Minggu, 29 Mei 2011

TINDAK PIDANA KHUSUS

TINDAK PIDANA KHUSUS
(UU No.30 tahun 2002, UU No. 31 tahun 1999, dan UU No.20 tahun 2001)
Pasal 1 butir 1 UU No.30 tahun 2002
Tindak Pidana Korupsi (TPK) adalah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001.
Rumusan TPK
Rumusan dalam UU No. 31 tahun 1999:
- Pasal 2 (berasal dari pasal 1 ayat 1 sub a UU No.3/71)
• Setiap orang (orang perseorangan atau termasuk korporasi)
• Perbuatan melawan hukum
• Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
• Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
- Pasal 3 (berasal dari pasal 1 ayat 1 sub b UU no.3/71)
• Setiap orang (orang perseorangan atau termasuk korporasi)
• Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
• Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
• Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
- Pasal 13 (berasal dari pasal 1 ayat 1 sub d UU No. 3/71)
• Setiap orang (orang perseorangan atau termasuk korporasi)
• Memberi hadiah atau janji
• Kepada pegawai negeri
• Dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Rumusan dalam UU No.20 tahun 2001
A. DELIK PENYUAPAN
Pasal 5, ayat 1
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan ssesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 6 ayat (1)
a. memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan utnuk diadili.
B. DELIK PENGGELAPAN DALAM JABATAN
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskaan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
B. DELIK PENGGELAPAN DALAM JABATAN
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima pulluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
B. DELIK PENGGELAPAN DALAM JABATAN
Pasal 10
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atua membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana dendapalling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
C. DELIK PEMERASAN DALAM JABATAN
Pasal 12
a. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah. Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberika sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan utnuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah aatua janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atua pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan utnuk diadili.
D. DELIK YANG BERKAITAN DENGAN PEMBORONGAN
Pasal 7 ayat (1)
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
C. DELIK PEMERASAN DALAM JABATAN
Pasal 12
e. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yagn dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseroang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
f. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atua penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atua menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah Negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturanperundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara Negara baik langsung meupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pengertian (UU No. 31 tahun 1999)
• Pasal 41:
(1) Masyarakat daapt berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) hak dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dnegan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peratuan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pengertian (PP No. 71 tahun 2000)
• Pasal 1 ayat (1)
- Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan. Organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
Hak dan Tanggungjawab Masyarakat (PP No. 71 tahun 2000)
• Setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak:
- Pasal 2 (1): mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dan atau Komisi (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengenai perkara tindak pidana korupsi;
- Pasal 4 (1): memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atua komisi (Komisi Pemberantasan Korupsi) atas informasi, saran, atau pendapat yang disampaikan kepada penegak hukum atau komisi (Pasal 4 (2): wajib dijawab paling lambat 30 hari sejak diterima);
- Pasal 5 (1): atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman.
Mekanisme pemberian informasi, saran, atau pendapat
• Pasal 3 ayat (1):
- Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai:
• Data mengenai nama dan alamat pelapor (orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), pimpinan organisasi masyarakat, atau pimpinan lembaga swadaya masyarakat dengan melampirkan fotocopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan
• Keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.
Pemberian Penghargaan (PP No. 71 tahun 2000)
• Pasal 7 dan 8 mengatur mengenai pemberian penghargaan kepada setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat yang telah membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi.
• Penghargaan dapat berupa piagam atua premi
• Pasal 9:
- Besar premi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) ditetapkan paling banyak sebesar 2 permil dari nilai kerugian Negara yang dikembalikan.
Waktu Pemberian Piagam/Premi (PP No. 71 tahun 2000)
• Pasal 10 ayat (1):
- Piagam diberikan kepada pelapor setelah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri
• Pasal 11 ayat (1):
- Premi diberikan kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap
Klarifikasi dan Pengecualian (PP No. 71 tahun 2000)
• Pasal 3 ayat (2): Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum
• Pasal 5 ayat (2) : perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilporkan.
TENTANG GRATIFIKASI (UU. NO 20 TAHUN 2001)
Ketentuan Tentang Gratifikasi
- Undang-undang No.20 Tahun 2001 Pasal 12B:
• (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oelh penerima gratifikasi; (Pembuktian terbalik)
- Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
• (2) Pidana bagi pegawai negeri atua penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan Tentang Gratifikasi
- Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Pasal 12C ayat (1):
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B ayat (1) tidk berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Penyampaian laporan wajib dilakukan paling lama 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima
- Dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal menerima laporan, KPK wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik Negara.
LATAR BELAKANG DIBENTUKNYA KPK
Tindak Pidana Korupsi (TPK) semakin sistematis dan merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional dan pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat

TPK adalah kejahatan luar biasa
Pemberantasan TPK yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan sehingga perlu metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus dengan kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasa TPK yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.

UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 30 tahun 2002 merupakan amanat dari UU No. 31 tahun 1999 tentnag Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi pasal 43 yang mengatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui Undang-Undang sehingga lahirlah


KPK
Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pengertian “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislative, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Tugas KPK (Pasal 6)
Koordinasi (pasal 7)
Supervise (pasal 8)
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan (pasal 11)
Pencegahan (pasal 13)
Monitoring (pasal 14)
Tugas koordinasi (pasal 7)
- Kejaksaan  BPK Inspektorat LPND  Itjen Dep
- BPKP  Bawasta
- Kepolisian
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tidnak pidana korupsi
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait
d. melaksanakan dengan pendapat dan pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
e. meminta laporan instansi terkait tentang pencegahan tindak pidana korupsi.



Tugas Supervisi (pasal 8)
Dalam melaksanakan tugas supervise, KPK berwenang:
















- Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dnegan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan instansi yang melaksanakan pelayanan public.
- Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tpk yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Alasan Pengambilalihan Penyidikan dan Penuntutan (pasal 9, 10)
Laporan masyarakat tentang tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti
Proses penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut/ tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
KPK memberitahukan kepada penyidik/penuntut umum
Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya
Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsure korupsi
Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karen acampur tangan ari eksekutif, yudikatif, atau legislative
Keadaan lain yang menurut kepolisian/kejaksaan, penanganan tidnak pidana korupsi sulit dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tugas Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan (pasal 11)










PENYELIDIKAN
PENYIDIKAN
PENUNTUTAN
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitanya dengan TPK yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau “penyelenggara Negara (UU 28/99)
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau
3. Menyangkut kerugian Negara> satu milyar


Kewenangan KPK (pasal 12 UU No. 30 tahun 2002)
Menyadap dan merekam pembicaraan
Memerintahkan pelarangan ke luar negeri
Meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangkan atau terdakwa
Memerintahkan pemblokiran rekening milik tersangka atau terdakwa atau pihak lain yang terkait
Memerintahkan pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya
Meminta data kekayaan dan perpajakan tersangka
Menghentikan transaksi untuk sementara/mencabut sementara perijinan/lisensi/konsesi
Meminta bantuan pencarian, penyitaan, pencarian barang bukti di luar negeri
Meminta bantuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan.








1. Dilakukan atas perintah Pimpinan KPK
2. Gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi serta praperadilan terhadap KPK dimungkinkan
KPK
Penyelidikan (LID)
• Menemukan bukti permulaan yang cukup = 2 alat bukti
(termasuk informasi/data yang diucapkan , dikirim, diterima atau disimpan secara biasa atau menggunakan elektronik/ optic (pasal 26 A UU No. 20/2001).
• Bila ditemukan 7 (tujuh) hari penyelidik telah melaporkan kepada KPK
• Hasilnya dapat disidik sendiri oleh KPK atau dilimpahkan ke Penyidik Polri atau Kejaksaan
• Bila tidak ditemukan KPK menghentikan LID
PENYIDIKAN (DIK)
• Prosedur khusus untuk memeriksa tersangka tidak berlaku
• Penyitaan dapat dilakukan tanpa izin Pengadilan
• Tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, istri, anak dan organisasi/korporasi yang diketahui atau patut diduga mempunyai hubungan dengan TPK yang dilakukan tersangka.
• Tidak berwenang mengeluarkan SP3
• Mengkoordinasikan/mengendalikan penyidikan perkara koneksitas
PENUNTUTAN (TUT)
• PU pada KPK adalah Jaksa Penuntut Umum
• 14 hari setelah berkas diterima telah dilimpahkan ke Pengadilan
• Pelimpahan ke Pengadilan TPK (AdHoc)  PN Jakarta Pusat (pasal 38B pembuktian terbalik mengenai harta benda)
• Paling lama 90 hari sudah diputus
• Upaya hukum dapat dilakukan (Banding, Kasasi).
*Pemeriksaan dilakukan berdasarkan KUHAP dan UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No.20 tahun 2001.
TUGAS PENCEGAHAN (PASAL 13)
- KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:
- Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara.
- Menerima laporan dan menetapkan status Gratifikasi
- Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan
- Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi
- Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum
- Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tugas Monitoring (pasal 14)
Dalam melaksanakan tugas monitor KPK berwenang:













KEWAJIBAN DAN LARANGAN ( UU No. 30 Tahun 2002)
• Kewajiban KPK tercantum dalam pasal 15
 Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor;
 Memberikan informasi kepada masyarakat;
 Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden RI, DPR, dan BPK;
 Menegakkan sumpah jabatan;
 Melaksanakan tugas, tanggungjawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Tanggung Jawab KPK (pasal 20 UU No. 30 Tahun 2002)
1. KPK mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada public, dengan cara:
- Wajib audit atas kinerja dan pertanggungjawaban keuangan
- Menerbitkan laporan tahunan
- Membuka akses informasi
2. KPK menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden RI, DPR RI, dan BPK.
• Larangan terhadap pimpinan, Tim Penasehat dan Pegawai KPK tercantum dalam pasal 36, pasal 37 dan pasal 66:
- Mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apapun.
- Menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah samapi derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
- Menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
• Ancaman pidana bagi Pimpinan dan Pegawai yang melanggar larangan tersebut adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun (pasal 65)
KODE ETIK PIMPINAN KPK
“…Powers Tends to Corrupt; Absolut Power Tends to Corrupt Absolutely…”
KPK adalah lembaga Negara dengan tugas yang luar biasa

Dapat menjadi peluang yang luar biasa untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Pimpinan KPK

Untuk menghindarinya  kode etik
KODE ETIK PIMPINAN KPK
Larangan
• Menggunakan sumber daya public untuk kepentingan pribadi atau golongan
• Menerima imbalan yang bernilai uang untuk kegiatan yagn berkaitan dengan fungsi KPK
• Meminta kepada atau menerima bantuan dari siapapun dalam bentuk apapun yang memiliki potensi benturan kepentingan dengan KPK
• Bermain golf dengan pihak atau pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan benturan kepentingan sekecil apapun.
Alamat Laporan Gratifikasi
• Surat
- Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. Ir. Juanda Nomor 36, Jakarta Pusat
• Fax:
- No. (021) 3522551 – 3522554
• Email
- informasi@kpk.go.id

Pelaporan dan Penentuan Status Gratifikasi (pasal 16, 17 dan 18 UU No. 30 th. 2002)
Penerima gratifikasi  Laporan Tertulis kepada KPK Proses Penetapan Status Dapat memanggil Penerima GratifikasiPimpinan KPK melakukan penelitianSK Pimpinan KPK tentang Status GratifikasiMenteri Keuangan/Penerima Gratifikasi.
- Pasal 12C UU No. 20 th.2001 penerima gratifikasilaporan tertulis kepada KPK (waktu 30 hari kerja sejak diterima)
- Proses penetapan status, dapat memanggil penerima gratifikasi, pimpinan KPK melakukan penelitian, SK Pimpinan KPK tentang Status Gratifikasi (30 hari kerja)
- SK Pimpinan KPK tentang Status Gratifikasi  menteri keuangan/penerima gratifikasi (7 hari kerja sejak ditetapkan statusnya).
Pasal 13 UU 30/2002
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:
Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara.
Pasal 1 angka 1 UU 28/1999
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yagn menjalankan fungsi eksekutif, legislative, atau yudikatif,d an pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dnegan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5 UU 28/1999
Setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
• Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
• Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
Penutup
• Komitmen politik untuk memberantas korupsi telah merupakan consensus nasinal yagn diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan korupsi serta dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keberhasilan KPK memerlukan dukungan seluruh masyarakat dan aparatur Negara, untuk menggalakkan gerakan moral anti korupsi
• KPK dengan segala kewenangan yang dimilikinya akan melakukan upaya penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara efektif dan berkualitas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang sekaligus diharapkan dapat memulihkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
NARKOTIKA
BAB I
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat dan turut di dalam pergaulan dunia internasional, sudah tentu akan banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa-bangsa lainnya dengan berbagai maksud dan tujuan. Negara Indonesia dalam pandangan dan pergaulan dunia internasional memang sangat terkenal, oleh karena didukung oleh keaneka ragaman suku, agama dan adat isitadat, sosial budaya serta memiliki berbagai tempat atau daerah yang berhubungan dengan dunia pariwisata dan dengan pemandangannya yang indah serta mempesona. Hal ini merupakan modal dasar bagi bangsa dan Negara Indonesia di kemudian hari di dalam menghadapi hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan atauoun serangan-serangan, baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam, yang berusaha untuk menjatuhkan dan melumpuhkan bahkan ingin menghancurkan. Negara Indonesia adalah merupakan Negara kepulauan dari Sabang – Merauke sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sudah tentu memiliki demikian banyak pintu masuk ke Indonesia melalui laut, udara dan darat dnegan berbagai tujuan dan kepentingan. Lebih-lebih beberapa daerah kepulauan itu telah menjadi tujuan wisatawan, baik dalam maupun luar negeri, seperti Bali, Yigyakarta, Lombok dan sebagainya. Dengan kedatangan para wisatawan itu, akan dapat meningkatkan dan mendatangkan devisa-devisa dan pemasukan/pendapatan bagi Negara dan daerah itu sendiri, yang sangat berguna di dalam melaksanakan dan merealisasi program-program pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Di dalam era globalisasi atau modernisasi jaman sekarnag ini, tingkat intensitas dan kuantitas pergaulan manusia sangat sulit dibendung dan dideteksi atau diprediksi. Dewasa ini utnuk beberapa saat menusia itu dapat berada pada suatu tempat/daerah sesuai dengan apa yang dikehendaki dan apa yang menjadi tujuannya, oleh karena telah didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang perhubungan, telekomunikasi dan informasi. Hal ini terkesan bahwa jarak dan waktu bukan lagi merupakan kendala bagi setiap manusia di dalam melakkukan interaksi dan interelasi antar manusia dan antar daerah. Negara Indonesia merupakan salah satu negarta yang terlibat di dalam perkembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, demi untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian sebagamana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pengadopsian dan penggunaan ilmu pengethauan dan teknologi bila digunakan untuk hal-hal yang bersifat positif, memang dapat mendatangkan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan, terutama bila didukung oleh kualitas dan kuantitas pendidikan, mental/moral dan pisik yang benar-benar baik. Namun disisi lain, bila digunakna untuk hal-hal yang bersifat negative, maka hal ini potensial akan menjadi penyebab terjadi suatu kehancuran bagi suatu bangsa dan Negara. Dengan demikian sungguh tepat apa yang sering diucapkan oleh beberapa sarjana hukum atau para ahlli lainnya, bahwa modernisasi jaman turut bertanggungjawab dalam melahirkan bentuk dan jenis-jenis kriminalitas atau berbagai kejahatan-kejahatan di dunia saat ini.
Dalam era globalisasi yang telah memasuki segala aspek kehidupan manusia saat ini, telah demikian banyak timbul suatu kejahatan dengan modus operandi dan kualitas serta intensitas kejahatan yang semakin tinggi. Dimana para pelaku kejahatan saat ini tidak lagi menggunakan cara-cara yang konvensional, tetapi telah dibantu dan menggunakan ilmu pengethauan dan teknologi. Para pelaku kejahatan tidak perlu harus mendatangi tempat dimana kejahatan itu akan dilakukan, tetapi para pelaku kejahatan itu cukup hanya menggerakkan salah satu alat teknologi, maka kejahatan itu akan terjadi. Kejahatan yang demikian ini merupakan suatu kejahatan yang terorganisisr dengan rapid an rahasia, seperti cyber crime, money laundering/pencucian uang, terorisme termasuk narkotika dan psikotropika. Masalah kejahatan narkotika saat ini sudah bukan lagi menadi tanggungjawab hanya satu Negara saja., tetapi telah menjadi tanggungjawan hamper seluruh Negara-negara di dunia. Oleh karena kejahatan narkotika telah menimbulkan demikian banyak aspek negative dan memiliki relevansi terhadap timbulnya beberapa kriminalitas lainnya.
Kejahatan narkotika bila kita melihat kebelakang, sebenarnya telah terjadi puluhan tahun yang silam, seperti hancurnya bangsa China akibat POLITIK CANDU Negara Inggris (perang pertama pada tahun 1839-1842 dan kedua pada tahun 1856-1858). Dimana Inggris memerangi Negara China tidak dengan senjata, tetapi mengirim dan memberikan candu kepada para generasi muda bangsa China (Soedjono D (1), 1977:56). Dengan dmeikian mental dan moral serta fisik bangsa China menjadi lemah, terutama kuam generasi mudanya, sehingga generasi bangsa China pada saat itu sulit untuk diajak membangun bangsa dan Negara dalam segala aspek kehidupan manusia menuju bangsa dan Negara yang sejahtera, makmur , bahagia, tentram, aman dan damai. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa generasi muda adalah merupakan tian penyanggah dan generasi penerus suatu bangsa dan Negara, di dalam menghadapi segala tantangan dan hambatan di masa-masa yang akan datang. Tetapi bila sebagian dari mereka telah terlibat ke dalam penyalahgunaan dan kejahatan narkotika, maka rationya/tingkat intelektual sudah tidak mungkin dapat dilibatkan Dalam pembangunan bangsa dan engara yang telah direncanakan dalam segala aspek kehidupan manusia.
Demikian pula halnya dnegan Negara dan bangsa Indonesia, perkembangan penyelahgunaan dan kejahatan narkotika telah dirasakan oleh yang berwenang semenjak sekitar tahun 1970-an., yang melanda dan menimpa para generasi muda di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Kemudian perkembangan penyalahgunaan dan kejahatan narkotika sekitar tahun 1980 sampai dengan tahun 2000-an, telah menunjukkan grafik kenaikan yang semakin meningkat tajam. Dimana akibat/aspek negative terhadap penyalahgunaan dan kejahatan narkotika, tidak saja terhadap tubuh si pemakai, tetapi juga menyangkut aspek keluarga, ekonomi, agama (moral dan etika), sosial budaya dan tidak tertutup kemungkinan timbulnya beberapa kriminalitas lainnya, terutama yang dilakukan oelh para generasi muda. Generasi muda adalah merupakan suatu unsure daya manusia yang potensial dalam masyarakat, sehingga semangat dan geraknya yang penuh sifat-sifat pengabdian, sifat produktif dan konstruktif (sifat pembangunan), sangat diperlukan untuk turut secara aktif memikirkan dan menjawab tantangan dan ancaman yang timbul di masa yan gkan datang. Ketertiban para generasi muda bangsa dan Negara ini, memiliki maksud dan tujuan untuk dapat dengan segera terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, tentram, damai, tertib dan bahagia lahir bathin berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Narkotika ini memang sangat diperlukan atau dibutuhkan dalam bidang kesehatan dan kedokteran serta pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi bila disalahgunakan, akan dapat menimbulkan persoalann/masalah yang besar bagi bangsa dan Negara Indonesia di masa yang akan datang, seperti masalah kesehatan, ekonomi, niali-nilai agama (etika dan moral), nilai-nilai sosial budaya, keamanan dan pertahanan serta kelangsungan hidup bangsa dan Negara Indonesia.
1.1 Sejarah Perundang-Undangan Narkotika
Sebagaimana telah disinggung pada halaman sebelumnya, bahwa perkembangan penyalahgunaan dan kejahatan narkotika di Indonesia, telah dirasakan mulai dari sekitar tahun 1970-an baik secar akuantitas maupun kualitas. Mungkin hal ini disebabkan oleh semakin berkembanganya dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah masuk ke dalam segala aspek kehidupan manusia. Padahal penyebaran dan peningkatan penggunaan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi, memiliki maksud dan tujuan untuk mencapai sasaran dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran, ektertiban dan kedamaian masyarakat Indoneisa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Modernisasi jaman dalam segala aspek kehidupan manusia, memang dapat membawa kemajuan yang menyenangkan, menuju kehidupan sosial manusia yang lebih baik secara jasmani dan rohani. Namun kita jangan lupa bahwa, modernisasi jaman sering kali membawa ketidakstabilan dan kegoncangan dalam kehidupan masyarakat, oleh karena sering membawa pengaruh terjadinya perubahan-perubahan terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, bila tidak memiliki kemampuan dalam penguasaannya dan penggunaannya. Sehingga dnegan demikian, modernisasi jaman jug adikatakan turut bertanggungjawab dalam melahirkan banyak bentuk dan kriminalitas (Sahetapy, 1981:86).
Apabila kita semua melihat kebelakang tentang sejarah perjalanan bangsa dan Negara Indonesia, terutama pada saat perjalanan colonial Belanda sampai dengan tahun 1945. Dimana bangsa dan Negara Indonesia pada jaman penjajahan colonial Belnada, ternyata oleh penjajah diberlakukan beberapa ordonantie di masing-masing wilayah jajahannya yang berhubungan dengan narkotika, terutama yang menyangkut ganja, opium dan ganja. Adapaun ordonantie tersebut seperti: ordonantie statblad (stb). 1872 no. 76, stb. 1897 no. 17, stb 1905no.187, stb. 1906 no. 89, stb.1920 no 899 untuk daerah Bali yang disebut dengan Bali Regie Ordonantie. Kemudian ordonantie stb. 1918 no.639, stb.1909 no 373 untuk daerah Beliton yang disebut dengan Beliton Regie Ordonantie, dan untuk daerah Riau dengan ordonantie stb. 1991 no. 188 dan no. 225. Reglement Ordonantie (RO) stb. 1909 no. 441 bagi daerah Jawa untuk jenis ganja dan untuk opium dengan Aanvullerde Java Reglement Ordonantie stb. 1923 no. 370, sedangkan untuk morphin dengan stb.1911 no. 494 dan 644, stb 1912 no.222 yang disebut dengan Ooskust Regelement Ordonantie. Untuk daerah Aceh dengan Reglement Ordonantie stb. 1914 no. 351, untuk daerah Borneo/Kalimantan dengan Borneo RO stb 1914 no. 562 dan stb 1915 no. 245 yang disebut dengan Westkust Regie Ordonantie, sedangkan bagi daerah Celebes/Sulawesi dengan Celebes RO stb. 1915 no. 746 dan bagi daerah Timor dengan Timor RO 1916 no. 268 dan no. 281. Sedangkan untuk daerah Tapanuli dengan Tapanuli RO 1918 no. 536 dan untuk opium diberlakukan Bepalingen Opium Premien stb. 1916 no. 630. Bagi daerah Ternate dengan Opium Aanvoer Ordonantie stb. 1918 no. 34 dan Ternate Niew Guinen Regie Ordonanatie stb 1920 no. 139, sedangkan untuk daerah Ambon dengan Ambonia RO stb. 1920 no. 140, sedangkan untuk opium di Ambon diberlakukan Aanvullende Opium Regie Ordonantie Buiten Gewesten stb. 1920 no. 235, stb. 1922 no. 364, no. 721 dan no 551. Bagi daerah daerah dan Madura diberlakukan DEbepalingen voor de Opium Regie op Java en Madura Vastgesteld bij art I der Ordonantie stb. 1926 no. 233 dan S 98 no. 277. Kemudian untuk daerah Bengkulu, Palembang dan Bangka dipergunakan/diberlakukan Van toe passing zijn op de resident Benkoelen, Palembang dan Bangka dengan Bangkan en Ordonantie I, de niets reeds ingetrokken gedeelten der ordonantie in S. 05 no. 187 en S. 06 no. 89. Sedangkan bagi daerah Celebes/Sulawesi untuk morphin diberlakukan S.02 no. 365, S. 07 no 114, bagi daerah Borneo dengan S.09 no. 142, bagi daerah Ambon dengan S. 10 no. 148.
Akan tetapi di dalam pelaksanannya pemerintah colonial Belanda mengalami kesulitan untuk mengawasi berlakunya ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Hal ini mungkin disebabkan masalah waktu, pikiran dan biaya serta tenaga ahli di bidangnya masing-masing masih sangat kurang, disamping wilayah Negara Indonesia demikian luas, juga disebabkan orang-orang Belanda yang ada di Indonesia pada saat itu tidak demikian banyak. Oleh karena itu pada tanggal 12 Mei 1927, pemerintah colonial Belanda mengeluarkan Ordonantie Stb 1927 no 278 jo no. 536 yang disebut dengan Verdoovende Middelin Ordonantie (VMO) atau Undang-Undang Obat Bius (Lembaran Tambahan tanggal 22 Juli 1927 dan 3 Februari 1928). Dimana Undang-Undang (UU) ini mengatur tentnag candu, ganja dan morphin yang diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 1928 di seluruh wialayh jajahan Belanda di Indonesia, kemudian mencabut berlakunya ordonantie-ordonantie tersebut di atas (Soedjono D(1), 1977: 179-180).
Kemudian setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, ternyata belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur masalah narkotika, hal ini dapat dimaklumi sebagai sebuah Negara yang baru merdeka d diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Oleh karena itu, UU peninggalan colonial Belanda itu masih tetap diberlakukan dalam upaya menanggulangi dan mengatasi penyalahgunaan dan kejahatan narkotika. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan jaman, ternyata penyalahgunaan dan kejahatan narkotika, terutama yang menimpa generasi muda di kota-kota besar di Indonesia, menunjukkan gejala yang semakin menignkat dna mengkhawatirkan. Dimana UU peninggalan colonial Belanda itu sudah ketinggalan jaman dan tidak dapat mengatasi atau menanggulangi, maka pemerintah Indoensia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 (Inpres No. 6/1971) dalam menanggulangi dan mengatasi masalah penyelundupan, peredaran uang palsu, kenakalan remaja, pengawasan orang asing, subversive dan narkotika. Kemudian dengan Badan Koordinasi Pelaksana Inpres No. 6/1971 (Bakorlak Inpres No. 6/1971), mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah (Bakorda Inpres No. 6/1971) yang masing-masing diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik di tingkat pusat dan Kepala Kepolisisan Daerah (Kapolda) untuk daerah tingkat propinsi serta Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) utnuk tingkat kabupaten/kota.
Maksud dan tujuan dikeluarkannya Inpres No. 6/1971 itu tiada lain adalah untuk mendukung dan memback-up pelaksanaan Undang-Undang Obat Bius tersebut di atas, oleh karena Indonesia belum memiliki UU khusus yang megatur tentang narkotika. Namund alam pelaksanaannya UU tiu tidak membawa pengaruh dan tidak dapat mengatasi serta menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan serta kejahatan narkotika di Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat jumlahnya. Sehingga pemerintah sering mengadakan dan melaksanakan berbagai seminar dan pertemuan, baik tingkat daerah maupun tingkat nasional dengan melibatkan seluruh para ahli untuk mencari solusi yang tepat dalam menanggulangi dan mengatasi masalah narkotika. Apalagi Negara Indonesia pernah turut dan ikut mengesyahkan Kopenvensi Tunggal Narkotika pada tahun 1961 (Single Convention on Narcotic drug 1961), terutama di dalam mengadakan kerjasama internasional terhadap pengawasan dan peredaran gelap narkotika secara illegal, maka atas hasil desakan peserta pertemuan yang meminta kepada pemerintah dan badan legislative untuk membuat suatu undang-undang khusus yang mengatur narkotika. Atas desakan itu, maka pemerintah bersama-sama dengan legislative merancang dan membuat rancangan undang-undang tentang narkotika. Setelah melalui berbagai perdebatan dan revisi-revisi, maka pada tanggal 26 Juli 1976, pemerintah mengeluarkan dan mengesyahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 (UU No.9/1976) tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 37), sekaligus mencabut UU Obat Bius tersebut di atas yang sudah tidak sesuai dengan perkemabnagn jaman dan masyarakat.
Adapun dasar pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut adalah:
1. Bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian meskipun narkotika itu ada bahayanya, namun penggunaannya masih dapat dibenarkan untuk kepentingan pengobatan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga dimungkinkan utnuk mengimport/mengeksport, menanam, memeliahra narkotika.
2. Disadari pula bahwa narkotika dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan, apabila dipergunakna tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. Di samping itu dapat pula menimbulkan akibat sampingan terhadap kehidupan dan nilai-nilai kebudayaan, jadi hanya dipergunakan untuk kepentingan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yan gseksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku, merupakan bahaya besar bagi perikehidupan manusia dan kehidupan Negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun. Penyalahgunaan pemakaian narkotika berakiabt jauh dan fatal serta menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada narkotika, untuk kemudian berusaha agar senantiasa memperoleh narkotika dengan segala cara, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama dan hukum yang berlaku.
4. Bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika serta mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan dan akibat sampingan serta adanya upaya rehabilitasi bagi pecandu, maka dikeluarkannya Undnang-Undang ini sebagai pengganti Verdoovende Middelin Ordonantie stb 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Disamping itu untuk memberikan efek preventif yang lebih tinggi terhadap dilakukan tindak pidana tersebut. Juga untuk memberikan keleluasaan kepada aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana narkotika secara efektif, serta oleh karena Indoensia pernah ikut menandatangani dan meratifikasi sebagai Negara peserta dalam konvensi tunggal narkotika tahun 1961, sehingga isi ketentuan-ketentuan undang-undang ini juga disesuaikan dengan hal-hal yang diatur di dalam konvensi tersebut (Soedjono D (2), 1977:7-9).
Namun di dalam perjalanan UU tersebut, ternyata juga tidak memberikan hasil yang memuaskan, di dalam upaya mengatasi, memberantas dan memnaggulangi penyalahgunaan dan kejahatan narkotika di pasaran gelap. Hal ini disebabkan para pelaku lebih pintar dan dalam melakukan operasionalnya, oleh karena para pelaku telah dibantu dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi tinggi, sehingga para pelaku itu sangat sulit dijerat dan dijangkau oleh UU itu. Demikian juga teknik dan modus operandi peredarannya semakin sulit dideteksi oleh aparat penegak hukum, oleh karena dilakukan secara rapid an terorganisisr serta sangat rahasia. Lebih-lebih yang memiliki jaringan atau mata rantai antar daerah atau antar Negara yang sudah bersifat transnasional atau internasional, disamping itu zat-zat yang tergolong narkotika juga semakin berkembang secara kualitas dan kuantitas, sehingga semakin banyak jenis dan sifatnya yang beredar dipasaran gelap. Sudah tentu hal ini akan semakin dapat mengancam kehidupan bangsa dan Negara Indoensia (terutama generasi muda), apalagi saat ini melalui berbagai pemberitaan media cetak maupun elektronik yang memberitakan dan menyiarkan bahwa perkembangan penyalahgunaan narkotika sudah sampai pada masyarakat pedesaan. Dengan melihat dan memperhatikan pemberitaan itu, sudah dapat dipastikan bahwa akan dapat menimbulkan kepanikan, keresahan dan kekhawatiran atau kecemasan dikalangan masyarakat, oleh karena mereka yang terlibat ke dalam masalah narkotika tidak lagi hanya dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan dan memiliki kemampuan ekonomi menengah keatas, termasuk tidak lagi mengenal orang-orang berusia muda, para tokoh, kualifikasi pendidikan, jenis kelamin dan profesi.
Dewasa ini sepertinya tidak satu Negara di dunia manapun yang tidak terlibat/terkena masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di masing-masing negaranya. Situasi dan kondisi yang demikian ini telah menimbulkan keprihatinan dan menarik perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuki turut memberikan dan mencarikan solusi dalam upaya mengatasi dan menanggulangi penyalahgunaan dan kejahatan narkotika. Pada akhirnya PBB mengundang para Negara anggota untuk ambil bagian/turut serta, agar mengahdiri konvensi yang diselenggarakan di Wina Austria pada tahun 1988. Di dalam United Nation Convention Againts Illict traffic in Narcotic drug and Psychothropic (Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan sering disebut Konvensi Wina 1988), dimana Negara Indonesia turut hadir dan mengesyahkan hasil konvensi itu. Maka berdasarkan atas hal tersebut di atas dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1977, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3673 tentang pengesyahan konvensi itu, setelah melalui perdebatan dan beberapa revisi antara pemerintah dan legislative, dikeluarkan dan diundangkanlah Undang-Undnag Nomor 22 Tahun 1997 (UU No. 22/1997) tentang Narkotika dan Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 1997 (UU No.5/1997) tentnag Psikotropika. Dimana UU No. 22/1997 tentang narkotika memiliki runag lingkup yang lebih luas dan sanksi (pidana penjara dan pidana denda) lebih tajam daripada UU sebelumnya, dengan maksud dan tujuan untuk mempersempit ruang gerak peredaran narkotika dipasaran gelap serta agar dapat menimbulkan efek jera bagi si pelaku. Disamping itu agar dapat memberikan efek psikologis bagi masyarakat luas pada umumnya dan bagi mereka yang mencoba terlibat atau melibatkan diri dalam penyalahgunaan dan kejahatan narkotika.
1.2 Pengertian dan Jenis-Jenis Narkotika
Untuk memebrikan suatu pengertian tentnag narkotika dewasa ini tidaklah menimbulkan kesulitan, oleh karena narkotika bukan lagi merupakan sesuatu hal yang baru bagi kita, terutama di kalangan ilmuwan dan praktisi dari beberapa disiplin ilmu. Apalagi saat ini masalah narkotika sangat gencar diberitakan hamper setiap hari, baik melalui media masa cetak maupun media massa elektronik. Kata narkotika itu berasal dari kata “Narke” yang berarti terbius, sehingga tidak merasakan apa-apa. Jadi narkotika adalah merupakan suatu bahan-bahan yang mengumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyari dsb (Soedarto, 1981: 36). Dari istilah farmakologi yang digunakan adalah kata “drug”, yaitu sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, seperti mempengaruhi kesadaran dan memebrikan ketenagangan dan merangsang dan menimbulkan halusianasi (Soedjono D (1), 1977: 3). Di kalangan para sarjana/ilmuwan memberikan pengertian tentnag narkotika sebagai berikut:
a. B. Bosu, memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang apabila dipergunakan atau dimasukkan ke dalam tubuh si pemakai akan menimbulkan pengaruh –pengaruh seperti berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan/halusinasi (B. Bosu, 1982:68).
b. B.W. Bawengan, memberikan pengertian tentang narkotika adalah narkotika dalam bentuk aslinya sebenarnya berasal dari sejenis tanaman papaver somniferum yaitu berupa getah putih seperti susu, setelah dijemur dan kering menjadi serbuk warnanya coklat, maka disebut sebagai candu, khasitnya untuk membuat orang tertidur dan menghilangkan rasa sakit (B.W. Bawengan, 1977: 72).
c. Soedjono D, memberikan pengertian narkotika adalah suatu zat atau sejenis zat yang bila digunakan dalam artian dimasukkan ke dalam tubuh, akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai yan gdapat berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan/halusinasi (Soedjono D (2), 1977: 5).
d. Di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 22/1997, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Sedangkan jenis-jenis narkotika sebagaimana diatur dalam Bab II, Pasal 2 ayat (2) UU No. 22/1997, terdiri atas 3 (tiga) golongan yaitu:
1. Narkotika golongan I (terdiri dari 26 zat) yang hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengethauan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya (Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10).
2. Narkotika golongan II (terdiri dari 87 zat), dimana golongan in berkhasiat untuk pengobatan yang digunakna sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan (Pasal 4).
3. Narkotika golongan III (terdiri dari 14 zat), dimana golongan ini berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengambangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi yang mengakibatkan ketergantungan meskipun sifatnya ringan (Pasal 4).
1.3 Sebab-Sebab Penyalahgunaan Narkotika
Di dalam UU No. 22/1997 tidak memberikan criteria tentang factor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika. Hal ini terkesan seolah-olah atau sepenuhnya diberikan kepada pendapat para sarjana atau para ilmuwan, untuk menemukan dan menentukan factor penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika. Berbagai pendapat para sarjana atau para ilmuwan sebagai hasil penelitiannya masing-masing, demikian banyak telah memberikan criteria atau gambaran tentang factor-faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika, namun di dalam hal ini akan dikutipkan hanya beberapa pendapat para sarjana atau para ilmuwan, seperti pendapat:
{1} Mulyono Gandadiputra:
1. Faktor pribadi terdiri atas:
a. Faktor pisik yaitu perkembangan jasmani.
b. Faktor psikologis yaitu jiwa yang labil, sifat emosi dan pribadi yang suka kena pengaruh dan suka berkhayal.
2. Faktor lingkungan terdiir atas:
a. LIngkungan keluarga yaitu hubungan tingkah laku antara anak dengan orang tua atau dengan saudara-saudaranya.
b. Lingkungan sekolah yaitu tergantung dari banyak sedikitnya orang-orang yang berpendidikan di sekitar dimana mereka hidup dalam pergaulan masyarakat.
c. Lingkungan masyarakat yaitu tidak adanya sarana pengawasan, pembinaan dan bimbingan serta tidak tersedianyafasilitas-fasilitas dalam masyarakat untuk menunjang kegiatan-kegiatan yang positif (Mulyono Gandadiputra, 1984: 27).
{2} Dr. Graham Blaine:
a. Untuk membuktikan kebernian dalam melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan, seperti berkelahi dan kebutan-kebutan dsb.
b. Sebagai tindakan untuk memprotes suatu kekuasaan/kewenangan, seperti terhadap orang tua dan para guru di sekolah serta norma-norma yang berlaku.
c. Untuk menghilangkan kekecewaan dan melepaskan diri dari kesepian.
d. Sebagai rasa setia kawan.
e. Ingin coba-coba (Soedjono D (1), 1977: 119-120)
{3} Di dalam kesimpulan Seminar Kriminolog II Semarang tanggal 30 September 1972, dinyatakan:
1. Faktor pisik, antara lain:
a. Mencari kesenangan dan kegembiraan
b. Mencari inspirasi
c. Melarikan diri dari kenyataan
d. Rasa ingin tahu, meniru dan mencoba.
2. Faktor sosial kulturil, antara lain:
a. Rasa seti kawan
b. Upacara-upacara kepercayaan/adat.
c. Tersedia dan mudahnya memperoleh narkotika.
3. Faktor medic yaitu seseorang dalam perkembangan jiwanya mengalaminya gangguan, lebih cenderung utnuk menyalahgunakan narkotika, misalnya untuk menghilangkan rasa malu, rasa segan, kecemasan dan untuk menghilangkan rasa rendah diri (Soedjono D (1), 1977: 132).
{4} Faktor yang memudahkan terjadinya penyalahgunaan narkotika:
a. Tersedianya bahan-bahan narkotika dan secara mudah untuk mendapatkannya di pasaran gelap.
b. Mobilitas yang meningkat dari para generasi muda, karena lebih mudah dan lancarnya komunikasi dan lancarnya pengangkutan bahan-bahan narkotika.
c. Informasi yang berlebihan mengenai khasiat dan bahaya yang ditimbulkan akibat pemakaian narkotika.
d. Keadaan lingkungan keluarga, seperti misalnya ayah atau ibu biasa/suka atau sering menggunakan obat tidur atau malah salah seorang saudaranya/keluarganya sudah kecanduan narkotika.
e. Adanya tekanan dari peer group atau teman sebaya (I Made Djaya, 1984: 5).
{5} Menurut Soeitoe disebabkan oleh:
1. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya, hal ini mungkin disebabkan orang tua yan gterlalu sibuk dengan pekerjaannya atau dengan kemewahannya, sehingga membiarkan anak-anaknya berlaku menurut kemauannya sendiri.
2. Ketidak lengkapan orang tua dalam keluarga, baik karena satu menigngal dunia ataupun karena perceraian, yang lazim dengan broke home (Rachman Hermawan, 1988: 33-34).
{6} Hasil penyelidikan Proyek Deliquency Universitas Pajajaran Bnadung pada tahun 1967 dan Proyek Deliquency Universitas Katholik Parahiayangan Bandung pada tahun 1968-1969 adalah:
1. Orang tua yang acuh tak acuh terhadap disiplin.
2. Orang tua yang mempunyai kelemahan fisik, intelektual dan moral, dapat menyebabkan disiplin pada anak-anak menjadi lunak.
3. Kurang disiplin berhubung dengan tidak ada orang tua.
4. Tidak adanya persesuaian diantara orang tua dalam hal pengurusan anak.
5. Disiplin yang terlalu keras atau berlebih-lebihan.
{7} Menurut Rachman Hermawan S :
a. Lingkungan Keluarga, merupakan unsure yang sangat penting sekalli dalam perkembangan jiwa anak, misalnya sikap orang tuayang terlalu keras terhadap anak-anaknya, sikap orang tua yang masa bodoh terhadap anaknya, sikap orang tua yang memanjakan anaknya secara berlebihan.
b. Faktor Sosial, perubahan-perubahan terhadap pembangunan dalam segala aspek kehidupan manusia, terutama di kota-kota besar akan menyebabkan terjadinya masa transisi. Perkembangan pembangunan ini akan membawa pengaruh yang luas terhadap masyarakatnya, sehingga sering menimbulkan masalah baru dalam taat nilai kehidupan sosialnya, dengan demikian tidak tertutup timbulnya ketegangan-ketegangan sosial di dalam masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya akan menjadi penyakit masyarakat dan ikatan-ikatan sosial akan terputus sama sekali. Dimana penyakit masyarakat seperti itu seperti timbulnya gelandangan, pelacuran, pelanggaran sex, penyakit jiwa dan kriminalitas lainnya (Rachman Hermawan, 1988: 33-41).
1.4 Dampak Penyalahgunaan Narkotika
Dampak negative yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika secara factual demikian besar dan memiliki relevansi terhadap beberapa aspek kehidupan manusia. Sehingga nantinya diperlukan suatu upaya dalam mengatasi dan menanggulangi penyalahgunaan dan kejahatan narkotika, tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, namun harus melibatkan seluruh instansi/pihak berwenang yang terkait serta seluruh potensi komponen masyarakat, guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang diinginkan atau diharapkan, secara terprogram, kontinu/periodic dan berkelanjutan serta berkesinambungan. Oleh karena dampak negative terhadap penyalahgunaan dan kejahatan narkotika, akan dapat menimbulkan ketergantungan, baik secara fisik maupun secara psikologis, yang nantinya dapat menimbbulkan kerugian dalam kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial dan budaya (Wimanjaya K. Liotohe, 1981: 7). Dampak negative akibat penyalahgunaan narkotika secara factual akan terlihat:
1. Terhadap Psikologi/Kejiwaan
a). Merubah kepribadian secara drastic, murung, pmarah dsb.
b). Menimbulkan sifat masa bodoh terhadap diri sendiri, sekolah, rumah, pakaian, tempat tidur dsb.
c). Semangat belajar menurun dan suatu ketika si korban bersikap seperti orang gila, karena reaksi narkotika.
d). Sering mengadakan sex bebas, karena sudah tidak memperhatikan lagi norma-norma kemasyarakatan, norma agama, norma sosial/kesopanan maupun norma hukum.
e). Tidak segan-segan menyiksa diri dengan ingin menghilangkan rasa nyeri atau menghilangkan rasa ketergantungan obat bius.
f). Menjadi pemalas dan tidak segan-segan mencuri uang atau barang sekalipun dalam keluarga.
g). Tidak mengenal sopan santun dan sering mencemarkan nama baik keluarga.
h). Sering mengganggu ketertiban umum dan sering melakukan tindakan criminal (Mudji Waluyo dkk, 2001: 12).
2. Terhadap Kesehatan
a) Terjadinya kasus ketergantungan pisik yaitu kondisi dimana seseorang mengalami fungsi fisiologi dan biokimia tubuh, jika tuntutan konsumsi narkotika tersebut tidak dipenuhi, misalnya diare berat, gangguan penglihatan, gangguan jantung, dehidrasi berat, gangguan partus wanita hamil, depresi pernafasan yang fatal, lidah terasa kelu/kaku, hypotensi, gangguan sexual dsb.
b) Terjadinya ketergantungan psikis yaitu dimana seseorang mengalami gangguan mental/kejiwaan, jika tuntutan konsumsi narkotika tidak dipenuhi, maka berakibat misalnya gelisah, takut, khawatir, mual, nagntuk, konsentrasi sering menjadi hilang, lepas kendali terhadap moral, sosial, bersikap apatis dan lesu (I Gusti Made Aman, 1984: 1).
3. Terhadap Perekonomian
Apabila dilihat dari aspek korban sebagai pencandu penyalahgunaan narkotika, lambat laun sudah dapat dipastikan kondisi ekonominya semakin hari semakin berkurang dan lemah. Oleh karena untuk memenuhi kebutuhan dikonsumsi, zat-zat narkotika itu harganya demikian mahal, sehingga akan memerlukan dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit/ cukup besar. Sedangkan bagi keluarga si pecandu, akan mengeluarkan biaya yang cukup besar di dalam upaya untuk proses pengobatan atau penyembuhan dan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Demikian juga bagi Negara, akan menimbulkan kerugian yang cukup besar, oleh karena zat-zat narkotika itu masuk melalui pintu-pintu yang illegal, baik udara, darat dan laut, sehingga akan luput dari pajak pemasukan barang ke Indoensia, secara otomatis tidak akan dapat dimasukkan ke dalam devisa pendapatan Negara akibat masuknya barang secara illegal. Bila pecandu/korban penyalahgunaan narkotika demikian besar, maka pengeluaran keuangan Negara akan bertambah, misalnya mendirikan rumah sakit ketergantungan obat di tiap-tiap Propinsi, menganggarkan biaya operasional program peningkatan pembinaan dan pendidikan bagi aparat penegak hukum di dalam melaksanakan tugas-tugas operasional termasuk sarana dan prasarananya, sudah tentu memerlukan biaya yang tidak kecil.
4. Terhadap Sosial, Budaya dan Agama.
Pada umumnya seorang pecandu yang telah ketergantungan, biasanya tidak akan pernah memperhatikan norma-norma sosial dimana mereka hidup dalam lingkungan masyarakat. Para pecandu sering dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya, oleh karena masyarakat lignkungan sangat cemas dan takut terhadap akibat negatifnya, terutama takut bilamana salah seorang anggota keluarganya yang tertular dan terlibat (kena pengaruh) ke dalam pergaulan penyalahgunaan narkotika yang menyesatkan. Para pecandu umumnya juga sangat sulit untuk dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan dimana mereka bertemapt tinggal, sehingga interaksi dan interelasi sosialnya dengan masyarakat lingkungannya sangat jarang dan lebih mementingkan diri sendiri. demikian juga terhadap keluarga di lingkungan pecandu hidup, sering mendapat kritikan sosial bahkan tidak tertutup kemungkinan keluarganya juga dikucilkan dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Sedangkan perubahan tingkah laku/perilaku terhadap budaya bagi pecandu narkotika, sering mengikuti pola-pola kehidupan bebas seperti budaya orang barat (Eropa), mulai dari cara berpakaian, berperilaku, hilangnya sifat toleransi terhadap sesame manusia, hidup tidak teratur, hilangnya sifat gotong royong, berkurangnya interaksi terhadap sesama masyarakat lingkungan dan sering mengembangkan sifat-sifat individualistis dengan kehidupan masyarakat dimana mereka bertempat tinggal. Demikian pula dari aspek agama, terhadap mereka yang sudah kecanduan narkotika, akan sulit sekali mengikuti petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah suatu ajaran agama yang diyakininya dan dianutnya. Oleh karena jasmani dan rohaninya tidak dapat diajak utnuk berpikir dan beraktifitas dengan baik sebagai harkat manusia yang wajar. Bahkan mereka sering menentang dan meremehkan apa yang baik, benar dan patut dalam suatu ajaran agama untuk menuju manusia bahagia dan sejahtera serta tenteram lahir bathin di dunia ini. Mereka sudah tidak mengindahkan lagi etika dan sopan santun, baik terhadap orang yang lebih tua, terhadap sesamanya maupun terhadap sesame manusia dan lingkungan masyarakatnya.
5. Terhadap Beberapa Kriminalitas
Pada umumnya para pecandu narkotika yang tingkat ketergantungan yang telah demikian berat, sudah tentu hidup dan kehidupannya harus senantiasa dapat mengkonsumsi zat-zat narkotika, bial tidak, maka dapat mengakibatkan kesehatan dan nyawanya terancam akan merenggang. Demikian pula terhadap rohani atau fikirannya akan cepat terganggu bila tidak dapat mengkonsumsi zat-zat narkotika, sehingga emosinya meningkat, sedangkan biaya untuk memenuhi zat-zat narkotika itu, si pecandu narkotika sudah tidak memiliki lagi. Maka dari situasi dan kondisi inilah, tidak tertutup si pecandu akan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar koridor-koridor hukum yan gberlaku, seperti melakukan pencurian (baikd alam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga), melakukan pemerasan dan pengancaman atau penodongan atau penjambretan, penganiayaan atau penyiksaan, kejahatan yang berhubungan dengan kesusilaan/kesopanan bahkan tidak segan-segan melakukan pembunuhan. Namun yang paling harus mendapat perhatian dari pihak yang berwenang adalah tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya tindak pidana subversive sebagaimana perjalanan sejarah bangsa dan Negara China, yang telah diuraikan pada halaman depan, yang hancur akibat politik candu Inggris (Soedjono D (1), 1977: 56).
1.5 Latar Belakang Timbulnya Sanksi
Kita memang mengakui semua bahwa zat-zat narkotika sangat diperlukan dalam dunia ilmu kesehatan/pengobatan dan pengemabnagn ilmu pengetahuan, yang juga merupakan factor untuk dapat mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan, kedamaian, ketentraman dan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat/masyarakat Indonesia. Namun di sisi yang lain, mengingat sering disalahgunakan dan akibat negative lainnya, bahkan memiliki relevansi yang erat terhadap timbulnya beberapa kriminalitas, sudah tentu dalam perundang-undangan itu harus disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana (baiks anksi terhadap badan maupun terhadap material). Oleh karena pekembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika saat ini, bukan saja antara daerah dalam satu wilayah, tetapi sudah antar daerah dalam wilayah yang berbeda, bahkan sudah bersifat transnasional dan internasional. Dimana modus operandi atau teknik-teknik yang digunakan telah dibantu dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi, yang dilakukan secara terorganisir, rapid an rahasia. Apalagi dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan, tetapi sudah menambah samai dengan masyarakat pedesaan, juga sudah tidak mengenal batasan usia (anak-anak, muda dan tua), jenis kelamin, ekonomi, profesi, pendidikan, ketokohan baik pemerintahan maupun kemasyarakatan hamper telah terlibat ke dalam masalah ini secara factual.
Sudah tentu situasi dan kondisi yang demikian ini menimbulkan perhatian dan keprihatinan, kecemasan atau kekhawatiran bagi seluruh komponen bangsa dan Negara Indonesia, terutama pihak berwenang dan tokoh pemerintahan serta tokoh kemasyarakatan. Demikian pula bila kita semua mengingat dan melihat dalam berbagai pemberitaan media massa (baik cetak maupun elektronik), aparat pemerintah dan aparat penegak hukum, telah sering kali berhasil menggagalkan pengiriman atau penyelundupan zat-zat narkotika antar daerah Indonesia, bahkan antar Negara, kemudian para pelakunya telah diproses dan dikenakan/dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ynag berlaku, namun beberapa saat kemudian peristiwa-peristiwa yang demikian ini kembali terjadi, baik melalui darat, laut dan udara. Beberapa kali aparat pemerintah dan aparat penegak hukum telah berhasil menemukan ladang-ladang penanaman pohon ganja dalam jumlah hektaran di berbagai wilayah Indonesia, dimana para pelaku juga telah diproses dan dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, namun peristiwa yang demikian ini kembali muncul di daerah lain. Demikian pula terhadap terjadinya transaksi jual beli, menyalurkan, membawa, menerima, menyerahkan atau menjadi perantara dsb. Juga telah berhasil ditangkap oleh aparat penegak hukum, untuk kemudian diproses dan dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi peristiwa-peristiwa semacam ini selalu dan senantiasa muncul kembali beberapa saat kemudian, meskipun dengan cara dan orang yang berbeda.
Bila kita perhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dimana perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan ancaman/sanksi (pidana badan atau dneda) adalah perbautan menanam, memelihara, mempunyai tanpa izin, memiliki, menyimpan, menguasai, memproduksi, mengolah, merakit, menyediakan, membawa, mengirim, mengangkut, menjual-membeli, menyerahkan-menerima, menjadi perantara, melakukan percobaan/permufakatan memberi untuk digunakan orang lain, menggunakan untuk diri sendiri tanpa izin, mengeksport-mengimport dsbnya, namun dalam kenyataannya, perbuatan-perbuatan yang demikian ini masih sangat sering terjadi hamper setiap hari. Oleh karena itu sebagaimana diuraikan secara singkat di atas maka pemerintah Indonesia setelah mengikuti konvensi di WIna – Austria pada tahun 1988, mengeluarkan dan mengesyahkan UU No.22/1977 tentang narkotika dan mengganti serta mencabut UU No. 9/1976, yang telah ketinggalan zaman dan tidak dapat mengantisipasi upaya pengulangan serta yang memiliki sanksi (pidana badan dan pidana denda) lebih ringan serta ruang lingkupnya lebih sempit daripada UU No. 22/1997, yang mulai diberlakukan berdasarkan UU No. 7/1997, Lembaran Negara No. 17/1997, Tambahan Lembaran Negara No.3673.
Adapun yang menjadi tujuan diadakan sanksi tersebut (baik pidana badan maupun pidana denda) adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Dimana sanksi itu juga akna dapat membawa pengaruh positif bagi mereka-mereka, agar tidak turut terlibat dan terjerumus ke dalam pergaulan hitam narkotika. Disamping itu untuk memberikan efek jera bagi para pelaku-pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, dengan menjatuhkan sanksi (baik pidana badan maupun pidana denda) sesuai dengan tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan yang tercantumk di dalam rumusan-rumusan pasal UU itu sendiri. dmeikian juga tujuannya adalah untuk mempersempit dan mencegah ruang gerak epnyalahgunaan dan peredaran narkotika di pasaran gelap, agar tidak jatuh korban-korban penyalahgunaan dan kejahatan narkotika yang lebih banyak lagi. Sanksi (pidana badan maupun pidana denda) yang tercantum dan terdapat di dalam UU No. 22/1997, demikian tajam dank eras. Dimana subjek dan objek hukum yang dapat dijatuhi sanksi itu juga lebih luas rung lingkupnya, sehingga terkesan seolah-olah tidak memberikan ruang gerak, bagi mereka-mereka yang coba-coba melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan keluar dari aturan UU itu sendiri.
Akan tetapi di dalam kenyataan, berdasarkan pemberitaan-pemberitaan, baik melalui media massa cetak maupun elektronik, seolah-olah tiada hari tanpa berita-berita tentnag narkotika. Padahal di tempat-tempat yang strategis di beberapa kota besar, seperti Denpasar, telah terpampang dan terpajang suatu slogan yang bersifat seruan dan ajakan untuk menghindar dan tidak terlibat serta terjerumus ke lembah hitam pergaulan narkotika, seperti dalam slogan-slogan yang berbunyi “Katakan Tidak Terhadap Narkotika”, “Sekali Terlibat Akan Sulit Keluar Dari Lembah Hitam Narkotika”, namun masih saja setiap hari kita mendengar adanya orang-orang yang ditangkap, didakwa dan dituntut pidana serta dijatuhi pidana, baik badan maupun denda dalam hubungannya dengan narkotika, sesuai dengan tingkat dan sifat perbuatannya. Frekuensi atau intensitas terjadinya kasus-kasus seperti semakin hari semakin meningkat jumlahnya, padahal telah beberapa orang yang sudah dijatuhi pidana, sehingga terkesan sanksi yang demikian tajam dank eras ini tidak memiliki pengaruh apapun terhadap para pelaku, bahkan ada beberapa pelaku yang telah dijatuhi pidana lebih dari satu kali. Sudah tentu hal ini akan menimbulkan berbagai macam persepsi dan pertanyaan di kalangan masyarakat awam, terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai abdi Negara dan pengayom masyarakat. Terkait dengan hal ini , apakah fungsi, tugas dan kinerja aparat penegak hukum sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Weiter C. Reckkles, yaitu:
a. Sistem organisasi kepolisian yang baik.
b. Pelaksanaan peradilan yang efektif.
c. Hukum yang berwibawa.
d. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang terorganisir.
e. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kejahatan (Soedjono D (3), 1987 : 138-139).
Dengan melihat konsep penegakan hukum yang dikemukakan Waiter C. Reckkles tersebut dalam hubungannya dengan UU No. 22/1997, bila benar-benar dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsekuen, tentu dapat diharapkan pencegahan akan meluasnya narkotika akan berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar