Minggu, 29 Mei 2011

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. istilah perjanjian internasional
- J.G. Starke
Treaty, Convention, Protocol, Agreement, Arrangement, Process Verbal, Statute, Declaration, Modus Vivendi, Exchange of Notes or of Letter, Final Act. General Act.
Tidak ada instrument tunggal untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan dalam kesepakatan internasional.
- J.L Brierly:. . .Pacts. Acts.

Fakta
Perundang-undangan

Inggris (registration)
- Mochtar Kusumaatmadja dan Mohd Burhan Tsani:
Charter, Accord, Covenant, Gentlemen, Agreement, Oral Agreement, Agreedminutes, Memorandum of Understanding, Summary Record.
- F.A. Whisnu Situni
Instrument-instrumen Perjanjian Internasional…Constitution
PBB  Charter
LBB  Covenant
Dengan adanya banyak instrument justru memunculkan banyak kesulitan. Mana yang cocok dalam substansi Perpu, mana yang tidak. Tapi sepenuhnya diserahkan pada praktek-praktek dalam hubungan internasional.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, apapun nama yang digunakan tidak emmiliki implikasi hukum. Secara hukum semua terminology itu mempunyai makna yang sama sesuai kesepakatan untuk menggunakan instrument itu.
F.A. Whisnu Situni dalam bukunya Formulasi hukum perjanjian internasional.
PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Merujuk dulu pada aspek normative:
Pasal 2 Konvensi Wina 1969
Treaty means an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.
“suatu kesepakatan /persetujuan internasional yang dalam bentuk tertulis dan diatur dalam hukum internasional baik dalam 1, 2, atau beberapa instrument instrument yang terkait”.
Treaty persetujuan/kesepakatan internasional
Instrument kesepakatan convention
Tapi convensi wina menggunakan treaty.
Perjanjian internasional yang dilakukan antarnegara disebut “treaty”. Treaty juga bisa dilakukan oleh Negara dengan pihak-pihak yang bukan Negara sebab bagaimana eksistensi hukum perjanjian internasional yang tidka tertullis dalam konvensi wina tahun 1969 belum mengatur secara mendetail mengenai perjanjian internasional, jika ada yang belum diatur maka diberlakukan hukum kebiasaan internasional (pada bagian akhir preambule konvensi wina 1969).
Konvensi Wina 1986
Treaty means an International agreement governed by international law and concluded in written form:
(i) between one or more States and one or more Internasional organizations; or
(ii) between international organizations, whether that agreement in embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.
Perbedaannya Konvensi Wina 1969 dengan 1986:
Konvensi wina 1969: para pihaknya hanya terbatas pada Negara
Konvensi wina 1986: para pihaknya Negara dan organisasi/ antarorganisasi internasional.
Mengapa konvensi Wina 1986 muncul?
Karena konvensi wina 1969 belum mampu mewadahi kesepakatan-kesepakatan hubungan antar Negara dnegan organisasi internasional maupun hubungan antar organisasi internasional.
Hakekat perjanjian internasional
Kesepakatan internasional (internasitonal agreement)
Apakah itu perjanjian internasional?
- Mochtar Kusumaatmadja
Perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
Subyek: anggota masyarakat bangsa-bangsa, seperti Negara, organisasi internasional, individu, pelaku perang, korban perang.
- D. p. O’Connel
A Treaty is an agreement between states, governed by International Law as distinct from municipal law, the form of which is inmaterial to the legal consequences of the act. (suatu perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara dalam hukum internasional yang berbeda dengan hukum nasional yang bentuknya secara material menimbulkan akibat-akibat hukum terahdap undang-undang.
- I Wayan Parthiana
Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiabn yang diatur oleh hukum internasional.
UNSUR-UNSUR PERJANJIAN INTERNASIONAL
• Kata sepakat  telah menyetujui (preambule)
• Berbentuk tertulis
• Obyek tertentu
• Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional
Obyek perjanjian internasional dapat dilihat dari judul perjanjian.
Misalnya:
- konvensi tentang hukum laut yang berarti obyek dari perjanjian atau konvensi tersebut.
- Konvensi Jamaika tahun 1980
- Perjanjian internasional mengenai ruang angkasa
- Konvensi wina tahun 1969 (obyeknya adalah perjanjian internasional yang tunduk pada hukum internasional)
Perjanjian internasional harus sesuai dnegan hukum internasional tak boleh bertentangan.
SUMBER HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
• Art 38 (1) STATUTE OF THE ICJ
1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized.
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law.
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of article 59, Judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.
Dalam pasal 38 (1)
Tidak ada penjelasan yang menentukan yang penting atau yang tidak penting.
Kuallifikasi yang ada putusan pengadilan/doktrin dinyatakan sebagai “bahan tambahan”
d  subsider untuk membentuk hukum
posisi a, b, c, d untuk memutus sengketa itu sama.

Ketentuan tertulis

Kebiasaan

Prinsip-prinsip umum

Putusan pengadilan/doktrin
BAHASA DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL
• Bahasa nasional atau bahasa yang digunakan oleh peserta
• Bahasa inggris sebagai tambahan jjiak terdapat perbedaan bahasa nasional
Setiap amsalah dalam bahasa yagn dipakai “sama-sama autentik”
• Menentukan ebberapa bahasa sebagai bahasa teks resmi – PIAGAM PBB
Konvensi wina 1969 dan 1986 menngunakan 5 bahsa tercantum dalam pasal 85.
PERBEDAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN KONTRAK INTERNASIONAL
1. penggunaan (ruang lingkup)
2. bentuk
Perjanjian internasional  tertulis, tidak tertulis
Kontrak internasional  tertulis
3. sifat
Perjanjian internasional  mengikat (public)  bisa terbuka, bisa tertutup
Kontrak internasional  privat (tertutup)
4. subyek
Perjanjian internasional  Negara dan organisasi internasional
Kontrak internasional  orang / badan hukum
5. unsure-unsur:
Perjanjian internasional  perbuatan hukum, persesuaian kehendak, pernyataan kehendak saling bergantung pada yang lain.
6. obyek
Perjanjian internasional hal-hal yang bersifat public (kewarganegaraan)
Kontrak internasional  privat (jual beli, perkawinan)
7. bidang hukum
Perjanjian internasional publik
Kontrak internasional  privat
PERBEDAAN KONVENSI WINA DNEGAN UU NO. 24 TAHUN 2000
Konvensi wina : Bagian
UU perjanjian internasional : Bab
JENIS-JENIS PERJANJIAN INTERNASIONAL
Dari bentuknya
- Tak tertulis
- Tertulis
Dari jumlah peserta
- Bilateral  2 tahap  tertutup  treaty contract
- Multilateral  3 tahap  terbuka  law making treaties
Dari segi kaidah hukum
- Terbuka
- Tertutup
Dari sifat kaidah hukum
- Perjanjian internasional yang berasal dari kaidah hukum kebiasaan, missal: konvensi wina 1969
- Perjanjian internasional yang memuat kaidah hukum yang baru sama sekali, missal : Space Treaties 1967
- Perjanjian yang memuat kaedah hukum kebiasaan, tetapi ada pula kaidah hukum baru. Missal, konvensi hukum laut Jamaika 1982.
Dari segi prosedur
- Normal (3 tahap)
a. Perundingan
b. Penandatanganan
c. Pengesahan
- Disederhanakan
a. Perundingan
b. Penandatanganan: memiliki implikasi hukum yakni penandatanganan memiliki kapasitas mengikat. Berfungsi sebagai penerimaan naskah (penandatanganan dilakukan dengan pemarafan)
full powers kapasitas
-turut berunding saja
-hanya menyetujui
-sampai mengesahkan
• Ada klausula ratifikasi: penandatanganan hanya sebatas penerimaan naskah
• Tidak ada klausula ratifikasi berarti penandatanganan bersifat mengikat, memiliki implikasi hukum
Dari segi jangka waktu
- Dicantumkan tegas
- Tidak dicantumkan
Dari segi pemrakarsa
- Negara
- Organisasi internasional
Discussion Task

1. Perbedaan antara Hukum Perjanjian Internasional dan Hukum Kontrak Internasional.
Perjanjian dalam hukum internasional sering disebut sebagai perjanjian internasional yang harus dibedakan dengan istilah kontrak (bisnis) internasional. Salah satu hal yang membedakan hukum perjanjian internasional dengan hukum kontrak internasional ialah subyek hukumnya. Perjanjian internasional dilakukan oleh subyek-subyek hukum yang dikenal dalam cabang ilmu hukum internasional. Dua subyek hukum internasional yang sangat menonjol untuk melakukan perjanjian yaitu Negara dan Organisasi Internasional. Sedangkan dalam hukum kontrak internasional, subyek hukumnya adalah subyek hukum diluar Negara dan organisasi internasional.
1. penggunaan (ruang lingkup)
2. bentuk
Perjanjian internasional  tertulis, tidak tertulis
Kontrak internasional  tertulis
3. sifat
Perjanjian internasional  mengikat (public)  bisa terbuka, bisa tertutup
Kontrak internasional  privat (tertutup)
4. subyek
Perjanjian internasional  Negara dan organisasi internasional
Kontrak internasional  orang / badan hukum
5. unsure-unsur:
Perjanjian internasional  perbuatan hukum, persesuaian kehendak, pernyataan kehendak saling bergantung pada yang lain.
6. obyek
Perjanjian internasional hal-hal yang bersifat public (kewarganegaraan)
Kontrak internasional  privat (jual beli, perkawinan)
7. bidang hukum
Perjanjian internasional publik
Kontrak internasional  privat


Contoh:
Dalam loan agreement, bila pihak ketiga yang membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia adalah subyek hukum perdata (commercial bank, misalnya) maka perjanjian merupakan kontrak bisnis internasional yang berdimensi public. Sementara bila pihak ketiga yang membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia adalah subyek hukum internasional, seperti negara atau organisasi internasional, maka loan agreement akan masuk dalam kategori perjanjian internasional. Dari sinilah dapat dilihat bahwa subyek hukum yang paling tegas menyatakan perbedaan hukum perjanjian internasional dengan hukum kontrak internasional.






2. Perbedaan sistematika Konvensi Wina 1969 dan UU No. 24 Tahun 2000 dalam bentuk matriks.
Perbedaan Konvensi Wina 1969 UU No. 24 Tahun 2000
Bagian I pengantar terdiri atas 5 pasal, yaitu pasal 1 sampai dengan pasal 5.
pasal 1 tentang ruang lingkup konvensi.
Pasal 2 tentang arti istilah-istilah yang digunakan dan sering dijumpai dalam konvensi.
Pasal 3 tentang perjanjian atau persetujuan internasional.
pasal 4 tentang konvensi dan ketentuan-ketentuan dalam konvensi tidak memiliki daya berlaku surut.
pasal 5 tentang perjanjian internasional adalah dasar untuk membentuk OI dan perjanjian-perjanjian internasional. pengantar terdiri atas 3 pasal, yaitu pasal 1 sampai dengan pasal 3.
pasal 1 tentang arti istilah-istilah dalam perjanjian internasional. Pasal 2 tentang pertimbangan politis dan langkah-langkah yang diperlukan menteri dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional menyangkut kepentingan publik. pasal 3 tentang empat cara pemerintah RI mengikatkan diri pada perjanjian internasional.
Bagian II pembuatan atau perumusan dan mulai berlakunya suatu perjanjian internasional yang terbagi lagi dalam 3 seksi:
seksi 1 tentang pembuatan atau perumusan perjanjian,
seksi 2 tentang pensyaratan atau reservasi yang dapat diajukan negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian,
seksi 3 tentang mulai berlaku dan penerapan sementara atas suatu perjanjian.
Semuanya meliputi 19 pasal dari pasal 9 sampai dengan pasal 25. pembuatan perjanjian internasional, terdiri dari 5 pasal dari pasal 4 sampai dengan pasal 8.
Bagian III penghormatan, penerapan, dan penafsiran suatu perjanjian internasional, terdiri dari 4 seksi:
Seksi 1 tentang asas pacta sunt servada.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional.
Seksi 3 tentang penafsiran atas perjanjian internasional.
seksi 4 tentang hubungan antara perjanjian dengan pihak ketiga.
Semuanya terdiri dari 12 pasal yaitu pasal 26 sampai dengan 38. pengesahan perjanjian internasional, terdiri dari 6 pasal dari pasal 9 sampai dengan pasal 14.
Bagian IV amandemen dan modifikasi atas suatu perjanjian internasional, terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 39, 40, 41. pemberlakuan perjanjian internasional, terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 15 dan 16.
Bagian V ketidaksahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional terdiri dari 5 seksi.
Seksi 1 tentang ketentuan umum.
Seksi 2 tentang ketidaksahan suatu perjanjian internasional.
seksi 3 tentang pengakhiran dan penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional. seksi 4 tentang prosedur yang harus diikuti berkenaan dengan masalah seperti tersebut pada seksi 3.
seksi 5 tentang konsekuensi dari ketidaksahan, pengakhiran atau penundaan dari berlakunya suatu perjanjian internasional.
Semuanya terdiri dari 30 pasal, yaitu dari pasal 42 sampai dengan pasal 72 Penyimpanan perjanjian internasional, yaitu pasal 17 yang terdiri dari 5 ayat.
Bagian VI ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 73, 74 dan 75 pengakhiran perjanjian internasional, terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 18, 19, 20
Bagian VII penyimpanan, pemberitahuan, perbaikan, dan pendaftaran suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 76 sampai dengan pasal 80 ketentuan peralihan yaitu pasal 21 yang isinya, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, pembuatan atau pengesahan perjanjian internasional yang masih dalam proses, diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Bagian VIII ketentuan-ketentuan akhir yaitu berupa ketentuan yang dari segi sistematikanya memang layak ditempatkan pada bagian paling akhir dari suatu naskah peranjian atau konvensi. Terdiri dari 5 pasal.
Pasal 81 tentang penandatanganan konvensi.
Pasal 82 tentang ratifikasi.
Pasal 83 tentang aksesi
Pasal 84 tentang mulai berlakunya
Pasal 85 tentang naskah Konvensi yang otentik. ketentuan penutup yaitu pasal 22, yang isinya, undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undnag ini melalui Lembaran Negara Republik Indonesia.





Problem Task
Apakah Memorandum of Understanding (MoU) dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian internasional?
Penamaan atau nomenclature dari perjanjian internasional sama sekali tidak menentukan bobot juridis. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Konvensi Wina, instrument internasional ataupun peraturan perundang-undangan nasional. Dengan demikian secara teknis perjanjian internasional dapat diberi nama Treaty, Convention, Covenant, Agreement, Protocol, bahkan Memorandum of Understanding (MoU) disebut juga dengan kontrak awal (pra kontrak atau Memorandum of Understanding-MoU); Hanya untuk yang terakhir perlu diperhatikan karena istilah ini mempunyai dua pengertian dan bukan karena penerapan di negara common law.
Memorandum of Understanding atau disebut juga nota kesepahaman merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bisnis dan hukum. Banyak orang, perusahaan atau para pelaku bisnis, memakai istilah itu untuk aktivitas bisnisnya. Akan tetapi seringkali istilah tersebut menimbulkan kerancuan. Orang banyak merasa rancu untuk membedakan antara pengertian Memorandum of Understanding (MOU) dengan sebuah perjanjian.
Sejauh mana perbedaan Memorandum of Understanding (MoU) lebih menunjuk kepada bentuk kesamaan pandangan bagi para pihak pembuatnya. Kesamaan pandangan bagi para pihak dan kesamaan kehendak yang kemudian di wujudkan dalam bentuk tertulis. Adanya kesepahaman itu bisa menimbulkan akibat bisnis bagi para pihak tergantung sejauh mana para pihak saling bersepaham, namun belum mempunyai akibat hukum. MoU ibarat ikatan pertunangan diantara dua orang yang dapat diputus oleh salah satu pihak dan bila pertunangan itu diputus atau tidak diwujudkan dalam tali perkawinan, tidak membawa konsekuensi hukum apapun. Berbeda halnya dengan Perjanjian yang ibarat perkawinan tidak dapat diputus begitu saja tanpa adanya putusan hukum dimana pemutusan itu menimbulkan akibat hukum terhadap anak dan harta.
Dalam MoU, kesepahaman para pihak yang tertuang dalam bentuk tertulis dimaksudkan sebagai pertemuan keinginan antara pihak yang membuatnya. Sedangkan akibat dari Memorandum of Understanding apakah ada dan mengikat kepada para pihak, sangat tergantung dari kesepakatan awal pada saat pembuatan dari Memorandum of Understanding tersebut. Ikatan yang muncul dalam MoU adalah ikatan moral yang berlandaskan etika bisnis, sedangkan ikatan dalam perjanjian merupakan ikatan hukum yang berlandaskan pada aturan hukum dan pada kesepakatan para pihak yang dipersamakan dengan hukum.
Sebagai ikatan hukum pengertian perjanjian atau agreement merupakan pertemuan keinginan (kesepakatan yang dicapai) oleh para pihak yang memberikan konsekuensi hukum yang mengikat kepada para pihak, untuk melaksanakan poin-poin kesepakatan dan apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi, maka pihak yang wanprestasi tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan sebagaimana disepakati dalam perjanjian. Sedangkan pada MoU tidak ada kewajiban yang demikian.
Dalam praktek sering terjadi judul yang digunakan Memorandum of Understanding, namun isinya merupakan perjanjian yang sudah mengikat para pihak sehubungan dengan isi perjanjian tersebut.
Rumusan yang berlaku umum adalah semakin banyak detil dimasukkan dalam suatu kontrak, maka akan semakin baik pula kontrak tersebut. Karena kalau kepada masalah sekecil-kecilnya sudah disetujui, kemungkinan untuk timbul perselisihan di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin. Karena itu tidak mengherankan jika dalam dunia bisnis terdapat kontrak yang jumlah halamannya puluhan bahkan ratusan lembar. Hanya saja demi alasan praktis terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini dilakukan karena yangdilakukanbaruhanyaikatan dasar, di mana para pihak belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan detail-detailnya dan agar ada suatu komitmen di antara para pihak, sementara detailnya dibicarakan dikemudian hari. Untuk itu disepakati dahulu prinsip-prinsip dasar dari suatu kesepakatan. Kesepakatan semacam ini sering disebut sebagai Memorandum of Understanding (Selanjutnya disingkat M.O.U).
Apa yang namanya M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di Indonesia. Tetapi dewasa ini sering dipraktekkan dengan meniru (mengadopsi) apa yang dipraktekkan secara internasional. Jadi sebenarnya dengan kita memberlakukan M.O.U itu telah ikut memperkaya khasanah pranata hukum di Indonesia ini.
Dengan tidak diaturnya M.O.U di dalam hukum konvesional kita, maka banyak menimbulkan kesimpangsiuran dalam prakteknya, misalnya apakah M.O.U sesuai dengan peraturan hukum positif di Indonesia, atau apakah M.O.U bisa dikategorikan setingkat dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu pengingkaran di dalam kesepakatan semacam ini, juga yang paling ekstrim adalah ada yang mempertanyakan apakah M.O.U merupakan suatu kontrak, mengingat M.O.U hanya merupakan suatu nota-nota kesepakatan saja.
MoU secara teoritis merupakan ikatan moral, bukan ikatan hukum. Namun dalam praktek kerap tidak dibedakan antara ikatan moral ataupun ikatan hukum. Hal penting untuk diperhatikan adalah melihat substansi. Apabila substansi berisi ikatan hukum bahkan diintensikan sebagai ikatan hukum maka MoU berisi harapan-harapan dan masih akan ditindaklanjuti dengan ikatan hukum berupa perjanjian internasional maka MoU tersebut merupakan ikatan ikatan moral yang tidak dapat mempunyai dampak sebagai perjanjian internasional.
Mou bisa dikategorikan sebagai perjanjian internasinal apabila MoU itu memenuhi unsure-unsur perjajian internasional tersebut yaitu kata:
a. kata sepakat
b. subyek-subyek hukum
c. berbentuk tertulis
d. obyek tertentu
e. tunduk pada atu diatur oelh hukum internasional

Sumber:
I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan 1, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 51-69.
http://treatyroom.blogspot.com/2009/07/catatan-atas-masalah-aktual-dalam.html
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2&Itemid=2.
http://www.lexregis.com/?menu=legal_article&id_la=11.
PERTEMUAN KE-4
FTA CHINA-ASEAN Disepakati
Berdasarkan kesamaan itikad untuk memperluas jangkauan kerjasama ekonomi, Negara-negara ASEAN dan China mengadakan pertemuan tingkat Menteri diselenggarakan di Pnomh Phen, Kamboja. Pertemuan pada tahun 2002 tersebut melahirkan Framework Agreement on Compherensive Economic Co-operation between ASEAN-China. Mereka sepakat untuk menurunkan tariff perdagangan untuk beberapa sector hingga 0%. Pertanian, tekstil, teknologi informasi, pengembangan sumber daya manusia, dan investasi menjadi substansi dari persetujuan ini. Mereka sepakat untuk menerapkan beberapa ketentuan berbeda di Negara-negara ASEAN.

Problem Task
1. Dari segi kaidah hukum yang dilahirkan termasuk ke dalam apakah FTA China-ASEAN tersebut?
2. Dari segi prosedur atau tata cara pembentukannya, termasuk ke dalam apakah FTA China-ASEAN tersebut?
3. Sebutkan jangka waktu berlakunya FTA China-ASEAN tersebut?

Answers
1. Dari segi kaidah hukum yang dilahirkan FTA China-ASEAN termasuk ke dalam perjanjian internasional berbentuk multilateral yang melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang terikat. Perjanjian ini termasuk ke dalam treaty contract.
Acuan: pada pasal 7 FTA China-ASEAN dan mukadimah paragraph ke-8
1. Para Pihak setuju untuk memperkuat kerjasama mereka dalam 5 sektor prioritas sebagai berikut:
1. pertanian;
2. teknologi informasi
3. pengembangan sumber daya manusia;
4. investasi, dan
5. Cekungan Sungai Mekong pembangunan
2. Kerjasama harus diperluas kedaerah lain, termasuk, namun tidak terbatas pada, perbankan, keuangan, pariwisata, kerjasama industry, transportasi, telekomunikasi, hak kekayaan intelektual, kecil dam menengah (UKM), lingkungan, bio-teknologi, perikanan, kehutanan dan produk kehutanan, pertambangan, energy dan pengembangan sub-regional.
3. Langkah-langkah untuk memperkuat kerjasam harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada:
1. promosi dan fasilitasi perdagangan barangd an jasa, dan investasi, seperti:
1. standard an penilaian kesesuaian;
2. hambatan teknis untuk perdagangan/tindakan-tindakan non-tarif, dan
3. kebiasaan kerjasama;
2. meningkatkan daya saing UKM;
3. promosi perdagangan elektronik;
4. kapasitas dan
5. transfer teknologi.
4. Para Pihak setuju untuk mengimplementasikan program peningkatan kapasitas dan batnuan teknis, terutama bagi Negara-negara Anggota ASEAN yang baru, dalam rangka menyesuaikan struktur ekonomi mereka dan memperluas perdagangan dan investasi dengan China.
Mukadimah paragraph ke-8
Menegaskan kembali hak, kewajiban dan usaha dari para PIhak dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan perjanjian multilateral, regional dan bilateral lainnya dan pengaturan;
Disini menyatakan perjanjian internasional sudah diadobsi oleh WTO.

Perjanjian internasional semacam ini merupakan perjanjian yang karena berlakunya hanya terbatas bagi para pihak yang melakukan perundingan dan yang kemudian terikat pada perjanjian tersebut, maka kaidah hukum yang dilahirkannyapun berlakunya hanya khusus bagi pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian semacam ini bisa berbentuk perjanjian bilateral ataupun multilateral terbatas. Kaidah hukum yang terkandung didalam perjanjian ini juga dapat berkembang menjadi kaidah hukum yang berlaku umum, apabila substansi dari perjanjian khusus itu diikuti oleh Negara-negara lain, baik dengan cara mengadakan perjanjian khusus dengan materi yang sama maupun dengan melakukan praktek-praktek yang isi dan jiwanya sama seperti apa yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian khusus mengenai masalah yang sama yang sudah ada dan berlaku sebelumnya. Inilah yang lazim disebut dengan perkembangan suatu perjanjian khusus menjadi kaidah hukum yang berlaku umum melalu proses pembentukan hukum kebiasaan internasional.
2. Dari segi prosedur atau tata cara pembentukannya, FTA China-ASEAN termasuk ke dalam perjanjian internasional “2 TAHAP” (perundingan dan penandatanganan). Penandatanganan disini sebagai:
a. penerimaan naskah
b. pengesahan perjanjian
Perjanjian internasional tidak langsung mengikat warga Negara tetapi harus sitransfer ke dalam hukum positif terlebih dahulu yatiu UU dan Kepres.
Acuan:
Bagian penutup FTA China-ASEAN dan pasal 10 UU No. 24 tahun 2000
Bagian penutup FTA China-ASEAN
“SEBAGAI BUKTI, KAMI telah menandatangani Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Kompherensif-antara Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Cina.”
Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000
“Pengesahan perjanjian Internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”

Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan – ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang – undang yang dikenal sebagai Undang – Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan Undang – undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut. Perjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dalam Undang – undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi ketentuan suatu Undang – Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang – undang Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional tersebut tidak dapat dilaksanakan. Agar Negara Indonesia dapat tunduk, terikat dan dapat melaksanakan perjanjian internasional maka perjanjian internasional perlu diratifikasi dengan Undang – Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Perjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dalam Undang – undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional.

3. Jangka waktu berlakunya FTA China-ASEAN yaitu “DICANTUMKAN TEGAS”.
Acuan:
Pasal 8 Agreement :
1. Untuk perdagangan barang, negosiasi mengenai perjanjian untuk pengurangan atau penghapusan tariff dan hal lain-lain sebagiamna diatur dalam Pasal 3 dari persetujuan ini harus dimulai pada awal 2003 dan pada tanggal 30 Juni 2004 dalam rangka untuk membentuk FTA ASEAN-China yang mencakup perdagangan barang pada tahun 2010 untuk Brunei, Cina, Indoneisa, Malaysia, Filipina, SIngapura dan Thailand, dan pada tahun 2015 untuk anggota baru ASEAN.
2. Negosiasi mengenai Peraturan Asal untuk perdagangan dalam barang-barang berdasarkan Pasal 3 dari Persetujuan in harus diselesaikan paling lambat Desember 2003.
3. Untuk perdagangan jasa dan investasi, negosiasi mengenai perjanjian harus dimulai pada tahun 2003 dan akan diakhiri secepat mungkin untuk implementasinya sesuai dengan kerangka waktu yang disepakati bersama: (a) dengan mempertimbangakn sector-sektor yang sensitive bagi para Pihak; dan (b) dengan perlakuan khusus dan berbeda serta fleksibilitas bagi Negara-negara Anggota ASEAN yang baru.
4. Untuk daerah lain dari kerjasama ekonomi di Bab 2 dari Persetujuan ini, Para Pihak akan terus membangun program yang ada atau yang disepakati diatur dalam Pasal 7 Perjanjian ini, mengembangkan program-program ekonomi baru kerjasama dan membuat perjanjian di berbagai bidang kerjasama ekonomi. Para Pihak akan melakukannya secepatnya untuk implementasi awal dengan cara dan pada kecepatan yang dapat diterima oleh semua pihak yang bersangkutan. Perjanjian harus mencakup kerangka waktu untuk penerapan komitmen di dalamnya.


KELOMPOK I
2.1. Proses Pembentukan Perjanjian Internasional Secara Umum
2.1.1 Dari pendekatan informal menuju langkah formal
Dalam merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu masalah tertentu terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, baik yang bersifat informal maupun formal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu. Pendekatan-pendekatan informal dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan informal antara para diplomat ataupun pejabat negara, ataupun dilakukan melalui forum organisasi internasional baik yang regional maupun global. Sedangkan pendekatan formal sebgaimana diatur dalam konvensi Wina 1969 adalah dengan penunjukan masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk mengadakan perundingan, penyerahan surat kuasa atau pertukaran kuasa penuh (full powers) oleh wakil-wakil masig-masing pihak, dilanjutan dengan perundingan, yaitu perundingan untuk membahas materi yang akan dimasukkan dan dirumuskan sebagai pasal-pasal perjanjian, dilanjutkan dengan penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text), pengotentikasian naskah perjanjian (authentication of the text), peryataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty), saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional (entry into force of a treaty), penyimpana naskah perjanjian (deository of a treaty), serta pendaftaran dan pegumumannya (registration and publication). Waktu atau saat mulai berlakunya (entry into force of a treaty) adaah merupakan saat perjanjian itu berstatus sebagai kaidah hukum internasional positif yang mengikat para pihak yang sudah menyatakan persetujuannya untuk terikatpada perjanjian.
2.1.2 Penunjukan wakil-wakil yang akan mengadakan perundingan
Untuk mengadakan perundingan dalam rangka merumuskan naskah perjanjian, maka para pihak terlebih dahulu menunjuk wakil-wakilnya yang akan mengadakan perundingan tersebut, yang merupakan suatu delegasi dari masing-masing pihak, terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Pada umumnya orang yang ditunjuk tersebut adalah warga negaraya sendiri, seperti pejabat-pejabat negaranya, orang-orang yang menjadi warga negaranya yang bukan pejabat negara tetapi emiliki keahlian dalam bidang yang akan diatur di dalam perjanjian tesebut. Sedangkan orang asing dapat ditunjuk hanya terbatas sebagai penasehat delegasi atau sebagai konsultan ahli.
2.1.3 Kuasa penuh (Full Powers)
Wakil-wakil yang telah ditunjuk oleh pemerintah negaranya masing-masing, selanjutnya dilengkapi dengan kuasa penuh (ull powers) yang berfungsi sebagai bukti, bahwa orang atau individu yang bersangkutan secara sah mewakili negaranya dalam perundingan atau konperensi untuk merumuskan naskah perjanjian atauun melakukan tindakan-tindakan lain yang dipandang perlu dalam kaitannya dengan perjanjian yang dirumuskannya itu. Disamping itu kuasa penuh (full powers) juga berfungsi untuk menunjukkanruang lingkup tugas dan kewenangan yng diberikan kepadanya oleh pemerintah negaranya sendiri.
Isi dari kuasa penuh tersebut merupakan pernyataan mengenai batas-batas tugas dan kewenangan yang diberikan oleh pemeritnah negaranya terhadap wakilnya itu. Kalau perjanjiannya mengenai masalah yang sangat penting bagi para pihak, biasanya tugas dan wewenang yang diberikan kepada wakilnya seperti tercantum daam kuasa penuh, hanya sampai penandatanganan atau pengotentikan naskah perjanjian. Sedangkan untuk menyatakan persetujuan terikat pada perjanjian, akan dilakukan oleh organ atau lembaga yang berwenang dari negara itu sendiri. Sebaliknya untuk perjanjian yang substansinya kecil dan lebih bersifat masalah teknis, para wakil itu diberikan tugas dan wewenang hingga sampai pada persetujuan terikat pada perjanjian. Jadi untuk menyatakan persetujuan terikat pada perjanjian tidak perlu lagi oleh lembaga yang berwenang dari negara-negara itu, tetapi sudah cukup oleh wakil itu sendiri.
2.1.4 Penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text)
Setelah tahap perundingan dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian. Tahap ini menunjukkan bahwa para pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atas naskah perjanjian, meskiun kesepakatan itu belum merupakan kesepakatan final atau belum merupakan naskah yang definitive.
Proses penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian menurut pasal 9 ayat 1 sebagai berikut: “PEnyetujuan teks suatu perjanjian terjadi melalui persetujuan semua negara yang turut serta di dalam merancangkannya kecuali seperti ditentukan di dalam paragraph 2”. Pasal 9 ayat 2 : “Penyetujuan teks perjanjian pada suatu konferensi internasional terjadi dengan suara 2/3 negara yang hadir dan memberikan suara kecuali bila melalui suara mayoritas itu mereka akan memutuskan untuk menerapkan aturan yang berbeda”.
2.1.5 Pengotentikan naskah perjanjian (authentication of the text)
Pengotentikan atau pengesahan naskah suatu perjanjian internasional adalah merupakan tahap lanjutan dari penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian. Pengotentikan atau pengesahan ini akan meningkatkan status dari naskah perjanjian yang sudah melewati tahap penerimaan, menjadi naskah yang final dan definitife. Dengan status yang final dan definitife ini, maka naskah perjanjian itu tidak lagi dapat diubah, kecuali nanti setelah perjanjian itu mulai berlaku, dapat diubah melalui prosedur modifikasi ataupun amandemen sesuai dengan pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri atau jika perjanjian itu tidak mengaturnya menurut prosedur seperti ditentukan dalam bagian IV pasal 39-41.
Pengotentikan atau peresmian teks diatur dalam pasal 10 butir a dan b Konvensi Wina 1969. pasal 10 butir a menyatakan: ”Melalui prosedur yang boleh ditentukan di dalam teks atau disetujui oleh negara-negara peserta di dalam perancangannya”. Pasal 10 butir b menyatakan: ” Tidak melalui prosedur itu, dengan penandatanganan, ad referendum, atau pemarafan oleh wakil-wakil negara itu atas teks perjanjian atau final act-nya dari suatu konferensi yang memuat teks tersebut”.

2.2 Proses pembentukan perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969
Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis dalam bentuk dan nama tertentu serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tertentu (negara atau organisasi). Dalam hukum internasional, tahapan pembuatan hukum internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (Perjanjian) Internasional. Konvensi tersebut mengatur tahap-tahap pembuatan perjanjian baik bilateral (dua negara) mau pun multilateral (banyak negara).
Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melakukan tahap-tahap pembuatan perjanjian. Tahap-tahap tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu mulai dari perundingan antarnegara yang berkepentingan, penandatanganan MOU, agreement, atau pun treaty yang mengikat negara-negara yang membuat perjanjian, mensahkan perjanjian tersebut melalui ratifikasi yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen.
Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyebutkan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional, yaitu
a. Perundingan (Negotiation)
Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan.
b. Penandatanganan (Signature)
Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian.
c. Pengesahan (Ratification)
Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Di Indonesia, tahapan pembuatan perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 6 ayat (1) disebutkan pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini
a. Penjajakan, merupakan tahap awal yang dilakukan para pihak yang akan melakukan perundingan mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
b. Perundingan, merupakan tahap setelah adanya kesepakatan yang dibuat dalam tahap penjajakan. Perundingan merupakan tahap kedua yang membahas materi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
c. Perumusan naskah, merupakan tahap pembuatan perjanjian internasional yang tujuannya untuk merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional yang akan ditandatangani para pihak terkait.
d. Penerimaan, merupakan tahap penerimaan para pihak atas naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati.
e. Penandatanganan, yaitu tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak.
Terdapat perbedaan kekuatan untuk mengikat dalam perjanjian bilateral (perjanjian dua negara) dengan perjanjian multilateral (banyak negara). Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “penerimaan”. Penerimaan dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) umumnya merupakan tindakan pengesahan suatu negara atas perubahan perjanjian internasional.
Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak yang tunduk pada ketentuan perjanjian internasional. Di Indonesia, sesuai ketentuan Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, proses mengikatkan diri pada perjanjian internasional dilakukan melalui cara-cara berikut.
a. penandatanganan,
b. pengesahan,
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik,
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

Negara dapat dikatakan terikat pada perjanjian internasional setelah dilakukan pengesahan baik dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), maupun penyetujuan (approval). Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
a) Ratifikasi (ratification),
Ratifikasi (ratification) dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian.
b) Aksesi (accession),
Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.
c) Penerimaan (acceptance) dan Penyetujuan (approval).
Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.
Selain pengesahan, negara-negara yang terlibat dalam perjanjian intenasional dapat menyatakan persyaratan (reservation) atau deklarasi/ (declaration). Reservasi (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Pernyataan (declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Pernyataan dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas makna ketentuan tersebut. Dalam praktiknya, terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah penandatanganan. Untuk perjanjian-perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan terdapat beberapa bentuk pengesahan.
2.3 Pengaturan tentang kuasa penuh dalam Konvensi Wina 1969
Pasal 7 dan 8 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang kuasa penuh. Pasal 7 ayat 1 berkenaan dengan kewajiban menyerahkan kuasa penuh dari wakil negara dan ayat 2 berkenaan dengan pejabat-pejabat negara yang tidak membutuhkan kuasa penuh. Pasal 8 mengatur tentang orang yang sebenarnya tidak membawa atau tidak mempunyai kuasa penuh tetapi bertindak mewakili negaranya dalam mengadakan suatu perjanjian itnernasional, yang membutuhkan konfirmasi belakangan dari pemerintah negaranya. Ketentuan pasal 7 mengenai full powers. Pasal 7 angka 1 menyatakan: ”Seseorang dianggap mewakili sesuatu negara untuk maksud menyetujui atau mengesahkan teks suatu perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu untuk diikat oleh suatu perjanjian jika:
(a) Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya; atau
(b) Terlihat dari praktek negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tersebut mewakili negara untuk maksud-maksud demikian dan membebaskannya dari full powers”.
Pasal 7 angka 2 menyatakan: ”Berdasarkan fungsi-fungsi mereka dan tanpa harus memperlihatkan full powers, yang berikut ini dianggap mewakili negara mereka:
(a) Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri, untuk maksud melakukan semua tindakan yang berhubungan dengan penutupan suatu perjanjian;
(b) Kepala Missi Diplomatik, untuk maksud menyetujui teks perjanjian antara negara pengirim dan negara dimana mereka diakreditasikan;
(c) Wakil-wakil yang dikirim oleh suatu negara kepada suatu konferensi internasional atau suatu organisasi internasional atau satu dari organ-organnya, untuk maksud menyetujui teks perjanjian di dalam konferensi itu, organisasi itu, atau organnya”.
Selanjutnya dalam pasal 8 ditegaskan kemungkinan adanya orang yang tidak menunjukkan kuasa penuh dari organ pemerintah negaranya yang berwenang tetapi bertindak mengadakan perundingan untuk merumuskan maupun mengadopsi suatu perjanjian internasional. Tindakan yang demikian ini dipandang tidak menimbulkan akibat hukum apapun, kecuali kemudian tindakannya itu dibenarkan oleh pemerintah negaranya. Jadi pertama-tama tindakan orang yang tidak membawa atau tidak dapat menunjukkan kuasa penuh dari organ negaranya yang berwenang, dipandang sebagai tindakan yang tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Dengan kata lain, Konvensi Wina 1969 ini masih memandang kuasa penuh sebagai suatu yang utama, meskipun terdapat kecenderungan masyarakat internasional untuk tidak terlalu menjadikan kuasa penuh ini sebagai syarat formal untuk dapat melakukan perundingan maupun mengadopsi naskah suatu perjanjian internasional, mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telekomunikasi, transportasi, dan informasi sebagaimana yang terjadi pada masa kini dan yang akan datang. Seperti telah dikemukakan di atas, tindakan seseorang yang walaupun tidak memeprlihatkan kuasa penuh dalam prakteknya dengan berwenang dari negaranya melalui sarana telekomunikasi modern yang ada. Dengan demikian kemungkinan tidak sahnya atau tidak ada akibat hukumnya suatu pengadpsian naskah perjanjian yang dilakukan oleh seseorang tanpa memperlihatkan kuasa penuh, dalam kenyataannya relatif kecil terjadinya bahkan dapat dikatakan tidak terjadi sama sekali. Jadi sebelum orang yag bersangkutan bertindak, pihak mitranya dapat mengkonfirmasikan terlebih dahulu kepada organ negaranya yang berwenang, demi menghindari terjadinya akibat yang tidak dikehendaki tersebut.
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Secara umum proses pembentukan perjanjian internasional dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Dari pendekatan informal menuju langkah formal
b. Penunjukan wakil-wakil yang akan mengadakan perundingan
c. Kuasa penuh (full powers)
d. Penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text)
e. Pengotentikasian naskah perjanjian (authentication of the text)
3.1.2 Proses pembentukan perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 melalui tahapan sebagai berikut:
a. perundingan (negotiation),
b. penandatanganan (signature),
c. pengesahan (ratification).
3.1.3 Pengaturan tentang kuasa penuh dalam Konvensi Wina 1969, diatur dalam pasal 7 dan 8 Konvensi Wina. Pasal 7 ayat 1 berkenaan dengan kewajiban menyerahkan kuasa penuh dari wakil negara. Dan ayat 2 berkenaan dengan pejabat-pejabat negara yang tidak membutuhkan kuasa penuh. Pasal 8 mengatur tentang orang yang sebenarnya tidak membawa atau tidak mempunyai kuasa penuh tetapi bertindak mewakili negaranya dalam mengadakan suatu perjanjian internasional, yang membutuhkan konfirmasi belakangan dari pemerintah negaranya.
KELOMPOK II
(PENGIKATAN PADA PERJANJIAN INTERNASIONAL)
Dalam pasal 11 Konvensi Wina 1969, ditegaskan beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, yaitu dengan penandatanganan (signature), pertukaran instrument yang membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi (approval or accession), ataupun dengan cara lain yang disepakati (or by any other means if so agreed).
2.1 persetujuan untuk terikat pada perjanjian yang dinyatakan dengan cara penandatanganan
Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
Penandatanganan suatu perjanjian internasional tidak sekaligus dapat diartikan sebagai pengikatan diri pada perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan, tidka mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.
Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan utnuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (accession) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
Penandatanganan perjanjian itnernasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakkilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian.
Suatu perjanjian internasional dimana negara-negara menyatakan persetujuanya untuk terikat dilakukan dengan penandatanganan (signature) oleh wakilnya yang mengadakan perundingan,d ari segi substansinya tergolong sebagai perjanjian yang kurang penting atau lebih bersifat teknislah, maka pengikatan diri pada perjanjian sudah cukup dilakukan oleh wakilnya saja, jadi tidak perlu lagi organ pemerintahan yang berwenang.
Dari kutipan diatas pasal ini tampak, bahwa yang melakukan penandatanganan adalah wakil-wakil dari negara-negara yang melakukan perundingan. Perundingan yang nanatinya akan menghasilkan naskah perjanjian, selanjutnya naskah perjanjian itu ditandatangani oleh wakil-wakil tersebut yang juga mengandung makna sebagai persetujuan dari negaranya itu masing-masing untuk terikat pada perjanjian. Wakil-wakil negara yang terlibat dalam perundingan sekaligus mewakili negaranya dalam menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian.
2.2 persetujuan untuk terikat pada perjanian yang dinyatakan dengan pertukaran instrumen-instrumen yang memberntuk perjanjian
Di dalam pasal 13 ditegaskan bahwa persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian dengan melalui cara-cara pertukaran instrumen-instrumen tentang pembentukan perjanjian antara mereka, berarti persetujuan untuk terikat pada perjanjian dinyatakana dengan pertukaran tersebut, apabila:
• Instrumen tersebut menetapkan bahwa pertukaran itu memiliki efek sebagai pernyataan persetujuan untuk teriakt pada eprjanjian itu, atau
• Sebalikny aditentukan jika negara-negara itu menyepakati bahwa pertukaran instrumen akan menimbulkan akibat bahwa mereka terikat pada perjanjian itu.
Berbeda dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan penandatanganan yang dilakukan oleh wakil-wakil para pihak yang melakukan perundingan, dalam hal persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan pertukaran instrumen ini, dilakukan oleh organ pemerintah yang berwenang dari masing-masing pihak. Dengan demikian, wakil-wakil para pihak yang setelah mengadopsi ataupun mengotentikasi naskah perjanjian, selanjutnya haruslah menyampaikan naskah perjanjian itu kepada organ pemerintahannya yang berwenang. Selanjutnya organ pemerintah yang berwennag itulah yang kana memutuskan apakah akan setuju untuk terikat pada perjanjian, dengan cara pertukaran instrumen tentang pembentukan perjanjian itu.

Penyederhanaan prosedur pertukaran piagam pengesahan dan penyimpanan piagam pengesahan
Pertukaran piagam ratiifkasi untuk perjanjian bilateral tidak begitu sulit karen ahanya menyangkut dua negara tetapi apabila sistem pertukaran piagam tersebut dipakai untuk perjanjian multilateral tentu hal itu akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanannya. Maka untuk perjanjian multilateral, prosedur pertukaran piagam ratifikasi diganti dengan penyimpanan piagam-piagam ratifikasi di tempat tertentu. Biasanya negara yang mengambil prakarsa untuk mengadakan konferensi yang menjadi negara penyimpan semua piagam ratifikasi. Tetapi bila suatu perjanjian dibuat atas inisiatif atau dalam lingkungan suatu organisasi internasional, sekretaris jenderal organisasi tersebutlah yan gmenyimpan piagam-piagam ratifikasi. Setiap kali sekjen menerima piagam ratifikasi, dia harus memeriksanya dan memberitahu penerimaan tersebut kepada negara-negara pihak lain. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap negara penyimpanan merupakan organ masyarakat negara-negara penandatanganan. Negara tersebut mempunyai fungsi internasional dan harus bertindak tanpa memihak.
2.3 persetujuan untuk terikat pada suaut perjanjian yang dinyatakan dengan ratifikasi, akseptasi dan persetujuan
Ratifikasi suatu konvensi atau perjanjian internasional lainnya hanya dilakukan oleh kepala negara/kepala pemerintahan. Pasal 14 Konvensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara. Hukum internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi perjanjian internasional maka negara tersebut akan terikat oleh perjanjian internasional tersebut, sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasiona tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditandatangani, selama materi atau substansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan perautran perundang-undangan nasional kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi. Dalam sistem hukum nasional kita, ratifikasi perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentnag Perjanjian Internasional.
Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian itnernasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjwab. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akna mengesahkan suatu perjanjian internasional tirut menandatangani naskah perjanjian internasional.
Rasio ratifikasi
• Kesempatan untuk meneliti kembali instrumen yang telah ditandatangani utusan kuasa
• Berdasarkan kedaulatannya maka satu negara berhak untuk menarik diri dari partisipasi
• Perjanjian internasional dapat menyebabkan perlunya penyesuaian hukum nasional
• Prinsip demokrasi yang menuntut pemerintah untuk berkonsultasi dengan parlemennya
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undnag-undnag apabila berkenaan dengan:
• Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara.
• Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
• Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
• Pembentukan kaidah hukum baru
• Pinjaman dan/atau hibah luar negeri
Di bidang internasional, tidak ada perbedaan antara ratifikasi dan akseptasi. Isitlah akseptasi ini dipakai baru semenjak beberapa dekade terakhir. Hanya kadang-kadang terdapat perbedaan di bidang nasional dimana formalitas akseptasi lebih sederhana dari formalitas ratifikasi. Namun tidka ada peraturan yang jelas mengenai perbedaan pemakaian kedua istilah tersebut di bidang intern, semua tergantung pada sistem konstitusional masing-masing negara. Di indonesia istilah yang dipakai adalah ratifikasi.
Dalam praktek perjanjian itnernasional, perjanjina-perjanjian intenrasional yang pihak-pihaknya menyatakan persetujuan terikat pada perjanjian itu dengan jalan ratifikasi, aksepsi atau persetujuan dari segi substansinya tergolong sebagai perjanjian yang penting, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun bagi masyarakat internasional pada umumnya. Dari sifatnya sendiri, perjanjian itu bisa merupakan terbuka maupun perjanjian tertutup, sedangkan ditinjau dari negara-negara yang menjadi pesertanya, baik multilateral terbatas maupun multilateral global.
Seperti juga persetujuan terikat pada perjanmian dengan pertukaran instrumen pembentukan perjanjian sebagaimana diuraikan ditas, persetujuan untuk terikat dengan ratifikasi, aksepsi, atau persetujuan pun juga dilakukan oleh organ pemerintah yang berwenang dari masing-masing negara yang bersangkutan. Hal ini dapat dimengerti karena substansi perjanjiannya sendiri tergolong penting dan terlalu tinggi bobotnya jika persetujuan untuk terikat pada perjanjian semacam itu dipercayakan pada wakil-wakilnya yang mengadakan perundingan.
2.4 persetujuan untuk terikat pada perjanjian yang dinyatakan dengan aksesi
Pasal 15 mengatur tentnag persetujuan terikat pada perjanjian dengan cara aksesi yang berbunyi sebagai berikut:
Persetujuan dari suatu negara untuk erikat pada suaut perjanjian intenrasiona dinyatakan dengan cara aksesi apabila:
a. Perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan tersebut dapat dinyatakan dengan cara aksesi
b. Ditentukan sebaliknya, bahwa negara-negara yang melakukan perundingan menyepakati bahwa persetujuan demikian itu dapat dinyatakan dengan cara aksesi
c. Semua pihak kemudian telah menyetujui bahwa persetujuan yang demikian itu dapat dinyatakan dengan cara aksesi
Berdasarkan pasal ini, yang isi dan jiwanya hampir sama dengan pasal 14 dan 15, bahwa suatu persetujuan terikat pada perjanjian dinyatakan dengan aksesi apabila:
Pertama, perjanjian itu sendiri menetapkan, bahwa perjanjian tiu sendiri di dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa persetujuan itu dapat dinyatakan dengan cara aksesi.
Kedua, jika sebaliknya ditetapkan bahwa negara-negara yang melakukan perundingan menyepakati bahwa persetetujuan untuk terikat itu dapat dinyatakan oleh negara itu dengan cara aksesi.
Ketiga, apabila semua pihak dalam perjanjian itu selanjutnya menyepakati bahwa persetujuan itu dapat dinyatakana dengan cara aksesi.
Selanjutnya pasal 16 mengatur tentang pertukaran dan penyimpanan instrumen ratifikasi, aksepsi, persetujuan atau aksepsi yang menyatakannya, kecuali jika perjanjian menentukan sebaliknya, instrumen-instrumen ratifikasi, aksepsi, persetujuan atau aksesi yang merupakan bukti persetujuan dari suatu negara untuk terikat pada perjanjian pada saat:
• Pertukarannya antara negara-negara yang terkait
• Penyimpanannya dengan pihak penyimpan
• Pemberitahuannya kepada negara-negara yang terkait atau pihak penyimpanan, jika disepakati demikian.

KELOMPOK III
(SAAT MULAI BERLAKUNYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL)
2.1 pengaturan tentang saat mulai berlakunya suatu perjanjian menurut Konvensi Wina 1969
Konvensi Wina 1969 mengatur tentnag mulai berlakunya suatu perjanjian internasional hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 24 ayat 1,2,3 dan 4. Pengaturan ini tampaknya lebih bersifat ketentuan umum dan sebagai pedoman saja, karena dapam prakteknya ternyata negara-negara memiliki kebebasan penuh untuk menentukan sendiri tentang saat dan cara mulai berlakunya perjanjian. Meskipun demikian, praktek-praktek yang sudah dianut tersebut tidak jauh menyimpang dari pedoman yang ditentukan dalam pasal 24 ini. Selanjutnya pasal 24 akan dibahas secara singkat seperti di bawah ini.
Pasal 24 ayat 1 menegaskan, bahwa suatu perjanjian internasional mulai berlaku dengan cara sedemikian rupa, dan pada suatu tanggal sebagaimanaditetapkan dalam perjanjian itu sendiri, atau sebagaiman adisepakati oleh negara-neara yang melakukan perundingan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa para pihak yang melakukan perundingan dan perumusan naskah perjanjian diberikan hak dan kebebasan sepenuhnya untuk mennetukan tentang kapan mulai berlakunya suatu perjanjian yang mereka buat. Saat berlakunya itu tentu saja disesuaikan denganisi dan sifat dari perjanjian itu masing-masing. Mengenai pengaturan tersebut pada umumnya dicantumkan secara tegas, para pihak yang melakukan perundingan itu sendirilah yang berdasarkan kesepakatan mereka untuk menetukan sendiri tentang saat mulai berlakunya perjanjian yang mereka buat.
Dalam pasal 24 ayat 2 ditegaskan, bahwa dalam suatu perjanjian ternayta ketetntuan tentang saat mulai berlakunya itu tidak ada ataupun kesepakatan itu tidak berhasil dicapai, suatu perjanjian internasional dikatakan muali berlaku ketika persetujuan untuk terikat pada perjanjianitu telah ditetapkan bagi semua negara yang melakukan perundingan. Namun sangat jarang ada perjanjian internasional yang tidak megatur tentnag saat mula berlakunya. Kecuali mungkin substasinya yang tergolong kecil dan sangat teknis yang bersifat bilateral, yang relatif mudah untuk diselesaikan jika timbul permasalahan antara pihak yang bersangkutan, termasuk tentnag masalah mulai berlakunya. Saat mulai berlakunya perjanjian internasional merupakan hal yang sangat penting bagi semua pihak, sebab pada saat itulah suatu perjanjian berubah statusnya menjadi kaidah hukum positif yang sekaligus juga melahirkan hak dan kewajiban hukum bagi para pihak yang teriakt pada perjanjian tersebut.
Pasal 24 ayat 3 mengatur tentang persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional yang dinyatakan pada waktu perjanjian itu sendiri telah berlaku. Jika suatu negara menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian internasional yang seperti itu, maka perjanjian itu mengikat negara yang bersangkutan pada waktu negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat, kecuali perjanjian itu sendiri menentukan lain. Berdasarkan ayat 3 ini, yang utama atau yan gsebagai ketentuan umumnya adalah, suatu negara mulai terikat pada suatu perjanjian yang telah berlaku (perjanjian multilateral terbuka), pada waktu negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. Ketentuan umum ini berlaku apabila perjanjian itu sendiri tidak mengaturnya secara lain. Jika perjanjian tiu mengaturnya tersendiri, maka mulai terikatnya negara yang bersangkutan sesuai dnegan ketentuan perjanjian itu sendiri.
Pasal 24 ayat 4 menegaskan, bahwa ketentuan-ketentuan tentang pengotentifikasian naskah perjanjian, ketentuan tentnag persetujuan negara-negara untuk terikat pada perjanjian, tentnag cara dan saat mulai berlakunya suatu perjanjian, tentang pensyaratan, fungsi-fungsi mengenai penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul sebelum suatu perjanjian mulai ebrlaku, dinyatakan berlaku terhitung mulai tanggal pengadopsian naskah perjanjiannya.
2.2 pemberlakuan atau penerapan sementara atas suatu perjanjian internasional menurut pasal 25 Konvensi Wina 1969
Suatu perjanjian internasional kadang-kadang oleh para pihak yang mengadakan perundingan dan merumuskan naskah perjanjian itu dipandang perlu untuk diterapkan untuk sementara waktu, sambil menunggu jatuh tempo mengenai saat mulai berlakunya secara tetap, suatu perjanjian dapat diberlakukan untuk sementara waktu.
Pasal 25 ayat 1 dan 2 Konvensi Wina 1969 secara khusus sudah mengatur tentang pemberlakuan atau penerapan sementara atas suatu perjanjian internasional. Pasal 25 ayat 1 menyatakan, suatu perjanjian internasional atau sebagian dari suatu perjanjian intenrasional diberlakukan atau diterapkan untuk sementra waktu sambil menunggu mulai berlakunya perjanjian tersebut. Jika:
a. perjanjian itu sendiri menentukan dmeikian
b. negara-negara yang melakukan perundingan menyepakati cara lain.
Dari ketentuan di atas maka tampak sekali bahwa pengaturan tentang pemberlakuan sementara baik untuks eluruh atau untuks ebagian dari si perjanjian, sepenuhnya terletak pada negara-negara yang melakukan perundingan.
Dalam hal ini perlu diperhatikan beberapa hal:
a. jika pemberlakuan sementara tersebut diatur secara khusus di dalam perjanjian itu sendiri, seperti tersebut pada pasal 25 ayat 1 butir a, tentulah pemberlakuannya sesuai dengan apa yang telah ditentukan tersebut.
b. pemberlakuan sementara tersebut, bisa atas seluruh maupun sebagian dari perjanjian, seperti tersebut pada pasal 25 ayat 1. Tentu saja pemberlakuan atas sebagian isi perjanjian dapat dilakukan sepanjang tidak akan mengganggu atau menghambat usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian tersebut.
c. pemberlakuan sementara tersebut bisa untuk seluruh negara yang melakukan peurndingan, ataupun untuk beberapa negara saja. Misalnya ada 10 negara yang melakukan perjanjian, tetapi hanya 3 atau 5 yang menyepakati untuk memberlakukan sementara, hal ini tentu saja bisa, sepanjang pemberlakuan sementara oleh beberapa negara itu tidak mengganggu maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri.
d. kemungkinan terjadinya kombinasi dari butir b dan c di atas, yaitu pemberlakuan atas seluruh isi perjanjian terhadap sebagian atau beberapa negara yang melakukan perundingan. Atau pemberlakuan sebagian dari perjanjian terhadap sebagian atau beberapa negara yang merlakukan perundingan.
e. pemberlakuan sementara tersebut adalah pada waktu sebelum negara-negara tersebut menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tiu. Setelah berakhirnya pemberlakuan sementara tersebut, barulah nantinya negara-negara yang terikat pada pemberlakuan sementara tersebut dapat menggunakan kesempatan untuk menolak utnuk terikat ataupun menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut.
f. batas waktu pemberlakuan sementara tersebut dapat diatur secara tegas, apabila memang perjanjian itu sendiri mengatur tentnag pemberlakuan sementara tersebut atau para pihaknya menyepakatainya. Sebaliknya bila batas waktu tersebut tidak ditegaskan ataupun para pihak tidak menyepakatinya, maka pemberlakuan sementara tersebut akan berakhir, setelah saat mulai berlakunya perjanjian itu secara tetap telah terpenuhi, atau untuk perjanjian multilateral terbuka pemberlakuan sementara masih bisa dilangsungkan terus antar pihak-pihak yang telah sepakat meskipun perjanjian itu sudah memenuhi ketentuan tentang saat mulai berlakunya secara tetap.
g. pemberlakuan sementara atas suatu perjanjian ini dimaksudkan sebagai uji coba atas materi dan pelaksanaan perjanjian itu, sejauh manakah seusia atau dapat memenuhi kepentingan dari para pihak yang sepakat memberlakukan sementara tersebut. Jika hasilnya positif bagi semua atau bebrapa negra tersebut, maka mereka pada suatu waktu akan melakukan persetujuannya untuk terikat. Sedangkan jika tidak sesuai atau merugikan, maka negara itu akan menolak atau tidak akan menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian itu.
2.3 saat mulai berlakunya perjanjian internasional dalam praktek
a. perjanjian internasional bilateral dan perjanjian multilateral terbatas mengenai suatu masalah yagn bersifat teknis atau hanya sebagai pelaksana atau relasi dari suatu perjanjian yang mengatur masalah yang lebih besar, dan wakil-wakil yang mengadakan perundingan diberikan kewenangan untuk menyatakan persetujuan untuk terikat dalam perjanjian dengan kuasa penuhnya, maka perjanjian demikian mulai berlaku saat ditandatanganinya perjanjian itu oleh wakil-wakil para pihak yang bersangkutan.
b. perjanjian internasional bilateral dan perjanjian multilateral yang substansinya berkenaan dengan masalah yang penting bagi pra pihak. Perlu ditegaskan dahulu penting atau tidaknya substansi suatu perjanjian internasional, sepenuhnya ditentukan oleh para pihak itu sendiri. Pengikatan atau persetujuan utnuk terikat pada perjanjian semacam ini tidak dilakukan oleh wakilnya, melainkan oleh lembaga atau organ pemerintah yang berwenang dari setiap negara masing-masing. Dan mengenai mulai berlakunya, ditentukan di dalam salah satu pasal dari perjanjian itu sendiri.
c. perjanjian internasional multilateral terbuka yang ruang lingkup substansinya global dan penting. Perjanjian semcam ini biasanya melalui konferensi yang panjang. Dan diperlukann persetujuan dari badan legislatifnya. Sehingga dapat diperkirakan tercapainya tujuan tersebut dan pada akhirnya negara yang bersangkutan akan meratifikasi perjanjian itu, sehingga akan ada perbedaan dari setiap negara dalam menyatakan persetujuannya untuk terikat dalam perjanjian. Maka perjanjian semcam ini waktu mulai berlakunya adalah pada suatu waktu, atau di saat setelah terpenuhinya jumlah minimal negara-negara yang menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dan bila kemudian ada negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat, maka ada beberapa pengaturan sesuai dengan kesepakatan perunding dan perumusan naskah perjanjian tersebut:
a. ada perjanjian yang menyatakan negara tersebut mulai terikat saat menyatakan persetujuan untuk terikat
b. ada perjanjian yang menyatakan bahwa negara tersebut mulai terikat beberapa waktu atau hari kesekian setelah negara itu menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian.
KELOMPOK IV
PENSYARATAN (RESERVATION)
Pengertian Reservation Menurut UU N0 24 Tahun 2000 Adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internaisonal yang bersifat multilateral.
Reservation dalam suatu perjanjian internasional merupakan suatu hal yang sangat penting, karena ketentuan tentang dibolehkannya suatu perjanjian internasional dapat diberikan pensyaratan, akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi negara-negara untuk ikut serta dalam perjanjian internasional. Walaupun tidak dapat dihindari bahwa ketika suatu negara mengajukan pensyaratan terhadap suatu perjanjian internasional yang akan diikutinya, maka akan timbul pula akibat-akibat hukum dari adanya pensyaratan tersebut. Hal ini disebabkan karena ada negara yang menerima dan ada pula negara yang menolak terhadap pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara.
 Ketentuan Mengenai Pensyaratan/Reservasi Dalam Konvensi Wina 1969
Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23. Dimana masing-masing pasal mengatur masalah penyusunan suatu pensyaratan (pasal 19), penerimaan dan penolakannya (pasal 20), akibat hukum dari penerimaan dan penolakan pensyaratan (pasal 21), pembatalan atau penarikan kembali suatu pensyaratan (pasal 22) dan prosedur mengenai pensyaratan (pasal 23).
 Akibat Hukum dari suatu pensyaratan.
Pasal 20 ayat 4 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum dari pensyaratan, yakni sebagai berikut:
1.Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara peserta lain,maka antara negara yang menyatakan pensyaratan dan negara yang menerimanya, perjanjian itu akan berlaku di antara mereka;
2.Suatu keberatan oleh negara peserta lain terhadap suatu pensyaratan tidak mengesampingkan berlakunya perjanjian (diantara mereka), kecuali jika maksud yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang berkeberatan tersebut;
3.Suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam suatu perjanjian dan berisikan suatu persyaratan,mulai berlaku sejak setidak-tidaknya satu peserta lain menerima persyaratan tersebut.
 Penarikan (withdrawal) dan Prosedur Pensyaratan
Penarikan diri terhadap pensyaratan mulai berlaku dalam hubungannya dengan negara peserta yang lain apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang bersangkutan, sedangkan penarikan keberatan atau penolakan terhadap pensyaratan mulai berlaku apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang mengajukan pensyaratan(Lihat pasal 22 ayat 3 Konvensi Wina 1969). Prosedur mengenai pensyaratan diatur dalam pasal 23 Konvensi Wina 1969, yang antara lain disebutkan bahwa pernyataan menerima atau menolak suatu pensyaratan haruslah diformulasikan secara tertulis dan harus diberitahukan kepada negara peserta (contracting state) dan negara-negara lain yang berhak menjadi pihak perjanjian.
 Beberapa Contoh Masalah Dan Praktek Negara Mengenai Pensyaratan
Pada tahun 1961 Indonesia ikut menandatangani Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan dengan UU No 8 tahun 1976 telah pula meratifikasinya. Pada intinya pensyaratan yang diajukan Indonesia terhadap pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika itu adalah bahwa Indonesia tidak mengakui adanya jurisdiksi mengikat (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Alasan yang diajukan oleh Indonesia adalah bahwa sengketa yang hendak diajukan ke depan Mahkamah Internasional harus ada persetujuan para pihak dan harus dilihat secara kasuistis.

KELOMPOK V
(AKIBAT HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL)
A. AKIBAT HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Suatu perjanjian internasional sangat erat hubungannya dengan sistem hukum nasional suatu Negara peserta. Perjanjian internasional tertentu tidak menghendaki adanya ketentuan pelaksanaan, sebaliknya da perjanjian yang menghendaki ketentuan pelaksanaan dalam hukum nasionalnya. Dalam hukum internasional dikenal dua teori yang menjelaskan perlu tidaknya ketentuan pelaksanaan nasional dalam rangka penerapan perjanjian internasional. Kedua teori dimaksud adalah teori adoption dan incorporation.
Menurut teori adoption, perjanjian itnernasional mempunyai dampak hukum (legal effect) dalam suasana nasional. Perjanjian internasional tetap mempertahankan sifat internasionalnya (keasliannya), namun diterapkan dalam suasana hukum nasional. Sebagai dasar teori ini adalah aliran monism, yang mengajarkan bahwa hukum nasional dan hukum internasional merupakan satu kesatuan dari satu sistem hukum pada umumnya. Sementara itu, menurut teori incorporation, perjanjian internasional itu terlebih dahulu harus diinkorporasikan ke dalam hukum nasional, baru dapat diterapkan dan menjadi hukum nasional. Teori ini mendasarkan ajarannya pada aliran dualism, yaitu hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda.
Menurut pandangan kaum dualism, ikutnya suatu Negara dalam perjanjian internasional melalui ratifikasi secara simultan menjadikan perjanjian internasional diinkorporasikan ke dalam sistem hukum nasional. Sebaliknya menurut aliran dualism yang strict dualist system, perjanjian internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional dengan ketentuan yang telah ada. Selama transformasi ini belum ada dampak ke dalam (internal effect) perjanjian internasional tersebut tidak ada, kecuali bila ada keputusan hakim nasional atau mengadakan penafsiran hukum nasional, mulai dari asumsi bahwa pembuat undang-undang tidak bermaskud bertindak atau mempertahankan ketentuan yang bertentangan dengan kewajiabn yang timbul dari perjanjian intenrasional.
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat Negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dnegan itikad baik atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ Negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servada. Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian intenrasional dapat menimbulkan akibat bagi pihka ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada Negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada Negara ketiga tanpa persetujuan Negara tersebut (contoh: pasal 2(6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa Negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional). Pasal 35 Konvensi WIna mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertullis.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidka hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oelh kepatutan, kebiasaan atau undang-undnag. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.
B. AKIBAT HUKUM DARI PENUNDAAN ATAS PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL
Suatu perjanjian intenrasional yang ditunda pelaksanannya sudah pasti akan menimbulkan konsekuensi hukum baik terhadap perjanjian itu sendiri, terhadap para pihak bahkan dalam hal-hal tertentu juga terhadap pihak ketiga. Jika perjanjian itu sendiri sudah mengaturnya, maka segala sesuatunya harus dilakukan sesuai dengan aturan tersebut. Namun jika tidak ada pengaturannya, di dalam perjanjian itu sendiri, biasanya para pihak ketiga sudah membuat kesepakatan untuk penunda pelaksanaan perjanjian intenrasional dan juga biasanya telah mengatur segala konsekuensi hukumnya yang akan diikuti oleh para pihak. Sebaliknya jika keduanya tidak ada sama sekali maka timbul persoalan tentang konsekuensi hukumnya, terutama tentang bagian penyelesaiannya.
Pasal 72 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969, menyatakan bahwa para pihak yang sepakat melakukan penundaan dibebaskan dari kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian itu dalam hubungan antara mereka sendiri selama masa penundaan tersebut. Sedangkan menyangkut hubungan antara para pihak sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian, untuk ketentuan-ketentuannya yang tidak ditunda pelaksanannya, maka selama masa penundaan, hak dan kewajiban yang bersumber dari ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut tetap beralngsung sebagaimana biasanya (pasal 72 ayat 1 butir a).
Selama masa penundaan, yang berarti selama tiu ketentuan perjanjian yang ditunda pelaksannya tersebut, para pihak tidak menerima hak maupun tidak melakukan kewajiban dari ketentuan perjanjian yang ditunda pelaksanaannya. Para pihak tidak boleh menggunakan waktu penundaan tersebut sebagai kesempatan untuk melakukan atau tidak melakkukan suatu perbuatan yang bertentangan dnegan ketentuan, maksud dan tujuan perjanjian itu. Dengan kata lain seperti dalam pasal 72 ayat 2, bahwa selama masa penundaan para pihak harus mengendalikan diri dari prilaku yang cenderung menghambat pelaksanaan perjanjian.
Ketentuan-ketentuan tentang penundaan pelaksanaan perjanjian yang diatur dalam Konvensi sebagaimana secara singkat telah dipaparkan diatas sifatnya hanyalah sebagai rambu-rambu dan tampak masih bersifat umum. Memang ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencakup segala macam dari penundaan atas pelaksanaan perjanjian internasional, yang dalam prakteknya tentulah akan sangat bervariasi mengingat dmeikian banyaknya jumlah dan macam perjanjian internasional yang masing-masing berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, demikian juga dengan bermacam-macam penundaan pelaksanaan perjanjian intenrasional itu sendiri.
Misalnya suatu perjanjian itnernasional yang ditunda pelaksanannya berdasarkan kesepakatan dari beberapa Negara pesertanya, sudah tentu konsekuensi hukum dari penundaan itu hanya berlaku terhadap Negara-negara peserta yang bersangkutan saja. Sedangkan Negara-negara peserta lainnya, yang tidak ikut dalam penundaan tersebut perjanjian itu akan berlaku sebagaimana biasa.
C. AKIBAT HUKUM DARI BERAKHIRNYA EKSISTENSI SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL
Tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi Wina. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni perjanjian itu mengatur sendiri di dalam pasal atau ketentuannya; jika pengaturan tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan sendiri,d an kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada maka para pihak dapat mengikuti ketentuan yang ada di dalam pasal 70 ayat 1.
Jika suatu perjanjian internasional mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya tentnag konsekuensi hukum dari berakhirnya eksistensi perjanjian, maka para pihak cukup menerapkan tiu saja. Tapi bila tidak ada, kemungkinan para pihak peserta telah mengaturnya sendiri. Pengaturan ini merupakan kesepakatan para pihak tersendiri sebagai konsekuensi dari pengakhiran atas eksistensi perjanjian tersebut.
Jika kemungkinan pertama dan kedua tidak ada, amka menurut pasal 70 ayat 1, jika pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional itu berdasarkan atas alasan-alasan seperti yang ditentukan dalam konvensi, maka pengakhiran perjanjian itu akan:
a. membebaskan para pihak dari kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian tersebut.
b. tidak mengganggu hak, kewajiban ataupun situasi hukum dari para pihak yang lahir dari pelaksanaan perjanjian selama perjanjian itu masih berlaku atau sebelum berakhirnya eksistensi perjanjian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar