungkan perkawinan menurut hukum agama (pernikahan di gereja). Perkawinan ini telah didaftarkan di kedutaan besar masing-masing di Jepang. Mereka masih akan berdomisili di Jepang minimal satu hingga tahun mendatang. Setelahnya, mereka belum memutuskan, tetapi mereka sepakat anak di kemudian hari akan dilahirkan dan dibesarkan di Prancis.

Pertanyaan
a. Hukum apa yang akan diberlakukan bagi mereka sebagai pelaku dari perkawinan campuran?
b. Bagaimana status anak mereka, apakah berkewarganegaraan Indonesia, Perancis ataukah Jepang?

a. Analisis
Sejak diberlakukannya UU 1/1974, perkawinan beda agama dilarang, tapi perkawinan antar-warga negara Indonesia dengan warga negara asing selama memenuhi syarat-syarat hukum Indonesia boleh dilakukan berdasarkan Pasal 57-62 UU 1/1974. Perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri berlaku Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara di mana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini hukum Jepang. Hukum Perkawinan Jepang, lewat Horei Law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan anda secara formal telah sah. Tapi pelaksanaan Pasal 56 harus didahului pelaksanaan Pasal 60 UU 1/1974 yang menyatakan setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan UU 1/1974. Setelah sah berdasarkan hukum agama barulah muncul keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil. Kedutaan besar bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil yang harus didatangi adalah Catatan Sipil Jepang, bukan Catatan Sipil Indonesia. Akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil Jepang berlaku universal, tapi agar dapat memiliki akibat hukum di Indonesia, perkawinannya harus didaftarkan ke buku pendaftaran di Perwakilan RI dan dilaporkan ke Catatan Sipil Indonesia, yaitu di wilayah asal WNI tersebut (misalnya: Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, Bogor, atau Bekasi). Pelaporan perkawinan biasanya dilakukan dalam jangka setahun setelah pasangan kembali ke Indonesia ke daerah asal WNI. Untuk melaporkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Jakarta menurut Pasal 72 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2005 diperlukan dokumen-dokumen bukti pengesahan perkawinan di luar Indonesia, kutipan akta kelahiran, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, kutipan akta perceraian atau kutipan akta kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin, paspor kedua mempelai, dan pas foto berdampingan ukuran 4x6 cm empat lembar. Terhadap anak, pelaporan perkawinan juga diperlukan sehingga status dwi kewarganegaraannya diketahui. Lalu dengan diketahuinya status dwikewarganegaraan, seorang anak nanti dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan WNI lainnya seperti memiliki tanah. Jika status WNI-nya tidak diketahui, ia nantinya akan kesulitan untuk menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut tanah atau apa pun yang dibatasi untuk orang asing. Pasal 1395 Code Civil Prancis kurang lebih juga menyatakan perjanjian kawin hanya boleh dilakukan sebelum perkawinan terjadi. Selain itu, secara umum, Code Civil Prancis mengatur perjanjian kawin sebagai hukum yang berlaku atas harta perkawinan, bukan atas hukum atau cara mendidik anak. Secara internasional, Prancis juga tunduk pada the Hague Convention on the Law Applicable to Matrimonial Property Regimes. Pasal 3 Konvensi di atas juga dengan tegas menyatakan perjanjian perkawinan harus dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum menikah maka atas harta kekayaan mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat tinggal tetap mempelai setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak terkait.




b. Analisa Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori Hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negaranegara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis. Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No.62 tahun 1958. Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

c. Analisa Menurut Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraanumum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang tersebut pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia memiliki sistem Hukum Perdata Internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam yurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur. Bila dikaji dari segi Hukum Perdata Internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya. Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini.
TUGAS 3
Kasus:
A warga Negara Belanda berdomisili di Jalan Batanghari No. 12 Denpasar ingin melangsungkan pernikahan dengan B, Warga Negara Indonesia. Sama-sama berdomisili di Jalan Batanghari No. 12 Denpasar. Hukum apakah yang dapat diterapkan dalam pengesahan perkawinan tersebut seandainya A warga Negara Belanda ingin bercerai dengan B yang berkewarganegaraan Indonesia, bagaimanakah penyelesaiannya? Dan bagaimana bila kasus tersebut dihubungkan dengan konsekuensi yuridis, seperti:
a. sah perkawinan
b. cerai perkawinan
c. izin perkawinan
d. status anak
e. harta benda
f. sistem kekerabatan

Penyelesaian:
a. Sah Perkawinan
Titik taut primer adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan PN Denpasar perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya yaitu satu pihak berkewarganegaraan Belanda.
Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukummana yang harus diberlakukan Hukum yang diterapkan dalam pengesahan perkawinan tersebut adalah hukum Indonesia, karena mereka menikah di Denpasar (sesuai dengan asas domisili) yaitu sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing (UU No. 1 Tahun 1974). Dalam pasal 56, yaitu asas Lex Loci Celebrationis, artinya perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum Negara dimana perkawinan berlangsung. Berdasarkan pasal 60 bahwa setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan. Setelah perkawinan sah, dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan dikeluarkan akte yang berlaku universal, tapi agar memiliki akibat hukum harus didaftarkan ke buku pendaftaran di Perwakilan Belanda dan dilaporkan ke catatan sipil Belanda.

b. Cerai Perkawinan
Titik taut primer adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan PN Denpasar perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya yaitu pihak penggugat berkewarganegaraan Belanda dan tergugat berkewarganegaraan Indonesia.
Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukummana yang harus diberlakukan. Apabila A ingin bercerai dengan B maka dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan dengan terlebih dahulu mencaritahu Pengadilan mana yang berwenang mengadili perkaraperceraiannya. Dalam kasus ini, apabila pihak-pihak tidak beragama islam dapat mengajukan ke Pengadilan Negeri Denpasar, yakni sesuai dengan wilayah tempat tinggal tergugat. Setelah putusan cerai dibacakan hakim maka saat itu belumlah sah secara hukum. Penggugat harus menunggu 14 hari dihitung sejak dibacakannya putusan kepada para pihak, maka barulah status cerai dianggap sah (berkekuatan hukum) jika dalam 14 hari hari itu si tergugat tidak mengajukan keberatan (banding).

c. Izin Perkawinan
Seorang warga Belanda tersebut dianggap telah dewasa menurut hukum Belanda dan WNI juga harus sudah dinyatakan dewasa yakni termuat dalam Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Penafsiran terhadap pasal 1330 KUHPerdata secara argumentum a contrario maka anak yang dianggap sudah dewasa adalah mereka yang sudah genap berumur 21 tahun, mereka yang sudah kawin sebelum berusia 21 tahun dan mereka yang sudah cerai sebelum berumur 21 tahun.


d. Status Anak
Anak-anak yg belum dewasa, mengikuti domisili Bapak/Ibunya. Menurut teori Hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Berdasarkan Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia memiliki sistem Hukum Perdata Internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

e. Harta Kekayaan/waris
Dalam hal ini akan diberlakukan asas Lex Rei Sitae ( Lex Situs ): hukum yang berlaku atas suatu benda adalah hukum dari tempat dimana benda itu terletak atau berada → bisa benda bergerak, berwujud, atau tak berwujud.
Maka, anak dari hasil perkawinan mereka dapat diberlakukan hukum waris sesuai dengan domisilinya yaitu dalam hal ini mereka berdomisili di Indonesia maka hukum waris yang berlaku adalah hukum waris Indonesia yang memberlakukan KUHPerdata. Yurisprudensi doctrine di Belanda sekarang ini pada umumnya mempergunakan “hukum nasional si pewaris” untuk soal-soal warisan, bukan berdasarkan Undang-undang tetapi kaidah HPI tidak tertulis. Sedangkan menurut HPI Indonesia warisan juga diatur menurut hukum nasional si pewaris. Seorang warganegara Belanda telah meninggal di Indonesia dan meninggalkan harta benda, maka persoalan warisannya harus diselesaikan menurut hukum Belanda. Namun karena perkawinan mereka telah sah di Indonesia dan telah didaftarkan di Belanda maka si istri dan si anak berhak mendapatkan warisan warga Belanda tersebut. Dalam contoh ini persoalan warisan adalah persoalan pokok. persoalan mengenai status sang perempuan ini harus terlebih dahulu diselesaikan sebelum dapat diambil keputusan dalam perkara warisan bersangkutan. Hak-hak yang diperoleh datap dijabarkan seperti ini, Hukum yang baru pada umumnya tidak mempunyai kekuatan berlaku surut. Dirasakan perlu untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak yang telah diperoleh.



f. Sistem Kekerabatan
Pernikahan mereka dilangsungkan di Denpasar maka sistem kekerabatan mereka sesuai dengan Hukum Adat Bali yaitu menggunakan sistem kekerabatan patrilineal bahwa garis keturunan anaknya mengikuti garis keturunan ayahnya.


PENUNJUKKAN KEMBALI (RENVOI) DALAM HPI
A. Definisi dan Konsep
Konsepsi renvoi sesungguhnya merupakan penyimpangan terhadap suatu alur pikir dalam HPI yang selalu diarahkan untuk menetapkan sistem hukum yang diberlakukan (Lex Causae). Pada prakteknya, pengadilan dapat memutuskan perkara HPI dengan berdasarkan kaidah-kaidah hukum intern lex fori atau sistem hukum lainselain lex causae apabila diyakini mampu memberikan putusan yang lebih baik dan adil. Secara umum renvoi adalah penunjukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPI Lex Fori.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya apa yang dimaksud dengan penunjukan kembali kea rah sistem hukum asing itu? Terdapat dua pengertian yang berbeda yaitu:
1. penunjukan kea rah kaidah-kaidah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu.
2. penunjukan kea rah keseluruhan sistem hukum tertentu, yang meliputi pula kaidah-kaidah HPI dari sistem hukum tersebut. Penunjukan semacam ini dinamakan gesamtverweisung.
B. Jenis-Jenis Renvoi
1. remission, yaitu penunjukan balik dari hukum yang seharusnya berlaku (lex causae) berdasar ketentuan lex fori kepada ketentuan lex fori tersebut. Renvoi akan timbul bilamana hukum asing yang ditunjuk lex fori menunjuk kembali kepada lex fori tadi.
2. transmission, yaitu proses renvoi oleh kaidah HPI asing kea rah suatu sistem hukum asing lain.
C. Foreign Court Theory
Jika renvoi lebih banyak berkembang di Eropa Kontinenetal, dalam sistem hukum Inggris dikenal pula sejenis renvoi yang diberi nama the Foreign Court Theory (FCT). Pengadilan Inggris pada dasarnya menolak pelaksanaan doktrin (single) renvoi dalam penyelesaian perkara-perkara HPI. Namun, dalam beberapa perkara, tampak adanya kebutuhan bagi sistem peradilan HPI Inggris untuk mengesampingkan berlakunya lex causae dengan menggunakan pola berpikir yang mirip renvoi.
Ada dua hal yang perlu disadari dalam pelaksanaan doktrin FCT yaitu:
1. Hakim harus menentukan terlebih dahulu sistem hukum atau badan peradilan asing yang seharunya mengadili dan menutus perkara HPI yang dihadapi. Secara tradisional, hal ini dilakukan denganmenggunakan titik-titik laut dan kaidah-kaidah HPI lex fori.
2 . Langkah selanjutnya dalam proses penyelesaian perkara haruslah dilakukan berdasarkan sistem HPI dari “foreign forum” yang ditunjuk itu.
D. Penggunaan Renvoi dalam HPI
Doktrin renvoi tidak dapat digunakan di semua jenis perkara HPI. Terutama dalam perkara-perkara yang bersentuhan dengan transaksi-transaksi bisnis dan setiap tindakan pilihan hukum. Di dalam pasal 15 Konvensi Roma 1980, renvoi tegas-tegas ditolak dalam penyelesaian perkara-perkara HPI dalam bidang kontrak/perjanjian.
Masalah-masalah HPI yang masih dapat diselesaikan dengan doktrin renvoi adalah masalah validitas pewarisan, tuntutan-tuntutan atas benda-benda tetap di Negara asing, perkara-perkara menyangkut benda bergerak dan masalah dalam lapangan hukum keluarga.

PERSOALAN PENDAHULUAN
DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
a. istilah dan pengertian
istilah persoalan pendahuluan diintrodusir dari istilah question preamble dan incidente ou prejudicielle (Prancis), Vvoorvraag (Belanda), vorfrage, inzident frage (Jerman) dan incidental question dan preliminary question (Inggris).
Persoalan pendahuluan merupakan suatu problema hukum HPI dalam sebuah perkara yagn harus dipecahkan dan/atau ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat diterapkan oleh hakim.
Persoalan pendahuluan lahir apabila putusan suatu persoalan hukum bergantung pada ketentuan sah atau tidaknya suatu hubungan atau persoalan hukum lain.
Contoh penerapan persoalan pendahuluan dapat dilihat dari contoh berikut ini:
1. Dalam perkara yang menyangkut perkawinan (Persoalan Pokok), bila salah seorang atau kedua mempelai telah pernah melakukan perkawinan sebelumnya, maka perlu diselidiki dulu apakah perceraian dari pihak yang pernah melakukan perkawinan sebelumnya itu sah atau tidak (Persoalan Pendahuluan).
2. Dalam perkara yang menyangkut pewarisan (persoalan pokok), maka sebelumnya harus ditentukan dulu apakah perkawinan dari si pewaris sah adanya (persoalan pendahuluan).
Terkadang, persoalan pendahuluan kerap terjadi lebih dari satu kali dalam serentetan peristiwa tertentu. Misalnya dalam masalah warisan, persoalan pendahuluannya meliputi tiga tahap:
1. tahap pertama: menentukan terlebih dahulu sah atua tidaknya kedudukan ahli waris atau kedudukan anak.
2. tahap kedua: untuk menentukan sah atau tidaknya kedudukan ahli waris/kedudukan anak, maka terlebih dahulu harus ditentukan apakah perkawinan kedua orang tua tersebut sah adanya.
3. tahap ketiga: bila salah seorang dari kedua orang tua anak itu telah pernah kawin sebelumnya, maka perlu juga ditentukan apakah perceraian dari perkawinan itu sah adanya.
Demikian proses penelusuran fakta-fakta tersebut berlangsung, hingga hakim memandang tidak ditemukan lagi persoalan pendahuluan yang harus ditentukan sebelumnya.
b. Persyaratan persoalan pendahuluan
untuk memutuskan adanya suatu persolana pendahuluan dalam suatu perkara harus memenuhi tiga persyaratan yakni:
1. masalah utama berdasarkan kaidah HPI lex fori seharusnya diatur berdasarkan hukum asing;
Dalam perkara harus ada masalaah pendahuluan atau masalah subside yang menyangkut suatu unsure asing, yang sebenarnya dapat timbul secara terpisah dan dapat diatur oleh kaidah HPI lain secara independen.
c. Alternatif cara penyelesaian persoalan pendahuluan
dalam teori HPI, berkembang tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan.
1. absorption
Setelah hakim memutuskan untuk menggunakan kaidah hukumnya (lex causae), maka terhadap persoalan pendahuluan ditundukkan berdasarkan kaidah hukum (lex causae) yang digunakan tadi. Cara ini lazim dikenal sebagai penyelesaian model lex causae.
Cara penyelesaian persoalan pendahuluan dengan absorption ini lebih banyak digunakan oleh pengadilan-pengadilan di Inggris.
2. repartition
Dengan mengabaikan sistem hukum apaa yang merupakan lex causae untuk menyelesaikan masalah utama, hakim akan menggunakan kaidah HPI lex fori untuk menentukan keabsahan persoalan pendahuluan. Cara semacam ini dikenal sebagai cara penyelesaian berdasarkan lex fori atau repartition. Hakim tidak memperhatikan sistem hukum yang menjadi lex causae untuk menyelesaikan masalah utamanya.
Cara penyelesaian persoalan pendahuluan dengan repartition banyak digunakan oleh pengadilan-pengadilan di Belanda.
3. pendekatan kasuistik
Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex causae untuk persoalan pendahuluan harus dilakukan berdasarkan pendekatan kasuistik, dengan memperhatikan sifat dan hakikat perkara atau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara.
Untuk persoalan hukum HPI menyangkut pewarisan benda-benda bergerak, sebaliknya digunakan cara absorption, sedangkan untuk perbuatan melawan hukum atau kontrak sebaiknya digunakan cara repartition.
KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG TELAH DIPEROLEH
a. Istilah dan Pengertian
pranata ketertiban umum merupakan padanan dari istilah oder publicio (Spanyol), ordre public (Perancis), openbare orde (Belanda), vorbehalt klausel (Jerman), dan public policy (Inggris).
Pemikiran tentang ketertiban umum berpangkal pada asumsi dasar bahwa sebuah pengadilan adalah bagian dari struktur kenegaraan yang berdaulat dank arena itu pengadilan berwenang untuk memberlakukan hukumnya sendiri dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Namun apakah perkara-perkara yang mengandung unsure asing, sejalan dengan kaidah penunjuk di dalam sistem HPI-nya, pengadilan harus selalu memberlakkukan hukum asing yang seharusnya menjadi lex causae di dalam wilayah yurisdiksinya? Jawabannya tidak selalu. Pengadilan atau para pihak dalam perkara mungkin atau berhadapan dengan hal-hal yang dapat menajdi dasar untuk mengesampingkan pemberlakuan hukum asing di wilayahnya.
Prinsipnya, jika pemberlakuan hukum asing dapat menimbulkan pelanggaran atau bertentnagan dengan sendi-sendi pokok hukum setempat (lex fori), maka hukum asing tersebut dapat dikesampingkan atas dasar demi kepentingan umum atau ketertiban umum.
b. Ruang Lingkup
penolakan atau pengesampingan suatu hukum asing yang seharusnya berlaku didasarkan pada tiga alasan:
1. merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan yang mendasar sifatnya;
2. bertentangan dengan konsepsi yang berlaku mengenai kesusilaan yang baik;
3. bertentangan dengan suatu tradisi yang sudah mengakar.
Dalam kondisi-kondisi itulah, maka ketertiban umum dapat menjadi dasar pembenar bagi hakim untuk tidak menerapkan kaidah hukum yan gseharusnya berlaku dan menunjuk kea rah berlakunya suatu sistem hukum asing.
Argumentasi ketertiban umum ini harus digunakan seminimal mungkin dan jangan mengarah pada egoism dan chauvinism hukum yang dapat menghambat perkembangan HPI itu sendiri. sudargo Gautama mengibaratkan lembaga ketertiban umum tak ubahnya seperti rem darurat pada keretta api yang ahanya digunakan apabila benar-benar diperlukan saja.
Penggunaan ketertiban umum dapat terlihat dari contoh berikut ini:
Seorang warga Negara Indonesia, beragama islam dan sudah menikah di Indonesia, ketika ia bertempat tinggal di Jerman hendak menikah lagi dengan seorang perempuan warganegara Jerman. Perkawinan yang kedua ini tidak dapat dilangsungkan di Jerman, karena bertentangan dengan paham ketertiban umum dalam sistem hukum JErman. Monogami dianggap sebagai suatu sendi asasi sistem hukum perkawinan Jerman.
Di dalam sistem HPI Inggris, ketertiban umum pernah digunakan oleh hakim dalam perkara-perkara hukum menyangkut:
a. hubungan-hubungan internasional
b. hubungan perdagangan dengan musuh
c. kontrak-kontrak yang mempengaruhi kebebasan kompetisi dalam perdagangan
d. penyelundupan hukum
c. Pengaturan ketertiban umum di Indonesia
berdasarkan pasal 66 UU No. 30 tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter suatu Negara yang terikat baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, dapat dilaksanakan di Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Ketentuan yang sama juga diatur dalam pasal 3 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Putusan arbitrase yan gdapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentnagan dengan ketertiban umum.
d. hak-hak yang diperoleh
Sunarjati Hartono menyatakan hak-hak yang diperoleh berkaitan dengan apakah hak-hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang berdasarkan kaidah-kaidah hukum asing tertentu, perlu diakui atau tidak oleh lex fori. Jadi, hak-hak yang diperoleh seseoran gberdasarkan hukum asing tertentu selalu berkaitan dengan status hukum yang diterbitkan oleh sistem hukum asing itu.
Sudargo Gautama mengatakan bahwa masalah hak-hak yang telah diperoleh dalam HPI dikemukakan untuk menegaskan bahwa perubahan terhadap fakta-fakta tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah hukum yang semula digunakan. Misalkan: seseorang yang telah menjadi dewasa menurut ketentuan hukum Negara X kemudian menjadi warganegara Y yang mengatur batas kewarganegaraan yang berbeda. Apakah perubahan kawarganegaraan ini akan mengakibatkan yang bersangkutan menjadi tidak dewasa lagi? Maka, diputuskan bahwa sekali seseorang itu dinyatakan dewasa maka ia akan tetap dianggap dewasa sekalipun telah berpindah kewarganegaraan. Disinilah diterapkan prinsip hak-hak yang telah diperoleh.

TITIK-TITIK PERTALIAN DALAM HPI
Istilah: Connecting Faktor
Titik Taut:
Keadaan-keadaan/factor-faktor yagn menyebabkan/menciptakan timbulnya persoalan-persoalan HPI.
Sudargo Gautama  titik pertalian adalah hal-hal/keadaan-keadaan yangmenyebabkan berlakunya suatu stelsel/sistem hukum tertentu.
Unsure-unsur titik taut:
- Keadaan
- Factor
- Sekumpulan Faktor
- Menciptakan permasalahan HPI
- Stelsel hukum
• Titik taut primer (Primer Connecting Faktor)  titik taut yang membedakan apakah suatu peristiwa dapat diklasifikasikan sebagai peristiwa HPI atau tidak.
Dari pembedaan suatu peristiwa akan berlanjut pada Choice of Law, jika bukan peristiwa HPI, maka tidak perlu Choice of Law.
TITIK TAUT PRIMER
- Kewarganegaraan
- Kedudukan badan hukum
- Domisili
- Bendera kapal
- Tempat kediaman
- Choice of Law
Kewarganegaraan
Kapan suatu kewarganegaraan dapat menimbulkan persoalan HPI?
Bila dalam suatu peristiwa hukum terjadi pertautan 2 (dua) atau lebih subyek yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda yang menyebabkan berlakunya sistem hukum yang berbeda pula.
Bendera kapal  kapal laut + udara
Kapal dalam HPI = bagian dari suatu wilayah Negara yang terapung karena ada bendera kapal.
Jadi hukum yang berlaku dalam kapal adalah hukum dari Negara yang benderanya terpasang dalam kapal tersebut. Bila terjadi sesuatu (peristiwa hukum) maka hukum yang berlaku adalah hukum dari kapal (bendera Negara).
Bila peristiwa hukum terjadi di laut bebas, tidak ada hukum yang berlaku. Dalam penyelesaian kasus bisa menggunakan choice of forum.
Domisili
Dari somisili yang berbeda akan menyebabkan hukum yang berbeda pula, misalnya: seseorang berdomisili di Negara Malaysia melakukan wanprestasi atas isi dari perjanjian yang telah disepakati sehingga menimbulkan kerugian bagi seseorang (pihak) yang berdomisili di Indonesia, kedua pihak tersebut berkewarganegaraan Italy. Penyelesaiannya berdasarkan : choice of law, lex loci contractus, lex locus delicti, lex rei sitae (lex situs).
Tempat Kedudukan Badan Hukum
Pusat kegiatan + pusat administrasi
Hukum yang berlaku adalah hukum dari masing-masing pusat (pusat kegiatan atau pusat administrasi).
Sebagai subyek hukum tidak langsung, maka bila badan hukum berkedudukan di suatu wilayah Negara dan melakukan aktivitas di Negara lain, maka bila terjadi persoalan-persoalan terhadap badan hukum yang bersangkutan, maka kedua hukum dari masing-masing pusat dapat diberlakukan, kecuali ada choice of law.
Tempat Kediaman (Residence)
Ex: seseorang warga Negara Malaysia yang tinggal di Indonesia melangsungkan perkawinan dengan warga Negara Malaysia yang diam di Indonesia. Mereka harus tunduk pada hukum Malaysia, tetapi secara tidak langsung mereka juga harus tunduk pada hukum Indonesia, karena mereka bertempat kediaman di Indonesia.
Choice of Law
Factor-faktor yang menciptakan persoalan HPI, msialnya dalam suatu kontrak jual beli barang antara seorang warga Negara Indonesia dengan seorang warga Negara Perancis, dimana barang tersebut kontraknya dibuat di Amerika. Hukum mana yang menguasai/diberlakukan?
Yang paling penting dalam suatu kontrak harus ada klausula mengenai choice of law.
• Titik taut sekunder (Penentu)
Merupakan titik taut yang menentukan hukum manakah yan gberlaku /menguasai perbuatan-perbuatan HPI. Antara lain:
- Lex situs (lex rei sitae) : hukum tempat benda tersebut berada, contoh: perjanjian antara seorang warga Negara Indonesia dengan seorang warga negara Singapura, obyek perjanjian terletak di Indonesia (hukum Indonesia yang berlaku/lex fori);
- Lex loci contractus: tempat dibuatnya suatu kontrak/perjanjian dari 2 (dua) atau lebih subyek hukum yang berbeda kewarganegaraan;
- Lex loci celebrationis: tempat dilangsungkan perkawinan dari 2 (dua) orang yang berbeda kewarganegaraan;
- Lex loci solutionis: tempat dilaksanakannya suatu kontrak/perjanjian oleh subyek-subyek hukum yang berbeda kewarganegaraan/domisili;
- Lex loci delicti commisi (Onrechtmatigdaad): tempat terjadinya perbuatan melawan hukum, contoh: perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum yang melanggar perundang-undangan suatu Negara, dimana perbuatan tersebut secara langsung merugikan orang lain, dan orang yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi.
• Status Personal Dalam Kaitannya Dengan Prinsip Kewarganegaraan dan Domisili
Status personal: kedudukan hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum dari Negara dimana ia dianggap terikat secara permanen.
Ruang lingkup Status Personal:
- Konsepsi luas: meliputi berbagai hak-hak hukum bagi seseorang pada umumnya mulai permulaan (dari lahir sampai mati)
- Konsepsi yang agak sempit : hukum perkawinan dan pewarisan tidak termasuk lingkup status personal
- Konsepsi yang lebih sempit: sama sekali tidak memasukkan hukum keluarga dan hukum waris dalam status personal.
Cara menentukan status personal:
- Aliran Nasionalitas/kewarganegaraan (lex patriae):
Mengkaitkan status personal seseorang kepada hukum nasionalnya/untuk menetukan status personal suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya.
Kewarganegaraan : menunjukkan identitas seseorang berasal dari Negara mana/bagian dari anggota suatu Negara tertentu;
Cara menentukan kewarganegaraan:
 Asas berdasarkan tempat kelahiran (Ius Soli)
 Asas berdasarkan keturunan (Ius Sanguinis)
Aliran teritorialitas/ domisili (lex domicile):
Prinsip domisili sebagai titik tautnya, status personal suatu pribadi tunduk pada hukum dimana seseorang (subyek hukum) berdomisili;
Domisili: tempat menetap seseorang yang menurut hukum dianggap sebagai tempat kehidupan seseorang (centre of his/her life);
Macam-macam domisili:
-Domicili of Origin: tempat seseorang menetap dari sejak lahir
-Domicili of Choice: tempat seseorang menetap berdasarkan pilihannya
-Domicili by Operation of the Law: ditentukan berdasarkan hukum dimana dia terakhir menetap.
Alasan pendukung prinsip kewarganegaraan:
- Prinsip kewarganegaraan paling cocok untuk perasaan hukum seseorang karena pembuat hukum lebih mengenal kepribadian dan kebutuhan warga negaranya;
- Lebih permanen dari prinsip domisili, karena kewarganegaraan seseorang tidak mudah diubah sebagaimana halnya domisili;
- Lebih banyak membawa kepastian hukum, karena kewarganegaraan seseorang lebih mudah diketahui daripada domisili.
Alasan pendukung prinsip domisili:
- Hukum domisili adalah hukum dimana yang bersangkutan sesungguhnya tinggal dan hidup, maka sudah sewajarnya hukum tersebut yang diterapkan;
- Prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan domisili, ketika prinsip kewarganegaraan tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah HPI;
- Hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim (Lex Fori)
- Cocok diterapkan pada Negara-negara yang mengenal pluralism hukum;
- Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi dari para imigran.
• Kualifikasi Dalam HPI
Kualifikasi : Menata sekumpulan fakta-fakta yang dihadapi, mendefinisikan dan menempatkan dalam suatu kategori hukum tertentu, atau penerjemahan fakta sehari-hari ke dalam kategori hukum tertentu (translated into legal term) sehingga dapat diketahui arti yuridisnya.
Macam-macam kualifikasi:
- Kualifikasi fakta: kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi 1(satu) atau lebih peristiwa hukum berdasarkan kategori, kaidah-kaidah dan sistem hukum tertentu;
- Kualifikasi hukum: penggolongan /pembagian seluruh kaidah-kaidah hukum ke dalam pengelompokan / pembidangan kategori hukum tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Arti penting kualifikasi bagi HPI:
- Kualifikasi merupakan salah satu masalah yang sangat penting karena dalam suatu perkara HPI selalu terjadi kemungkinan pemberlakuan lebih dari 1 (satu) sistem hukum untuk mengatur sekumpulan fakta-fakta tertentu.
- Kualifikasi harus dilakukan berdasarkan sistem hukum mana/ apa diantara berbagai sistem hukum yang relevan.
Teori kualifikasi:
- Kualifikasi Lex Fori: Kualifikasi yagn dilakkukan menurut hukum materiil sang hakim yang menerima dan mengadili suatu perkara;
- Kualifikasi Lex Causae: kualifikasi harus dilakukan dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara untuk menentukan kaidah-kaidah HPI mana dari Lex Fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya berlaku;
- Kualifikasi Otonom: menggunakna metode perbandingan hukum untuk membang8un suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara universal.
• Aspek Hukum Dalam Kontrak Dagang Internasional
Hukum yang berlaku berkaitan dengan Choice of Law dan Choice of Forum
Berkaitan dengan titik taut:
Ketika terjadi 2 (dua) atau lebih pertautan stelsel/sistem hukum maka muncul persoalan HPI;
Ketika timbul persoalan HPI maka akan kembali pada titik taut penyelesaiannya.
Hukum yang berlaku adalah hukum yang dipilih oleh para pihak. Walaupun ada beberapa pilihan yang dapat menjadi alternative bagi para pihak.
Dalam hukum kontrak berlaku asas universal yang berlaku di Negara mana saja, yaitu asas kebebasan berkontrak. Dalam BW, dasarnya kesepakatan (pasal 1320).
Asas kebebasan berkontrak:
Setiap orang bebas membuat kontrak/perjanjian isi atau klausula yang akan dituangkan dalam kontrak asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak tidak bisa mutlak diterapkan karena ada perangkat-perangkat hukum lainnya yang membatasi asas kebebasan berkontrak.
Merupakan suatu implementasi /perwujudan dari sistem terbuka hukum perdata, maka timbul kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku.
Dalam choice of law terdapat pembatasan-pembatasan:
1. pilihan hukum tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
2. pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa;
Dwalingenrecht: dalam arti suatu keadaan konkrit yang harus ditaati oleh orang-orang, seperti: Hukum Pidana, HTN, Hukum Pajak.
Unvullenrecht: hukum yang bersifat mengatur. Seseorang dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang baru ->hukum privat (perdata).
Pacta Sunt Servada = setiap perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya;
3. pilihan hukum hanya dalam bidang perjanjian saja, kecuali perjanjian kerja, karena termasuk kontrak baku (take it or leave it).

Bentuk-bentuk choice of law:
1. secara tegas;
Pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas oleh para pihak di dalam kontrak. Muncul dalam klausula kontrak “apabila terjadi sengketa dalam kotrak ini maka akan diselesaiakn menurut hukum… (Negara federal Amerika misalnya)”;
2. secara diam-diam;
Pilihan hukum yang tidak dinyatakan secara tegas, tapi berdasarkan fakta-fakta/ketentuan-ketentuan dalam suatu kontrak, maka dapat diduga bahwa hukum yang berlaku adalah hukum sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Contoh kata-kata dalam klausula kontrak “Apabila dalam suatu kontrak para pihak memilih domisili di Pengadilan Negeri Jakarta maka hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia”;
3. secara dianggap;
Pilihan hukum berdasarkan pada dugaan atau penafsiran dari hakim yang menerima perkara (preasumtion iuris);
4. secara hipotesis;
Dalam pemilihan hipotesis sebenarnya para pihak tidak melakukan pilihan hukum, tetapi hakim yang mengklasifikasikan berdasarkan fakta yang ada bahwa suatu kontrak tunduk pada hukum Negara mana.
Asas-asas/Teori-teori dalam Pilihan Hukum:
- Lex Loci Contractus = hukum yang berlaku adalah hukum dimana kontrak dibuat dan ditandatangani;
- Lex Mercantoria =
Suatu pilihan hukum yang ada dalam suatu kontrak yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan/prinsip-prinsip yang sudah diterima secara umum dalam praktek perdagangan internasional tanpa menunjuk pada salah satu pilihan hukum nasional Negara manapun yang berlaku;
Kebiasaan dalam praktek perdagangan internasional oleh Negara-negara atau subyek hukum internasional lain yang berkepentingan kemudian menghasilkan:
Treaties berdasarkan prinsip Pacta Sunt Servada, Resolusi PBB tentang Lex Mercantoria, Lembaga-lembaga internasional seperti ICSID, UNCITRAL, UNIDROIT, ICC, lembaga Arbitrase: International dan nasional ( di Indonesia ada BANI –ADR);
- Mail Box Theory =
Teori ini digunakan apabila para pihak dalam suatu kontrak tidak dapat bertemu langsung, maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana pihak penerima kontrak menjawab kontrak kepada si pemberi kontrak;
- Theory of Declaration =
Teori ini digunakan apabila para pihak dalam kontrak tidak dapat bertemu langsung, maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana pemberi kontrak berada ketika menerima jawaban dari si penerima kontrak;
- Lex Loci Solutionis = hukum yang berlaku adalah hukum di tempat kontrak dilaksanakan;
- The Proper Law of Contract =
Hukum yang berlaku adalah hukum dari Negara yang mempunyai hubungan paling dekat dengan kontrak;
- The Most Characteristic Connection =
Hukum yang berlaku daam suatu kontrak adalah hukum yang paling karakteristik dalam pemenuhan prestasi (dari mereka yang melakukan prestasi).
• Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatigdaad)
Di Indonesia, perbuatan melawan hukum diatur dalam KUHPerdata (BW), unsure-unsurnya:
- Adanya perbuatan melawan hukum /melakukan pelanggaran;
- Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan (bagi orang yang melakukan);
- Adanya kerugian yang diderita oleh pihak lain sebagai akibat dari perbuatan tersebut;
Dapat kita simpulkan, bahwa perbuatan melawan/ melanggar hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut telah melanggar hukum/ Undang-Undang serta menimbulkan kerugian bagi pihak lain, dan pihak lain tersebut dapat melakukan tuntutan ganti rugi.

Dalam Hukum Perdata Internasional, perbuatan melawan hukum sering timbul karena ada kecenderungan para pihak/pelaku bisnis yang melakukan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan berlebih dan sering mengakibatkan kerugian bagi pihak lain.
Dalam HPI, suatu perbuatan melawan/melanggar hukum harus ada unsure mutlak yiatu ‘unsur asing’ yang terlibat dalam perbautan tersebut.
Perbuatan melawan/melanggar hukum dalam HPI dapat diartikan:
Perbuatan tersebut di dalamnya ada unsure-unsur asing sehingga timbul pertautan antara suatu perbuatan melawan hukum dengan suatu tempat asing yang dapat terjadi karena:
- Pelaku perbuatan berdomisili/berkewarganegaraan asing;
- Perbuatan dilakukan di wilayah Negara aising;
- Akibat dari perbuatan tersebut timbul di suatu wilayah Negara asing;
Ada beberapa teori/asas-asas yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara yang termasuk perbuatan melawan/melanggar hukum dalam HPI:
1. Lex Loci Delicti Commissi=
Hukum yang berlaku adalah mengacu kepada tempat dimana perbuatan hukum itu dilakukan;
2. Lex Fori=
Tempat dimana perkara diajukan atau pelaku perbuatan tersebut diadili, disini berlaku hukum dari hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut;
3. Lex Properia Delicti =
Mengacu kepada penyelidikan berdasar teori-teori Choice of Law;

Ada 3 (tiga) kemungkinan penyelesaian apabila terjadi perbuatan melawan hukum, yaitu:
1. Hukum yang dipergunakan adalah hukum yang relevan dengan peristiwa tersebut, yang dalam hal ini pihak tergugat dapat melakukan pilihan hukum (choice of law) yang kira-kira dapat menguntungkan dirinya (diberikan kepada pihak tergugat);
2. Hukum yang berlaku adalah hukum Negara dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi dan menimbulkan kerugian;
3. Hukum yang dipergunakan adalah hukum dimana perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, apakah di tempat ia melakukan perbuatan atau di tempat lain.

• Asas-asas HPI Dalam Penentuan Status Badan Hukum
Badan hukum sebagai subyek hukum, seperti:
- PT (Perseroan Terbatas)
- Yayasan
- Koperasi
Asas yang dapat digunakan untuk menentukan status badan hukum:
1. Asas kewarganegaraan/Domisili dari pemegang saham;
Berarti bahwa status suatu badan hukum dapat dilihat dari pemegang saham mayoritas dari suatu badan hukum tersebut berkewarganegaraan apa dan/atau berdomisili dimana;
2. Asas Centre of Administration / Business;
Status badan hukum dilihat dari tempat dimana pusat administrasi dari suatu perusahaan/badan hukum;
3. Asas Place of Incorporation;
Status badan hukum dilihat dari tempat dimana badan hukum tersebut didirikan;
4. Asas Centre of Exploitation/ Cooperation;
Status badan hukum dilihat dari tempat kegiatan badan hukum tersebut beroperasi.

• Asas HPI Dalam Hukum Benda
Benda dimaksud disini adalah:
-Benda bergerak
-Benda tidak berwujud

Benda bergerak, penyelesaian perkara HPI nya dapat dilakukan dengan:
- Asas Nationalitas =
Hukum yang digunakan adalah hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut berkewarganegaraan;
- Asas Domisili =
Hukum yang diterapkan adalah hukum dimana pemegang hak atas benda tersebut berdomisili;
- Lex Situs =
Hukum yang berlaku adalah hukum dimana benda tersebut berada.

Benda Tidak Berwujud, (seperti : Merk, Hak Paten), penyelesaian perkara HPI nya dapat dilakukan dengan asas-asas /teori:
- Lex Patriae/Lex Domicili
- Lex Fori
- Lex Loci Contractus
- Choice of Law
- The Substantial Connection
- The most characteristic connection

• Asas HPI Dalam Hukum Keluarga
- Dalam bidang perkawinan
- Dalam bidang perceraian
- Dalam bidang pewarisan

Pasal 57 UU No. 1/1974
Syarat-syarat materiil perkawinan dalam HPI:
- Asas Lex Loci Celebrationis = hukum yang berlaku adalah hukum dimana tempat perkawinan berlangsung;
- Hukum dari masing-masing pihak dimana mereka menjadi warga Negara sebellum perkawinan dilangsungkan;
- Hukum dari masing-masing pihak dimana para pihak berdomisili sebelum melakukan perkawinan.

Asas-asas yang digunakan dalam bidang perceraian:
- Lex Loci Celebrationis;
- Joint Nationality =
Hukum yang berlaku adalah hukum dari Negara dimana para pihak menjadi warga Negara setelah perkawinan;
- Joint Resident =
Hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana suami istri tersebut menetap setelah perkawinan;
- Lex Fori =
Hukum yang berlaku adalha hukum dimana perkara perceraian tersbeut diajukan oleh para pihak (hukum yang diterapkan para hakim adalah hukum yang berlaku di negaranya).

Dalam hal perkawinan:
- Diatur dalam Undang-undang (ab intestato); ada legitimo portie (hak dari para ahli waris yang sah/keturunan langsung dari pewaris);
- Diatur berdasarkan Testament, baik Hibah (diterima saat pemberi hibah masih hidup, asal tidak merugikan hak dari ahli waris keturunan langsung) ataupun Wasiat (dibuka dan diterima oleh penerima wasiat pada saat atau setelah pemberi wasiat meninggal dunia, dengan disaksikan oleh pejabat yang berwenang).


I. Penyelundupan Hukum, Penyebutan satu badan hukum dengan dua kualifikasi hukum untuk utang yang sama adalah "penyelundupan hukum dan rekayasa hukum"
maksudnya penyelundupan hukum adalah sbb: karena adanya perbedaan hukum antara satu negara dgn negara lainnya, hal2 yang menurut hukum salah di Indonesia, dilakukan di luar negeri dimana di negara tsb hal tersebut dibenarkan secara hukum. jadi hukumnya luar negeri itu diselundupkan ke Indonesia.

kita saksikan hokum nasional tetap berlaku itu dan dianggap tepat pada suatu peristiwa tertentu saja, yakni karena kini ada seorang yang untuk mendapatkan berlaku nya hokum asing telah melakukan suatu tindakan yang bersifat mengindarkan pemakaian hokum nasional itu, Jadi hokum asing yang dikesampingkan karena pemyelundupan hokum, akan mengakibatkan bahwa untuk hal-hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hokum asing itu
Contoh:
• Perkawinan orang-orang dari Indonesia di penang atau singapura., Dalam praktek hokum Indonesia dikenal kemungkinan untuk mengelakkan kesulitan larangan menikah kembali bagi pihak perempuan yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat, akan tetapi ada obatnya yaitu menikah di penang atau singapura yang tidak mengenal batas menikah kembali dalam hokum inggris.

II.RENVOI
Adalah penunjukan kembali kepada sistem hukum yang semula menunjuk. Renvoi terjadi disebabkan karena di dalam penentuan SP negara-negara di dunia ada yang menganut Asas Domisili dan Asas Nasionalitas.
Renvoi Transmision
Gesant Verweisong : penunjukan (oleh negara A) terhadap Kollisionnorm (negara B).
Sachnormen Verweisong : penunjukan kembali (oleh negara B) terhadap Sachnormen (negara A).
Sikap menerima renvoi :
1. Penunjukan pertama (negara A) diarahkan pada Kollisonnormen (negara B).
2. Penunjukan kedua (negara B) diarahkan pada Sachnormen (negara A).
Sikap hakim menolak renvoi : penunjukan pertama diarahkan pada Sachnormen.
Masalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada masing-masing negara, terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan prinsip domisili dan nasionalitas.
Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat dengan persoalan kwalifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Apakah HPI itu merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang nasional?”. Jika dianggap sebagai hukum yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI semacam itu memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk mengoper atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib hukum yang lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang bersifat supra nasionalah yang berlaku.
Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:
1.Renvoi dianggap tidak logis
Hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali secara terus menerus, maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali.
Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/ penujukkan kembali.
2.Renvoi merupakan penyerahan kedaulatan legislatif.
Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap seuatu hukum asing yang kemudian dianggap berlaku.
Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.
3.Renvoi membawa ketidak pastian hukum
Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.
Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan oleh para penulis yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai berikut:
1.Renvoi memberikan keuntungan praktis
Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.
2.Jangan bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri
Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada.
3.Keputusan-keputusan yang berbeda.
Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yan berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait.
Dari hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita mendapati bahwa yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.
Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928
2.Perkara palisemen seorang British India tahun 1925
Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi internasional meliputi :
1.Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955
Diterima suatu konsep untuk mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan. Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai sistem domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.
2.Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951
Persetujuan itu dilakukan antara negara Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa renvoi tidak dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.
Berikut keberadaan renvoi di sejumlah negara:
1. Perancis
Diketahui sejak ada peristiwa Forgo, menunjukkan bahwa di Perancis telah menerima Ronvoi, namun sejumlah pengamat menyebutkan bahwa ada kecondongan renvoi ditolak di negara ini.
2. Italia
Umumnya renvoi ditolak. Pengaruh teori Mancini menunjukkan bahwa di Italia ada hasrat melindungi diri dari HPI asing.
3. Jerman
Jerman memiliki kecondongan ke arah penerimaan.
4. Swiss
Secara tegas, tidak ada aturan tentang renvoi tetapi memiliki kecenderungan ke arah penerimaan.
5. Nederland
Menurut yurisprudensinya, umumnya renvoi ditentang tetapi di sana-sini tetap ditemukan keputusan yang dianggap menyimpang.
6. Negara Asia-Afrika
Diantaranya yang menerima atau mengakui keberadaan renvoi yakni Tiongkok, Thailand, dan Jepang. Sedang Mesir menolak, karena dalam Code Civil Mesir tahun 1948 dinyatakan bahwa penunjukan pada hukum asing dianggap penunjukan kepada kaidah intern materil dan kaidah HPI asing dikesampingkan.
7. Negara-negara Anglo Saxon
Seperti Inggris, ada kecenderungan kea rah penerimaan.
8. Amerika Serikat
Tak ada aturan tertulis. Tapi ada kecondongan menolak. Terkecuali persoalan yang berkenaan dengan titel tanah diatur dimana tanah itu terletak, termasuk kaidah HPI negara bersangkutan. Pun tentang sahnya perceraian, ini ditentukan domisili para pihak termasuk kaidah HPI-nya.
9. Negara-negara sosialis
Ada kecenderungan menerima misalnya saja di Moscow.

Berikut ini beberapa contoh kasus yang dapat dikategorikan berkenaan masalah renvoi:
- Kasus in re Annesley (Davidson v. Annesley tahun 1926)
Annesley seorang wanita berkewarganegaraan Inggris (British subject). Ia meninggal di Perancis tahun 1924. Sehingga menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Perancis. Tahun 1919, wanita ini telah membuat surat wasiat dalam bentuk hukum Inggris. Dalam suratnya, sedemikian rupa dibuat sehingga anak lelakinya harus kehilangan hak warisnya. Di Inggris ini dibolehkan. Sedang di Perancis dikenal legitima portio bahwa sang anak sekurang-kurangnya menerima sepertiga bagian dari harta warisan. Lantas hukum yang mana yang akan digunakan, apakah dari Inggris atau Perancis? Menurut hukum bersangkutan, maka kasus ini melihat dari domisili wanita tersebut. Oleh karena itu, hukum Perancis yang harus digunakan. Sedang dalam hukum Perancis, asas yang digunakan adalah asas nasionalitas. Maka hukum yang berlaku dari warga negara asing adalah hukum negaranya, dalam hal ini Inggris. Tetapi dari Inggris menunjuk kembali kepada hukum Perancis yaitu hukum domisili.
Lalu setelah Perancis menerima renvoi ini, apakah kemudian hukum intern Perancis yang akan digunakan? Hakim lalu menyelidiki HPI Perancis soal renvoi. Dan kemudian menurut hakim ini, kasus tersebut akan memakai hukum intern Perancis. Oleh karena itu, hakim Russel yang mengadili perkara juga menggunakan hukum intern Perancis. Berdasarkan itu, maka wewenang dari Annesley untuk membuat surat wasiat harus dibatasi.

- Kasus in re Ross (Ross v. Waterfield)
Janet Anne Ross, wanita berkewarganegaraan Inggris. Meninggal di Italia tahun 1927. Ketika ia meninggal, maka diketahui menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Italia. Ia telah hidup di Florence sejak tahun 1888, yakni tahun dimana ia membeli sebuah rumah besar nan mewah yang terkenal dengan nama Poggio Gherardi. Tahun 1902, suaminya meninggal terlebih dahulu. Tidak ada kesangsian bahwa keduanya meninggal dengan domisili di Italia. Sewaktu Janet meninggal di tahun 1927, barulah surat wasiatnya dipersoalkan. Dalam semua wasiatnya, harta kekayaannya jatuh kepada tergugat Caroline Lucy Isabel Waterfield, sedangkan kepada anak laki-lakinya tidak diwariskan apa-apa.

Penggugat mengklaim bahwa dirinya berhak atas ½ benda tak bergerak di Italia dan ½ benda tidak bergerak yang berada di wilayah manapun. Dalam hukum Italia juga dikenal legitima portio. Sedang Inggris tidak. Tetapi yang jadi soal adalah hukum mana yang akan diberlakukan. Luxmoore J. yang mengadili perkara ini menimbang bahwa kasus ini harus diadili sebagaimana masalah ini diselesaikan oleh badan-badan peradilan di Italia. Jika menunjuk kepada hukum di Italia. Maka itu akan termasuk di dalam hukum intern serta kaidah HPI yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Italia. Sehingga surat wasiat tetap dianggap sah. Karena kenyataannya, menurut doktrin hukum di Italia, renvoi tidak diterima. Maka pada kasus ini, kenyataannya gugatan penggugat tidak berhasil dengan kata lain penggugat tetap tidak mendapatkan apa-apa.

Contoh renvoi
• Apabila seorang warga inggris yang berdomisili di Indonesia harus ditentukan apakah ia sudah dewasa atau belum, atau dia hendak menikah, maka menurut HPI Indonesia berdasarkan pasal 16 AB harus dipakai hokum Inggris. Dengan kata lain perkataan kaidah HPI Indonesia menunjuk kepada hokum Inggris dan hokum inggris menunjuk kembalikepada hokum Indonesia ,karena menurut HPI inggris yang harus dipakai untuk status personil yaitu domisili dari seseorang. Dalam hal ini domisili orang inggris bersangkutan adalah di Indonesia, maka hokum Indonesialah yang harus diberlakukan.



III. TITIK PERTALIAN
Titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat menunjukkan adanya kaitan antara-antara fakta-fakta yang ada di dalam suatu perkara dengan suatu tempat/ sistem hukum yang harus atau mungkin untuk dipergunakan.
Untuk mengetahui hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, hakim harus mencari titik taut yang ada atau berkaitan di dalam masalah HPI tersebut dengan melihat kepada titik-titik pertalian yang ada.
Titik Pertalian Primer
Titik pertalian primer merupakan titik taut yang menentukan bahwa peristiwa tersebut merupakan HPI. Jadi, TPP melahirkan HPI. Fungsi TPP adalah untuk menentukan ada tidaknya peristiwa HPI. Titik pertalian primer disebut juga Titik Taut Pembeda/Point of Contact/Aanknoping Spunten.
TPP (foreign element) meliputi :
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Tempat kedudukan;
6. Hubungan hukum di dalam hubungan intern.
Contoh hubungan hukum di dalam hubungan intern : Dua orang WNI di Indonesia melakukan perjanjian bisnis mengenai barang yang berasal dari Luar Negeri.
Titik Pertalian Sekunder
Titik pertalian sekunder adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu di dalam hubungan HPI. Titik taut penentu ini menentukan hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan masalah-masalah HPI. Dalam persoalan HPI dimungkinkan juga Titik Taut Primer (TTP) merupakan TTS dalam hal mengenai :
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Tempat kedudukan;
Sebenarnya TTS dalam HPI amat sangat banyak, terutama selain hal-hal di atas :
6. Letak dari benda;
7. Tempat dilaksanakan kontrak (ditandatangani kontrak);
8. Tempat pelaksanaan dari pada perjanjian (realisasi perjanjian); - Lex Loci Solutionis –
9. Tempat di mana perbuatan melanggar hukum itu dilakukan (Tatort);
10. Party Autonomy – Choice of Law – Pilihan Hukum/ Rechtskause; Pilihan hukum yang ditentukan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian. Kecuali, bila pilihan hukum itu melanggar Order Public/ kepentingan umum maka hakim dapat menyimpang dari pilihan hukum tersebut. Pilihan hukum hanya untuk perbuatan hukum kontrak.

IV. LEX FORI, LEX CAUSA, AUTONOM
Perbedaan kualifikasi itu terutama terdapat dalam tiga golo
ngan besar, yaitu :
a. Kwalifikasi menurut lex fori (yaitu menurut hukum hakim)
b. Kualifikasi menurut lex causae ( yaitu hukum yang dipergunakan untuk menyeles
aikan persoalan Hukum perdata internasional yang bersangkuta)
c. Kualifikasi secara otonom (autonomen qualification), berdasarkancomparative m
ethod atau analytical jurisprudence.

Konflik kualifikasi : pertentangan kualifikasi antar negara. Di dalam terjadinya kesulitan melakukan kualifikasi pada peristiwa HPI, pada dasarnya yang menjadi masalah pokok adalah :
1. Akan dikualifikasikan sebagai apa, fakta-fakta yang ada di dalam suatu peristiwa HPI;
2. Apa yang harus dilakukan oleh hakim/forum dalam hal terjadi suatu konflik kualifikasi.
Di dalam HPI kualifikasi ada bermacam-macam :
1. Kualifikasi Lex Fori; Penganut-penganut dari Lex Fori menyatakan juga bahwa ada pengecualiannya, yaitu mengenai masalah hakekat dari suatu benda, haruslah dikualifikasi berdasarkan Lex Sitae. Keunggulan pemakaian Lex Fori : hakim lebih mengerti hukumnya sendiri. Kelemahan Lex Fori : akan menimbulkan suatu ketidakadilan karena yang diterapkan bukan hukum negaranya sendiri.
2. Kualifikasi Lex Causa; Menurut Suryadi Hartono, kualifikasi berdasarkan Lex Causa sulit diterapkan bila sistem hukum asing tidak lengkap sistem kualifikasinya/ tidak mengenal lembaga hukum tersebut. Oleh karena itu, hakim akan melakukan suatu konstruksi-konstruksi hukum atau suatu analogi terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi yang sejenis, bagaimana penyelesaian hukumnya. Apabila hakim tidak menemukan peristiwa-peristiwa yang sejenis dalam permasalahan maka hakim barulah melakukan kualifikasi berdasarkan Lex Fori.
3. Kualifikasi Bertahap; Kualifikasi ini terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Kualifikasi primer : hakim/forum mempergunakan kualifikasi secara Lex Fori. Kualifikasi ini untuk menemukan Lex Causa.
b. Kualifikasi sekunder : setelah Lex Causa ditemukan maka forum akan menggunakan kualifikasi berdasarkan Lex Causa.
4. Kualifikasi Otonom : Pada kualifikasi ini, forum mempergunakan metode perbandingan hukum. Teori perbandingan hukum ini dilakukan untuk mencari pengertian-pengertian HPI yang dapat berlaku di negara-negara manapun. Oleh karena itu, maka kualifikasi otonom ini sulit dilakukan karena hakim harus mengetahui semua sistem hukum di negara-negara dunia. Tujuan dilakukan kualifikasi otonom adalah menciptakan suatu sistem hukum HPI yang utuh dan sempurna yang memuat konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak dan sempurna. Kualifikasi ini muncul, karena adanya konsep negara supranasional.
5. Kualifikasi HPI : Di dalam kualifikasi HPI bertitik tolak dari adanya pandangan bahwa setiap kualifikasi berdasarkan HPI dianggap mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa hukum. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai di dalam konteks kepentingan HPI mencakup :
a. Untuk kepentingan keadilan dalam pergaulan internasional;
b. Untuk terjadinya kepastian hukum dalam pergaulan internasional;
c. Untuk terjadinya ketertiban dalam pergaulan internasional;
d. Untuk terjadinya kelancaran di dalam lalu lintas pergaulan internasional.
Di dalam kualifikasi HPI, harus ditentukan terlebih dahulu, kepentingan HPI yang mana, yang ingin dicapai di dalam pelaksanaan kualifikasi tersebut.

V. Hukum Perdata Internasional : Asas-asas PHI dalam penentuan hukum mana yang dipakai/asas-asas titik taut sekunder
Asas-asas HPI
1. Lex Rei Sitae ( Lex Situs ): hukum yang berlaku atas suatu benda adalah hukum dari tempat dimana benda itu terletak atau berada → bias benda bergerak, berwujud, atau tak berwujud.

2. Lex Loci Contractus: terhadap perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian/ tempat dimana perjanjian ditandatangani.

3. Lex Loci Solutionis: hukum yang berlaku adalah tempat dimana isi perjanjian dilaksanakan.


4. Lex Loci Celebrationis: hukum yang berlaku bagi sebuah perkawinan adalah sesuai dengan hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan.

5. Lex Domicile: hukum yang berlaku adalah tempat seseorang berkediaman tetap/ permanent home.
6. Lex Patriae: hukum yang berlaku adalah dari tempat seseorang berkewarganegaraan.
7. Lex Loci Forum: hukum yang berlaku adalah tempat perbuatan resmi dilakukan. Perbuatan resmi adalah pendaftaran tanah, kapal dan gugatan perkara itu diajukan dan perbuatan hukum yang diajukan.
8.Lex Loci delicti commisi tator:Hukum dari tempat dimana perbuatan melanggar hukum dilakukan

9. Asas choice of law ( pilihan hukum ): hukum yang berlaku adalah hukum yang dipilih berdasarkan para pihak.

VI. CONTOH-CONTOH PERMASAHAN HPI
STATUS PERSONAL (SP)
Mengenai SP dalam HPI di Indonesia diatur dalam Pasal 16 AB. Dalam ketentuan Pasal 16 AB terhadap SP diberlakukan hukum sesuai kewarganegaraannya.
SP adalah keadaan-keadaan yang menunjukkan adanya kaitan antara fakta-fakta mengenai pribadi yang ada di dalam suatu perkara dengan sistem hukum yang berlaku. Dengan demikian pada dasarnya SP merupakan suatu kondisi dari suatu pribadi di dalam hukum yang diakui oleh negara untuk mengamankan serta melindungi masyarakat. Dengan demikian SP meliputi masalah mengenai cukup umur/tidak, kekuasaan orang tua, pengampuan, keabsahan seorang anak, adopsi, perkawinan, perceraian dan sebagainya sehingga yang termasuk dalam status personal adalah keadaan-keadaan suatu pribadi di luar perjanjian.
Di dalam HPI, status personal ada dua asas :
1. Asas Kewarganegaraan : SP seseorang di atur menurut kewarganegaraannya/ nasionalnya. Asas ini dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental.
2. Asas Teritorialites : SP dari seseorang mengikuti hukum di mana ia berdomisili. Asas ini dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon.

Untuk menentukan kewarganegaraan dari seseorang berlaku Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis. Di negara Inggris, pengertian dari domisili ada 3 macam :
1. Domicilie of origin : domisili seseorang berdasarkan asalnya.
2. Domicilie of choice : domisili yang dipilih seseorang.
3. Domicilie of Dependence : domisili dari seseorang berdasarkan domisili orang lain. Contoh :
domisili anak berdasarkan domisili orang tua.
Pemakaian asas-asas SP ini, apabila diterapkan secara ketat akan menimbulkan kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan yang timbul apabila SP seseorang digunakan asas nasionalitas secara ketat maka akan menimbulkan :
1. Renvoi terhadap WNA yang di negaranya menganut Asas Domisili;
2. Dalam hal seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan. Dalam hal demikian untuk menentukan SP seseorang harus meminta bantuan Asas Domisili.
3. Di dalam hal suatu keluarga mempunyai kewarganegaraan yang berbeda-beda maka terhadap status personal seharusnya dipergunakan status domisili.
Kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam penentuan SP, jika yang dipakai Asas Domisili secara ketat maka akan terjadi :
1. Renvoi apabila asas domisili diterapkan kepada seseorang yang menganut asas nasionalitas meskipun secara faktual ia berdomisili di tempat yang bukan nasionalnya.
2. Asas domisili ini kurang permanen, karena dimungkinkan seseorang mempunyai domisili yang tidak tetap.
Alasan-alasan yang mendukung Asas Nasionalitas :
1. Asas nasionalitas sangat cocok untuk perasaan hukum dari seseorang;
2. Asas nasionalitas lebih permanen;
3. Asas nasionalitas membawa kepastian hukum yang lebih banyak.
Alasan-alasan yang mendukung Asas Domisili :
1. Hukum domisili merupakan hukum di mana seseorang yang sesungguhnya hidup;
2. Asas kewarganegaraan seseorang memerlukan bantuan Asas Domisili;
3. Hukum Domisili sering tidak rigid dengan hukum dari si hakim (Lex Fori);
4. Asas Domisili akan membantu bagi mereka yang bipatrit.
Dengan adanya perkembangan ekonomi global banyak orang-orang asing yang menanamkan modalnya di Indonesia termasuk mereka yang mengadakan “Joint Venture” perlu dipertanyakan hukum apa yang mengatur mengenai hak dan kewajiban badan hukum yang mengandung unsur asing. Untuk menentukan badan hukum yang mempunyai SP berlaku beberapa macam asas yaitu :
1. Prinsip kewarganegaraan/ domisili dari sebagian besar pemegang sahamnya; Asas ini merupakan asas tertua di dalam menentukan hak dan kewajiban badan hukum yang mengandung unsur asing. Kelemahan dari asas ini muncul apabila kewarganegaraan dari berbagai warga negara asing;
2. Asas Centre of Administration/ of Bussiness : bahwa untuk menentukan status dan wewenang suatu badan hukum mengikuti hukum di mana pusat dari administrasi badan hukum tersebut terletak;
3. Asas Place of Incorporation : untuk menentukan status dan kewenangan yuridis suatu badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat/ negara di mana badan hukum tersebut didirikan secara sah. Asas ini dianut oleh Indonesia;
4. Asas Central of Eksplotation : untuk menentukan status dan wewenang yuridis badan hukum harus ditentukan berdasarkan tempat/ negara di mana perusahaan tersebut memusatkan kegiatan eksploitasi atau memproduksi barang-barangnya. Di dalam penerapan Asas Central of Eksplotation akan mengalami kesulitan apabila perusahaan tersebut mempunyai cabang yang tersebar di mana-mana.
Menurut S. Gautama mengenai SP ini, terhadap WNI yang di luar negeri diberlakukan hukum Indonesia, akan tetapi terhadap WNA di Indonesia, meskipun berdasarkan Pasal 16 AB mengenai status personalnya harus diberlakukan hukum nasionalnya, namun apabila orang asing tersebut telah berada di Indonesia lebih dari 2 (dua) tahun, sebaiknya bagi WNA tersebut, untuk status personalnya diberlakukan hukum domisili (Hukum Indonesia).

ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM KONTRAK
Persoalan pokok di dalam hukum kontrak yang mengandung unsur-unsur asing, adalah penentuan “The Proper Law of Contract” (PLOC). Penentuan PLOC menjadi masalah apabila di dalam kontrak tersebut tak ada “Choice of Law”. Secara teoritis, penentuan PLOC ada bermacam-macam teori :
1. Teori Lex Loci Contractus
Teori tertua yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan sebagai PLOC adalah hukum dari negara di mana kontrak tersebut ditandatangani. Kelemahan dari teori ini apabila terjadi para pihak tidak bertemu sehingga perjanjian dilakukan melalui email/telegram/fax.
2. Teori Lex Loci Solutionis
Menurut teori ini untuk menentukan PLOC adalah mengunakan hukum di mana pelaksanaan kontrak tersebut dilakukan. Kelemahan teori ini apabila pelaksanaan dari kontrak dilakukan di berbagai negara.
3. Teori Party Autonomy
Teori ini berasal dari suatu Asas Kebebasan Berkontrak dari para pihak. Di dalam teori ini para pihak boleh memilih hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam kontrak, asal pilihan hukum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum (public order) dan hukumnya si hakim (Lex Fori).
4. Teori Most Characteristic Connection
Di dalam teori ini untuk menentukan PLOC sebaiknya ditentukan terlebih dahulu titik-titik taut yang secara fungsional menunjukkan adanya kaitan antara kontrak tersebut dengan hubungan sosial yang akan diatur oleh hukum tertentu. Dengan demikian harus berusaha menemukan kaidah-kaidah yang merupakan hakekat dari suatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum tersebut menjadi khas. Misalnya : di dalam kontrak yang berupa jual beli, hubungan hukum yang merupakan inti adalah perbuatan dari si penjual. Oleh karena itu, menurut teori ini, hukum si penjual yang diberlakukan sebagai PLOC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar