Minggu, 29 Mei 2011

PERADILAN DESA

Pengertian Peradilan Desa
Peradilan desa berhubungan dengan kata “pengadilan” yang berasal dari kata “adil”. Peradilan yaitu termasuk proses dimana tujuan yang mencari keadilan dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga tercapailah kedamaian dan keadilan tersebut.
Secara umum, kata “desa” mengandung beberapa pengertian. “desa” dapat berarti suatu wilayah pemukiman penduduk yang beragama Hindu. Seperti misalnya, Desa Peliatan, Desa Penestanan, dll. “desa” juga dapat berarti “situasi” dalam kaitannya dengan tempat, waktu dan keadaan, seperti dalam ungkapan “desa, kala, patra”. Soetardjo Kartohadikoesoemo mengemukakan bahwa kata “desa” seperti halnya kata “Negara”. “negeri” dan “nagari” berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran. Hal senada juga dapat diketahui dari Soepomo dan Wayan Surpha yang pada prinsipnya mengemukakan bahwa “desa” bersal dari bahasa Sansekerta yang lazim dipergunakan oleh kalangan umat Hindu di Bali sejak zaman dahulu.

Skema peradilan desa:

Peradilan

Desa
Peradilan Desa
Peradilan Kertha
Zaman kolonial
Peradilan
Zaman kemerdekaan

Di provinsi Bali dikenal ada dua bentuk (pemerintahan) desa yang masing-masing mempunyai fungsi, sistem atau struktur organisasi berbeda. Dua bentuk desa yang lazim disebut dualism desa di Bali itu adalah:


Desa Pakraman atau desa adat
Desa Desa Pemerintahan
Desa Dinas /administratif
Kelurahan

Dari dua bentuk desa di atas, dapat diartikan bahwa:
Desa pakraman adalah lembaga yang melaksanakan hukum adat, karena itu dalam pembahasan selanjutnya yang menjadi pokok perhatian adalah desa pakraman, sedangkan desa dians disinggung sekedar untuk menunjukkan perbedaan antara keduanya. Desa dipimpin oleh oleh seorang kepala desa atau perbekel.
Desa dinas adalah organisasi pemerintahan di desa yang menyelenggarakan fungsi administrative, seperti mengurus kartu tanda penduduk, dan lain-lain persoalan kedinasan (pemeritnahan). Disebut desa dinas untuk membedakannya dengan bentuk desa lainnya, yaitu desa adat. Berdasarkan beberapa pertimbangan (antara lain, heterogenitas penduduknya), desa yang ada di daerah perkotaan, dijadikan “kelurahan”.
Kelurahan adalah suatu eialyah yang ditempati oelh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. kelurahan dipimpin oleh kepala kelurahan (lurah) yang diangkat pemerintah.
Dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa, dipimpin oleh seorang kepaladusun.
Lingkungan adalah bagian wilayah dalam kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan kelurahan, dipimpin oleh seorang kepala lingkungan.

Desa pakraman dan desa dinas/administrative sama wilayahnya. Namun wilayah desa pakraman lebih besar dari desa kelurahan.
Desa pakraman > Desa kelurahan.
Contoh: Desa Sanur kauh terdiri dari Desa Intaran dan Desa Penyaringan. Hal ini disebabkan karena bagian desanya mempunyai pekandelan.
Karena persyaratan dan dasar pembentukan desa pakraman dan desa (dinas) berbeda, maka batas-batas wilayah dan jumlah penduduk pendukkung kedua desa tersebut tidak selamanya sejalan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Satu desa dinas mempunyai luas wilayah dan jumlah penduduk yang sama dengan satu desa pakraman, seperti Desa Bunyoh, Bunutin, Manik Liu, dll.
2. Satu desa dinas meliputi beberapa desa pakraman, seperti Desa Mas (Ubud) yang terdiri dari 4 desa pakraman. Desa Dinas Lumbung (Selemadeg Barat Tabanan) terdiri dari 3 desa pakraman, dll.
3. Satu desa pakraman terdiri dari beberapa desa dinas, seperti Desa Pakraman Denpasar, terdiri dari 12 desa 3 kelurahan dan 90 banjar. Desa Pakraman Kerobokan (Kuta Utara Badung) dan lain-lain.
4. Satu desa dinas meliputi beberapa desa pakraman dan salah satu banjar yang berlokasi di desa pakraman tersebut, menjadi warga desa pakraman yang lain, di luar desa dinas bersangkutan. Contoh, Desa Dinas Mas, terdiri dari beberapa desa pakraman. Salah satu diantaranya adalah Desa Pakraman Pengosekan, yang terdiri dari beberapa banjar. Salah satu banjar (Banjar Pengosekan Kelod), menjadi bagian dari desa pakraman Padangtegal (Kelurahan Ubud), dan lain-lain.

Desa Pakraman
Secara formal, istilah desa pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001. Dalam pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian desa pakraman sebagai berikut:
Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Sebelum berlakunya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, isitlah yang digunakan adalah istilah “desa adat” sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986. Pasal 1 Perda 06 Tahun 1986 menyatakan bahwa:
Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Daerah Tingkat I Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari pengertian yang diberikan oleh Perda 06 Tahun 1986 dan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tersebut, maka jelaslah bahwa istilah desa adat dan istilah desa pakraman mempunyai pengertian yang sama. Walaupun dalam realita, istilah desa adat sampai saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat.

Unsur-unsur Desa Pakraman
Menurut Ter Haar desa pakraman mencakup unsur-unsur:
Unit pemukiman (karang desa)
1. mempunyai tatanan yang tetap merupakan hak wilayah teritorial
KK(kawin) berdasarkan geneologis
2. mempunyai anggota/pengurus seperti prajuru
3. mempunyai kekuasaan (otonomi) mengatur rumah tangganya sendiri.
a. pengelolaan
b. membuat/menetapkan peraturan, pararem dan awig-awig
c. penegakan
(hal ini terletak pada sangkepan/paruman)
Material = tanah/ bangunan
4. mempunyai harta kekayaan
Inmaterial = keris sakral, symbol, sesanti
5. tidak ingin membubarkan kelompoknya. Orang yang tak peduli dengan persekutuannya, dinyatakan berada di luar persekutuan/dipecat.
6. ikatan Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa
a. Pura Desa: manifestasi Tuhan dalam utpeti
b. Pura Puseh: Manifestasi Tuhan dalam memelihara perikehidupan umat-Nya (Wisnu)
c. Pura Dalem: manifestasi Siwa/praline untuk mengembalikan pada asalnya.

Parhyangan Persekutuan
Title Tri Hita Karana Pawongan
Palemahan Kekerabatan

7. luas wilayah asengker bale agung. Dengan kata lain yurisdiksi territorial.
Dalam pura desa ada balai panjang dinamakan bale agung, yang berada di halaman tengah-tengah untuk penstanaan manifestasi Tuhan dalam Tri Hita Karana maupun leluhur-leluhur masyarakat yang memuliakan pura desa itu (nyejer baru datang pemelisan pura desa itu).
Peraturan-peraturan Desa Pakraman
Pararem = Awig
Awig berasal dari kata “awighayate” yang berarti tidak menghancurkan dalam arti menertibkan untuk mencapai keadilan dan kedamaian. Awig dan pararem ini diduplikasikan menjadi “awig-awig” dan “pararem-pararem” yaitu penata hubungan dari pararem.
RAA (rancangan awig-awig)
 Pembukaan (Murdha Cita)
 Bab I  nama dan wilayah desa (yurisdiksi territorial/bale agung)
 Bab II  normative nilai-nilai (dasar: Pancasila dan tujuan: membentuk kesejahteraan lahir dan batin)
 Bab III Tertib-tertib beragama maksudnya adalah pelaksanaan ajaran agama yang dimuliakan dalam agama hindu dalam kahyangan tiga.
 Dewa Yadnya
 Rsi Yadnya
 Pitra Yadnya  pengabenan
 Manusa Yadnya
 Bhuta Yadnya Tawur agung kesanga
 Bab IV
• tertib kemasyarakatan menyangkut hubungan-hubungan manusia dengan manusia (anggota, pengurus, pesangkepan)
 Persekutuan (7 unsur desa pakraman)
 Keanggotaan
 Pesangkepan
• Tertib kekerabatan menyangkut kawincerai, angkat anak/ nyentana, waris, tolong menolong.
 Bab V tertib tentang pewilayahan/ palemahan maksudnya tertib tentnag tanah, territorial (bale agung), adalah batas tetnang hak milik tanah, ternak, tumbuhan dan bangunan.
 Bab VI pelanggaran-pelanggaran daripada masing-masing tertib ini. Dari pelanggaran inilah dikenal dengan wicara, ada hukum acara untuk memulihkan dalam penegakannya disebut pamidanda, baik pelanggaran yang menyangkut pelanggaran public maupun privat. Wicara pelanggaran, pamidanda upaya pemulihan kembali/tappi sesungguhnya panmidanda tersebut bukan merupakan nestapa fisk tapi memulihkan pada keadaan semula (seimbangnya daripada desa pakraman).
 Bab VII Perubahan daripada awig-awig
Analisis akademika dalam desa pakraman
1. Beriuk Siu (seribu orang bersamaan) ini merupakan diktator mayoritas
2. Beriuk sepanggul (seperangkat gambelan orang yang menjadi dirigennya) ini merupakan Tyrani minoritas. Tyrani bersifat pengumuman.
 Bab VIII Penutup
Menampung berbagai aspek peraturan perundang-undangan.









Kasus kasepekang
Keluarga Pak Ena tak pernah mengikuti dan menuruti ayah-ayahan banjar. Beliau, istri dan anaknya tak pernah peduli dengan sangkepan, nguwopin dan tak mematuhi awig-awig banjar lainnya. Akibatnya, warga banjar memecat Keluarga Pak Ena dari warga Banjar tersebut. Suatu saat, Ena mengadakan upacara metatah/mepandes, namun tak ada warga banjar yang nguwopin dan pemuda-pemudi yang madelokin untuk acara resepsinya. Keluarga Ena merasa sangat kecewa akibat hal tersebut. Akhirnya, tak lama kemudian keluarga Pak Ena pun pindah rumah dengan sendirinya karena sudah tak dipedulikan lagi oleh warga banjar. Tapi yang bermasalah disini rumah tua atau rumah leluhur tak boleh dikosongi dan tak boleh ditinggalkan. Maka keluarga pak Ena pun membicarakan kembali hal tersebut dengan pak kelian banjar agar dia bisa menjadi warga banjar itu dan warga banjar menerimanya kembali tinggal di rumah tuanya.

Penyelesaian masalah
Masalah ini kemudian diselesaikan dengan kertha banjar atau cukup dirembugkan karena keluarga pak Ena ingin kembali tinggal di rumah tua di banjar tersebut. Kertha desa hasilnya pematut yaitu mengupayakan penyelesaian untuk perdamaian desa/banjar. Hasil rembugan tersebut akhirnya menemukan penyelesaiannya yang adil bagi kedua belah pihak yaitu dengan warga banjar mengizinkan dan bersedia menerima keluarga Pak Ena kembali dengan syarat agar keluarga Pak Ena mau mematuhi awig-awig dan pararem banjar, serta meladeni masalah suka duka masing-masing warga banjar sesuai dengan azas Koesnoe antara lain rukun, laras dan patut. Disinilah terdapat proses peradilan dimana tujuan mencari keadilan dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga tercapailah kedamaian dan keadilan di kedua belah pihak antara warga banjar dan keluarga pak Ena. Karena masalah telah dapat diselesaikan dengan rembugan atau kertha banjar, maka tak perlu lagi ke pengerthaan atau sidang pleno. Karena secara tak langsung masalah suka duka keluarga Pak Ena yang tidak diladeni oleh warga banjar sudah menjadi “ultinum remidium” atau “obat terakhir” bagi keluarga Pak Ena.

Yang disebut “adil” harus mengacu pada pendapat ahli/pakar:
Aristoteles:
- Keadilan kumulatif (masing-masing mendapatkan sesuatu yang sama)
- Keadilan distributive (masing-masing mendapatkan sesuatu yang tidak sama melainkan sesuai dengan tanggungjawabnya)
Bila dikaitkan dengan ideology Negara, keadilan kumulatif ada 2 yaitu:
- Komunis  Khuba
- Sosialis china
Revitalisasi
Re : kembali
Vital : penting
Revitalisasi : membuat penting kembali sesuatu yang dianggap kurang penting.

Teras:
Ada berbagai pendapat di kalangan ahli tentnag masyarakat hukum adat, ada yang mengatakan keberadaannya kuat, ada yang mengatakan lemah dan ada yang mengatakan perlu jaminan undang-undang. Terlepas dari pendapat-pendapat tersebut, fakta menunjukkan masyarakat hukum adat di Bali masih ada “desa pakraman”.
Permasalahannya:
Bagaimana masyarakat hukum adat harus direvitalisasi dalam rangka/kaitannya dengan globalisasi?
Judul:
Revitalisasi masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan globalisasi
- Berbagai pendapat (kuat, lemah, UU)
- Di Bali ada desa pakraman
- Globalisasi
- Apa kata mahfud MD dalam revitalisasi,, apa masuk aliran kuat, lemah, UU?

Bercerita tentang masyarakat hukum adat.
Kenapa desa pakraman harus direvitalisasi?
Apa tugas desa adat? Agama Hindu dan hukum adat Bali?
Apa tugas desa dinas?administrasi pemerintahan Negara Indonesia.
Tindakan-tindakan apa yang ditangani oleh peradilan desa? Mengurus pelanggaran awig-awig dan hukum adat bali.

Tindak pidana umum + pelanggaran agama hindu
Contoh: pencurian pratima
Penyelesaiannya cenderung ke KUHP. (belum diatur dalam KUHP karena pelanggaran agama hindu tidak ada penyelesaiannya).
Cara penyelesaiannya yaitu:
1. memanggil sanksi adat (orang yang mengerti soal pratima/tokoh adat)
2. kemungkinan mengikuti rumusan KUHP, memenuhi keinginan masyarakat.
3. hukumannya tidak mungkin ganti rugi, sangaskara danda yang mungkin:
- sanksi pidana maksimal (dihukum setinggi-tingginya 10 tahun) supaya jelas dan bisa memenuhi keinginan masyarakat
- menyelenggarakan upacara  tapi tidak mungkin, baru mungkin jika rancangan KUHP diputuskan oleh hakim.

Mengapa kita mempelajari peradilan desa?
UU tentang sistem peradilan desa : pasal 27 UU No. 24 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, UU darurat No.1 tahun 1950.
UU tentang sistem perundang-undangan tidak ada lagi peradilan desa, peradilan desa sudah dihapus sejak tahun 1951.
Sebelum Indonesia merdeka, peradilan desa sangat efektif, ada juga peradilan khusus mengenai adat bali dan agama hindu yang namanya “Radkerta”. Sejak tahun 1951 radkerta dan peradilan desa dihapuskan. Tapi dalam kenyataannya peradilan desa itu masih ada.
Persoalan-persoalan yang khas di Bali setelah Indonesia merdeka, sebelum tahun 1951 dipakai peradilan desa dan radkerta yang menyelesaikan persoalan-persoalan pencurian pratima dan pelanggaran agama hindu. Namun sekarang, telah diadili oleh pengadilan negeri.
Pada zaman dahulu (belanda) masyarakat minta dinaikkan kastanya, karena
1. dari segi bahasa
2. mendapat kebebasan dan kerja paksa/kerja rodi dan perbudakan
3. status prekangge



Bagaimana peradilan desa itu dalam prakteknya di masyarakat?
Tatanan desa pakraman itu diatur:
1. hukum adat bali
2. awig-awig desa pakraman
3. hukum Negara (hukum nasional)
4. hukum hindu

Desa pakraman ada 2 lembaga dalam perkembangannya:
1. sabha desa  merencanakan pembangunan desa
2. kertha desa menyelesaikan persengketaan desa
Sabha desa dan kertha desa diketuai oleh “bendesa” + 2 lembaga desa tersebut.
Jika ada masalah hukum yang menangani adalah “prajuru desa” jika kedua lembaga tersebut tidak ada. Karena ada desa yang punya lembaga dan ada yang tidak.
Pucuk pimpinannya “bendesa”.

Bagaimana proses peradilan desa itu?
Setiap permasalahan ditangani oleh prajuru desa. Prajuru khususnya dan krama desa pada umumnya “proaktif” dalam menangani masalah desa.
Jika masalah kepentingan krama desa (secara umum) ditangani oleh prajuru desa.
1. prajuru yang proaktif (tidak ada pesadokan)
2. balai desa
3. prajuru
4. rapat desa
5. menentukan yang salah dan sanksi dijatuhkan. Ada 3 sanksi yaitu:
a. jiwa danda
contoh : minta maaf (kasepekang)
b. arta danda : didenda dengan uang atau materi
c. sangaskara danda: upacara tertentu menurut agama hindu.

Kasepekang dan kanorayang
Kanorayang:
Nora  tidak
Kanorayang  sudah tidak dianggap, mulai berlaku 15 oktober 2010 berdasarkan keputusan majelis desa pakraman Bali. Sama dengan organisasi desa pakraman di Bali ada 1447 Desa pakraman di Bali.

Kasepekang:
Berasal dari kata “sepi+kang”
Artinya disepikan.
Dalam konteks sanksi menurut adat Bali kasepekang berarti tidak mendapat pelayanan adat banjar/desa pakraman.

Pradana mendapat warisam ½ dari warisan purusa setelah dikurangi 1/3 dari warisan bersama.



Jika masalah pribadi/keluarga diselesaikan sendiri kecuali ada laporan /pesadokan masal. Prosesnya yaitu:
1. pesadokan
2. dibawa ke balai desa
3. yang menangani prajuru tujuannya terciptanya kedamaian
4. rapat desa (desa mengadili). Keputusannya berdasarkan suara terbanyak. Padahal benar dan salah tak bisa diukur dengan suara terbanyak. Disinilah kekeliruan peradilan desa.




TUGAS PERADILAN DESA
Pada masa kolonial Belanda struktur peradilan meliputi: 1) Gouvernementsrechtpraak (Peradilan Gubernemen), yang meliputi seluruh Hindia Belanda; 2) Inheemsche Rechtspraak (Peradilan Adat atau Peradilan Pribumi); 3) Zelfbestuursrechtspraak (Peradilan swapraja); 4) Dorpsrectspraak (Peradilan Desa); dan ada sejenis kamer, yaitu: Godsdienstige Rechtspraak (Peradilan Agama) yang merupakan bagian dari badan peradilan Gubernemen, atau Badan Peradilan Swapraja, atau Badan Peradilan Adat atau bahkan bagian dari Badan Peradilan Desa. Pluralistik lembaga peradilan tersebut ditetapkan berdasar pluralistik yang terdapat pada hukum substantif, yang memisahkan penggunaan hukum berdasar pada penduduk Eropa atau yang dipersamakan dengannya, dan penduduk pribumi atau yang dipersamakan dengannya. Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan suatu era di mana pemerintah Indonesia mempunyai kewenangan untuk mengatur sistem peradilannya. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara kesatuan RI telah memiliki komitmen kuat mewujudkan sistem peradilan yang bebas. Komitmen itu tercermin dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.

Permasalahannya:
• Dalam sistem peradilan di Indonesia, dimanakah peradilan desa itu diatur?
• Jika peradilan desa itu tidak diatur, mengapa kita perlu mempelajari mata kuliah peradilan desa?

Pembahasan:
Dalam pasal 1 ayat (2) sub b Undang-undang Darurat Republik Indonesia No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan sipil menyatakan bahwa, “Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan: segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied), kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat”.
Maksud diadakan Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 adalah dalam rangka mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan dan acara segala Pengadilan Negeri dan Segala Pengadilan Tinggi di Indonesia. Oleh karena, peradilan swapraja dan adat berangsur-angsur dihapus, maka dalam praktek di lapangan hanya terdapat lima lingkungan peradilan, yaitu:
1) Peradilan Umum (Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 jo. Pasal 101 UUDS); 2) Peradilan Tentara (Undang-undang No. 5 Tahun 1950 jo. Pasal 101 UUDS); 3) Peradilan Agama (S.1882 No.152, S.1937 No. 638; Per.Pem 45/1957); 4) Peradilan Ekonomi (UUD Darurat No. 7/1955); dan 5) Peradilan Tata Usaha khusus Pajak (S.1915 No.707). Di samping itu, dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1966, yang berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1969 dinyatakan sebagai undang-undang, dihapuskanlah Pengadilan Adat dan Swapraja serta dibentuklah Pengadilan Negeri di Irian barat, yaitu di Biak, Sorong, Fak-fak, dan Wamena. Peradilan landreform juga dihapus dengan Undangundang No. 6 tahun 1969.
• Dari penjelasan pasal tersebut, penghapusan peradilan Adat tak mungkinlah dijalankan pada saat itu juga peraturan ini diundangkan, oleh sebab tenaga Hakim pada Pengadilan Negeri yang amat besar diperluaskan pekerjaannya karena penghapusan itu belum cukup adanya. Berhubung dengan hal itu, maka penghapusan tersebut akan dijalankan berangsur-angsur menurut kebutuhan dengan memperbaiki tenaga-tenaga yang dapat disediakan. Oleh karena dalam tempo yang pendek Kitab Hukum Pidana Sipil akan diulang - mengundangkan, setelah Kitab itu disesuaikan dengan keadaan pemerintahan yang baharu ini, dan kini belum ada tentu apakah perbuatan-perbuatan pidana - adat dan hukuman-hukuman adat harus diakui terus, maka untuk sementara waktu perbuatan-perbuatan pidana - adat itu dan hukuman-hukuman adat itu tidak dihapuskan. Karena itulah sampai sekarang kita masih mempelajari mata kuliah peradilan desa.
Adanya Perubahan UUD 1945 telah merubah secara mendasar sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan: (a) Badan Peradilan Umum; (b) Badan Peradilan Agama; c) Badan Peradilan Militer; dan (d) Badan Peradilan Tata Usaha Negara.
Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan Umum; 2) Peradilan Agama; 3) Peradilan Militer; dan 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Di samping itu, masih dimungkinkan dibentuk badan-badan peradilan khusus dengan mendasarkan pada undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar